* Dari status akh Abu Ayaz Thoolib Biasa:

"Barangsiapa berbuat aniaya kpd seseorang terkait dgn kehormatannya atau lainnya, maka hendaknya dia MEMINTA MAAF dari kesalahannya tersebut pada hari ini sebelum dinar n dirham tdk berguna. Jika ia mempunyai amal shalih, maka diambil darinya sesuai dgn kadar kezhalimannya, jika ia tdk mempunyai kebaikan, maka keburuka...n orang2 yg dizhalimi diambil n dipikulkan atasnya”. [Mukhtashar Shahih al-Bukhari, no. 1062].


Lafazh arab dari hadits tsb adalah adalah :
Rasulullah sallallahu “alahi wa sallam bersabda :

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَىْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

"Barangsiapa berbuat aniaya kepada seseorang terkait dengan kehormatannya atau lainnya, maka hendaknya dia MEMINTA MAAF dari kesalahannya tersebut pada hari ini sebelum dinar dan dirham tidak berguna. Jika dia mempunyai amal shalih, maka diambil darinya sesuai dengan kadar kezhalimannya, jika dia tidak mempunyai kebaikan, maka keburukan orang-orang yang dizhalimi diambil dan dipikulkan atasnya”. [SHAHIH.HR. Bukhari, Mukhtashar Shahih al-Bukhari, no. 1062].

Juga dalam hadits yang lain :
Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ اَلْوَدُوْدُ الْوَلُوْدُ الْعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا، الَّتِى إِذَا غَضِبَ جَاءَتْ حَتَّى تَضَعَ يَدَهَا فِي يَدِ زَوْجِهَا، وَتَقُوْلُ: لاَ أَذُوقُ غَضْمًا حَتَّى تَرْضَى
...

“Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya di mana jika suaminya marah (kepadanya) dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata: “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha (dengan memaafkanku).” (SHAHIH.HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa no. 257. Silsilah Al-Ahadits Ash Shahihah, Asy-Syaikh Al Albani rahimahulloh, no. 287)

Dua hadits tsb cukuplah sebagai bantahan atas syubhat pemahaman bhw dlm islam tdk ada perintah atau anjuran untuk meminta maaf kepada orang lain atas suatu kesalahan yg kita perbuat.


* Dari status ukhti Hanunah Naurah Lam'aa:

..Jgn km tampakkan rahasiamu kpd mrk.Jgn km anggap shabat org yg tdk co2k untuk digauli ttapi prgaulilah mrka scra zhahir.Jgn bercampur dgn mrk kecuali dlm keadaan darurat dan itupun sjenak sj kmdn tinggalkanlah mrk.Setelah itu hdapilah urusanmu smbil brserah diri kpd Penciptamu (Allah) sbb sesungguhnya tdk ada yg dpt ...mendtangkan kbaikan selain Allah dan tdk ada yg dpt mnolak kjelekan kcuali Dia." (Al I'tisham 1/158)


* Dari status Abu Muhammad Herman:

Banyak dari umat Islam saat ini, apabila dikatakan kepada mereka, “Allah telah berfirman” atau kita sampaikan “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda", mereka malah menjawab, “Namun, kyai/ustadz kami berkata demikian …”. (Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun).

Apakah mereka belum pernah mendengar firman Allah Ta'ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-Hujuraat: 1)

Yang maksudnya adalah, janganlah kalian mendahulukan perkataan siapa pun dari perkataan Allah dan Rasul-Nya.

Dalam ayat selanjutnya dikatakan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari." (Al-Hujuraat: 2)

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam I’lamul Muwaqi’in mengatakan:

“Apabila mengeraskan suara mereka di atas suara Rasul saja dapat menyebabkan terhapusnya amalan mereka. Lantas bagaimana kiranya dengan mendahulukan pendapat, akal, perasaan, politik, dan pengetahuan di atas ajaran rasul [?] Bukankah ini lebih layak sebagai penghapus amalan mereka [?]“

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

“Hampir saja kalian akan dihujani hujan batu dari langit. Aku katakan, ‘Rasulullah bersabda demikian lantas kalian membantahnya dengan mengatakan, ‘Abu Bakar dan Umar berkata demikian.’ “ (Shahih. HR. Ahmad).

Dari perkataan ini, wajib bagi seorang muslim jika dia mendengar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia paham maksudnya/penjelasannya dari ahli ilmu, tidaklah boleh bagi dia menolak hadits tersebut karena perkataan seorang pun. Tidak boleh dia menentangnya karena perkataan Abu Bakar dan Umar -radiyallahu ‘anhuma- (yang telah kita ketahui bersama kedudukan mereka berdua), atau sahabat Nabi yang lain, atau orang-orang di bawah mereka, APALAGI DENGAN PERKATAAN SEORANG KYAI ATAU USTADZ.

Dan para ulama juga telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah mendapatkan penjelasan dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak boleh baginya meninggalkan hadits tersebut dikarenakan perkataan seorang pun, SIAPA PUN DIA. Dan perkataan seperti ini selaras dengan perkataan Imam Syafi’i rahimahullah yang mengatakan:
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.” (Madarijus Salikin, 2/335, Darul Kutub Al ‘Arobi. Lihat juga Al Haditsu Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqoid wal Ahkam, Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 79, Asy Syamilah)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya Musa hadir di tengah kalian dan kalian mengikutinya dan meninggalkanku, maka sungguh kalian telah tersesat dari jalan yang lurus. Sekiranya Musa hidup kembali dan menjumpai kenabianku, dia pasti mengikutiku.” (Hadits hasan, HR. Ad Darimi dan Ahmad).

Maksudnya apabila kita meninggalkan sunnah Nabi dan mengikuti Musa, seorang Nabi yang mulia yang pernah diajak bicara oleh Allah, maka kita akan tersesat dari jalan yang lurus. Lantas bagaimana pendapat saudara sekalian, apabila kita meninggalkan sunnah Nabi dan mengikuti para kyai, tokoh agama, ustadz, mubaligh, cendekiawan dan sebagainya yang sangat jauh bila dibandingkan Nabi Musa ‘alaihis salaam??!

Mereka yang mengaku-ngaku bermazhab Syafi'i tetapi mungkin belum pernah membaca wasiat dari Imam Asy-Syafi'i rahimahullah, perhatikanlah wasiat beliau ini & amalkan:

“Jika kalian mendapati di dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka berkatalah kalian dengan sunnah tersebut dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Siyaru A’laamin Nubalaa’, 10/34)

“Setiap masalah yang telah shahih khabarnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menurut ahli naql (Ahli Hadits) yang menyelisihi apa yang aku katakan, maka aku bersedia untuk menanggalkan perkataanku, baik ketika aku masih hidup maupun setelah aku mati.” (Qawaa’idul Ahkaam, 2/173)

"Apa saja yang aku katakan lalu datang dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sesuatu yang shahih yang menyalahi perkataanku itu, maka hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lebih utama (dari perkataanku), maka janganlah kalian bertaqlid kepadaku.” (Tawaalayt Ta’asiis, 108)

“Telah sepakat (ulama) kaum muslimin bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut hanya karena ada perkataan orang lain.” (Habaqaatul Hanaabilah, 2/15 dan Al-Ibaanah, 1/260)

Zadanallah ilman wa hirshan (semoga Allah menambahkan kita ilmu dan bersemangat mencarinya)....amin.

Saya menasihati kepada diri saya sendiri, dan siapa saja yg berkenan menerima nasihat ini. Ingatlah bahwa mereka itu semua adalah saudara-saudara kita, yang sangat membutuhkan sekali petunjuk agar dapat melihat kebenaran. Bagamana halnya apabila kita yang sedang berada di posisi mereka?

Hendaklah kita menyayangi mereka, mengasihi mereka, dan jangan bersikap sombong serta merendahkan mereka. Sampaikanlah nasihat kepada mereka semata-mata karena Allah, dengan baik dan hikmah. Bukankalah Allah Ta'ala telah berfirman:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (An-Nahl: 125)

Hikmah dalam melakukan dakwah dan amar ma'ruf nahi munkar sangatlah dituntut keberadaannya, tetapi apakah yang dimaksud dengan hikmah? Sebagian manusia tidak mengetahui makna hikmah.

Hikmah ialah kebenaran atau kesesuaian dalam segala perkataan dan perbuatan serta meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. (Muqawwimaat ad-Daa'iyyatin Naajih fii Dhau-il Kitaab was Sunnah, hlm. 34, Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani)

Sebagian masyarakat berpendapat dan berkeyakinan bahwa maksud hikmah hanya terbatas pada ucapan lembut, halus, penuh maaf, dan murah hati saja. Pendapat ini jelas-jelas salah dan cenderung membatasi karena sesungguhnya hikmah dapat diwujudkan dengan cara berikut:

1. Terkadang hikmah diwujudkan dengan lemah lembut, halus, murah hati, dan memberi maaf dengan menjelaskan kebenaran dengan ilmu, perbuatan, maupun keyakinan yang dilandaskan pada dalil-dalil. Cara ini dapat diterapkan pada semua masyarakat berpengetahuan yang senantiasa bisa menerima kebenaran DAN TIDAK MENENTANGNYA.

2. Terkadang hikmah dapt diwujudkan dengan cara memberi nasehat yang baik yang mengandung berita-berita gembira melakukan kebenaran dan menakut-nakuti perbuatan bathil. Cara ini dapat diterapkan pada seseorang yang mau menerima kebenaran dan mengakuinya, tetapi orang tersebut telah terlena dan dikuasai hawa napsu yang menghalanginya dari kebenaran....

3. Terkadang hikmah dapat diterapkan dengan cara dialog yang baik, yaitu dengan sikap yang baik, halus, ucapan yang lemah lembut dan mengajak ke hal-hal yang haq disertai dalil akal maupun naql (dalil syar'i) atau dengan cara membantah perkara-perkara yang bathil dengan cara yang benar. Cara ini dapat diterapkan ketika menghadapi orang yang keras kepala dan cenderung menentang.

4. Terkadang hikmah diterapkan dengan cara menggunakan kekuatan, perkataan yang tegas, dengan pukulan dan menegakkan hukum hudud khususnya di hadapan orang-orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan yang sah. Terkadang juga dengan cara jihad fii sabilillaah yaitu dengan mengangkat senjata dengan mendapatkan izin dari Amirul Mukminin (penguasa kaum mukminin) terlebih dahulu dengan tetap menjaga aturan dan syarat yang telah ditetapkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah. Cara ini diterapkan pada orang-orang keras kepala, zhalim dan suka berbuat kerusakan, di mana mereka tidak mau kembali kepada kebenaran bahkan menolak kebenaran dan tetap pada pendiriannya. (Muqaawwimaat ad-Daa'iyyatin Naajih fii Dhau-il Kitaab was Sunnah, hlm.38-39, dengan diringkas).

Dengan demikian seorang da'i dan pelaku amar ma'ruf nahi munkar harus menjadi orang yang hakiim (bijaksana). Dan sifat hikmah ini tidak akan diraih kecuali dengan hal-hal berikut:
1. Mengetahui dan mengenal tingkatan-tingkatan dakwah, karena dakwah memiliki beberapa tingkatan.
2. Mengetahui dan mengenal tingkatan obyek dakwah.
3. Mengetahui dan mengenal tingkatan apa yang hendak ia larang dan cegah.
4. Mengetahui dan mengenal berbagai maslahat dan mafsadat.

Ditanya kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah:

"Wahai Syaikh, sebagian besar perselisihan yang terjadi di kalangan orang-orang yang terjun di medan dakwah ilallah menyebabkan kelemahan dan hilangnya wibawa kaum muslimin. Kebanyakan perselisihan itu terjadi karena kebodohan mereka terhadap adab dalam perselisihan. Bagaimanakah pengarahan Syaikh terhadap masalah ini?"

Jawaban:

Ya sebagaimana yang juga telah diwasiatkan saudara-saudaraku dari kalangan ahlul ilmi dan da’i ilallah adalah memilih cara yang baik dan lemah lembut dalam berdakwah dan dalam masalah perbedaan ketika terjadi perdebatan dan diskusi dalam masalah itu. Hendaklah rasa emosi tidak membawanya pada apa yang tidak layak untuk dikatakan sehingga akan menyebabkan perpecahan dan perselisihan atau saling membenci dan saling menjauhi. Bahkan wajib bagi pengajar dan da’i ilallah untuk memilih cara-cara yang paling tepat dan lemah lembut dalam kata-kata sehingga dapat diterima dan hati pun tidak saling berjauhan.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala terhadap Nabi-Nya (yang artinya), “Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu….” (Ali Imran:159)

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (At Thaha:44)

Juga firman Allah Subhanahu Wata’ala (yang artinya): “Serulah manusia kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan nasehat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” (An Nahl:125)

Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya kelembutan itu tidak akan ada pada sesuatu melainkan dia akan menghiasinya dan tidak akan tercabut dari sesuatu melainkan dia akan menjadi jelek” (Riwayat Muslim dalam Shahihnya)

Dan sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya), “Barangsiapa terhalang dari sikap lembut, maka ia berarti terhalang dari kebaikan seluruhnya” (Riwayat Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah dishahihkan Syaikh Al Albany dalam Shahih Al Jami’)

Untuk itu bagi mereka yang mengajak ke jalan Allah agar memilih cara-cara yang paling tepat dan menghindari kekerasan dan kekakuan, karena hal itu akan menyeret kepada penolakan kebenaran (Al Haq) dan kerasnya perselisihan serta perpecahan di antara saudara.

Cara yang dimaksud disini adalah menjelaskan kebenaran dan memberi semangat untuk dapat menerimanya dan mengambil faedah dari dakwah itu. Bukanlah semata-mata menampakkan ilmu atau menampakkan kamu menyeru kepada Allah atau jalan Allah atau mempertunjukkan kamu memiliki kecemburuan terhadap agama Allah. Allah lah yang mengetahui rahasia hati dan apa yang paling tersembunyi. Yang dimaksud adalah seruanmu ke jalan Allah dan memberikan manfaat kepada manusia. Terletak pada dirimulah sebab diterima atau ditolaknya seruan itu. Maka berhati-hatilah!

Diterjemahkan oleh Ahmad Yaskin Hidayatullah
dari Majalah Al-Mujahid no 20 bab 1 Shafar 1410 H

Ikhwah fillah, perlu kita ketahui bersama bahwa pada dasarnya jiwa manusia itu menyukai hal-hal yang buruk, yaitu hal-hal yang menyelisihi perintah Allah.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada keburukan.” (QS. Yusuf: 53).

Jika demikian keadaannya, tentunya kebenaran adalah sesuatu yang teramat berat bagi jiwa manusia..

Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Nabi-Nya dengan membawa agama yang penuh dengan kemudahan. Dan ini merupakan bentuk kasih saying Allah kepada hamba-hamba-Nya.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107).

Keberhasilan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam menyampaikan kebenaran kepada manusia pastilah mempunyai rahasia yang agung dan patut kita pelajari.

Kebenaran yang pada asalnya susah untuk diterima oleh jiwa, ketika disampaikan dengan cara yang buruk, cara yang kasar, tentunya justru akan membuat orang semakin lari dari kebenaran. Oleh karena itulah, dakwah pada dasarnya harus disampaikan dengan cara lemah lembut.

lemah lembut di dalam berdakwah mempunyai banyak sekali faidah. Salah satu di antaranya adalah dapat menyadarkan orang-orang yang telah terjerumus dalam perbuatan dosa dan maksiat.

Allah berfirman yang artinya, “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan dia ada permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Al-Fushshilat: 34).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok teladan bagi kita dalam hal akhlaq dan perilaku. Alangkah indahnya kisah beliau ketika menasihati seseorang yang hendak berbuat kemaksiatan.

Kisah ini dituturkan oleh sahabat beliau, Abu Umamah. Beliau bercerita, “Sesungguhnya ada seorang pemuda datang kepada Rasulullah lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkanlah aku untuk berbuat zina’. Lalu ada sekelompok orang yang mendatangi dan menegurnya, ‘Diam… Diam…!!’ Lalu beliau bersabda (kepada para sahabat beliau), ‘Dekatkan ia kepadaku.’ Lalu ia pun mendekati beliau. Setelah ia duduk, beliau bertanya, ‘Apakah kamu senang apabila ada orang menzinai ibumu?’ Ia menjawab, ‘Tidak, Demi Allah. Semoga Allah menjadikan aku tebusan bagimu’. Beliau bersabda, ‘Manusia pun tidak senang apabila ada orang menzinai ibunya’. Beliau bertanya lagi, ‘Apakah kamu senang apabila ada orang menzinai putrimu?’ Ia menjawab, ‘Tidak, Demi Allah. Semoga Allah menjadikan aku tebusan bagimu’. Beliau bersabda, ‘Manusia pun tidak senang apabila ada orang menzinai putrinya’. Beliau bertanya lagi, ‘Apakah kamu senang apabila ada orang menzinai saudarimu?’ Ia menjawab, ‘Tidak, Demi Allah. Semoga Allah menjadikan aku tebusan bagimu’. Beliau bersabda, ‘Manusia pun tidak senang apabila ada orang menzinai saudarinya…’ Lalu beliau meletakkan tangannya kepada pemuda tadi sambil berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya dan jagalah kemaluannya’. Setelah peristiwa itu, pemuda tadi tidak berfikir untuk berbuat zina lagi’. (HR. Ahmad, Shahih)

Yang patut kita perhatikan adalah, hendaklah bagi orang yang berdakwah meluruskan niat untuk ikhlas karena Allah Ta’ala semata. Yaitu dengan mengharap pahala dari Allah dan bermaksud untuk menghilangkan kebodohan dari orang lain, serta agar mereka taat kepada Allah Ta’ala.

Tidaklah dakwah kita itu bertujuan agar orang lain masuk ke organisasi kita dan tidak ke organisasi yang lain, masuk ke partai tertentu dan tidak ke partai yang lain, masuk ke kelompok pengajian tertentu dan tidak ke kelompok pengajian yang lain, ataupun tujuan duniawi lainnya.

Apabila kita sudah berusaha di dalam berdakwah, ikhlas kepada Allah semata namun orang yang kita dakwahi belum atau tidak menerima dakwah kita, janganlah terburu-buru untuk memvonis bahwa orang yang kita dakwahi tersebut telah menolak kebenaran. Namun hendaknya kita selalu instrospeksi diri. Mungkin cara kita salah atau mungkin kita tidak sanggup untuk menjelaskannya dengan gamblang atau mungkin faktor-faktor yang lain. ...

Ingatlah selalu nasihat dari Syaikh bin Baz rahimahullah yang telah disampaikan di atas, bahwa dakwah bukanlah semata-mata MENAMPAKKAN ILMU atau menampakkan kamu menyeru kepada Allah atau jalan Allah atau mempertunjukkan kamu memiliki kecemburuan terhadap agama Allah. Allah lah yang mengetahui rahasia hati dan apa yang paling tersembunyi. Yang dimaksud adalah seruanmu ke jalan Allah dan memberikan manfaat kepada manusia. Terletak pada dirimulah sebab diterima atau ditolaknya seruan itu. MAKA BERHATI-HATILAH!

Akhirnya, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua dan kita juga berdoa kepada Allah agar berkenan untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin serta membukakan hati-hati mereka untuk memerima kebenaran, Allahumma amin


* Dari status ukhti Ummu Alfi Syabarrudin :

•Kawans, tahukah Anda apa yg dimaksud dgn Istidradj? spt kata seorang ustadz dalam logat Betawinya yg kental , "Istidraj itu ibarat kate dikasih tapi diambulin. Misalnye ente lapar dan pengen makan roti dan ane ngasih roti ke ente, tapi ngasihnye ane lempar ke muke ente sembari ngomong "lu makan 'tuh roti... lu abisin ...'tuh... nih lagi nih lu makan semuenye...!" dan muke ane cemberut. Nah itulah yg namanya istidraj•

Istidraj: Dikasih tapi diambulin..." Jika kita tidak punya nurani, maka roti itu pun tetap di makan. Lain halnya jika punya nurani dan harga diri, tentu akan kita buang juga roti tersebut. Bayangkan, bagaimana jika Allah yang melakukan hal itu? Masya Alloh. Kenikmatan rezeki diperoleh dengan jalan yang halal, sementara kenikmatan istidraj diperoleh dengan jalan yang haram dan syubhat.

Mengapa banyak orang-orang yang rajin sholat, tidak pernah absen ke masjid, menutup auratnya dengan baik, malah hidup dalam standard ekonomi yang rendah.

Smtara para artis dan pejabat yg jauh dai agama dan nilai2 Islam, wajahpun nyaris tak tersentuh air wudhu, berbuka2 aurat, korupsi, zina dan hal2 lain yg jauh dari nilai agama...tp mrk hidup mewah, rmh lux, perhiasan gemerlap, tdk pernah kekurangan uang, bemobil mewah...??*tanya kenapa?*

Apakah Allah tidak adil? Apa maksudnya Allah membukakan pintu-pintu kenikmatan duniawi yang luas kepada kaum yang tidak bersedia untuk mengenal Allah? Mengapa Allah justru mempersempit perekonomian kaum 'abid? Apakah ini semacam ujian bagi 'alim wal 'abid? Apakah untuk menjadi 'alim dan 'abid harus menjalani hidup melarat?

Allah Subhanahuwataala terus memberikan kenikmatan kepada mereka dengan sangat mudah dan berlimpah. Sementara manusia-manusia lalai itu terus menikmatinya, berleha-leha, bersenang-senang, tertawa dengan keras dan penuh kepuasan, berpesta pora, dan terus menghambur-hamburkan "rezeki" yang mereka peroleh. Dan sesekali mereka mengucapkan puji syukur ... See Moreatas "rezeki" tersebut. Mereka menganggap ini adalah pemberian Allah. Memang betul itu adalah pemberian Allah tapi bukan lewat jalan yang bernama rezeki, melainkan istidraj. Semakin banyak kenikmatan mereka, maka semakin jauh pula mereka dari Allah dan semakin dekat dengan kebinasaan. Allah Subhanahuwataala berfirman,

"Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh." (QS. Al Qalam ayat 44 - 45).

Mereka tidak sadar bahwa mereka tersesat dari jalan yang lurus. Mereka berjalan dengan langkah pasti menuju pada kebinasaan, dengan semua kenikmatannya itu. Mereka telah tertipu oleh hawa nafsunya. Kenikmatan istidraj itu dianggapnya sebagai kebaikan. Alloh Subhanahuwataala berfirman,

"Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar." (QS. Al Mukminun ayat 55 - 56).

"Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa." (QS. Al An'aam ayat 44).

Seorg ulama berkata:
"Apabila engkau mengetahui bahwa Allah terus-menerus memberikan kenikmatan kepadamu padahal engkau berada dalam kubang kemaksiatan, sadarilah, bahwa itu adalah istidraaj."

Istidraj menurut AL-IMAM AL-HAFIZH Ibnu Katsir,

artinya, akan dibukakan pintu-pintu rizki dan berbagai kemudahan hidup di dunia, hingga mereka menjadi lalai dengan apa yang mereka ada di dalamnya, sementara mereka tetap yakin bahwa hal itu berguna

beliau kemudian membawakan dalil:

فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُوْنَ. فَقُطِعَ دَابِرُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka, hingga jika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan pada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong maka ketika itu mereka terdiam putus asa. Maka orang-orang zhalim dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam”. (QS. 6: 44-45)

-Tafsir Ibnu Katsir, juz II hal. 270, dikutip dari: http://www.alsofwah.or.id/cetakkajian.php?id=1708&idjudul=1698

0 comments:

Posting Komentar