Penulis : Al Ustadz Qomar Suaidi, Lc

Allah mengancam dengan keras orang-orang yang berani membantah ajaran Nabi-Nya. Tidak saja diancam dengan adzab akhirat, namun banyak yang disegerakan hukumannya di dunia.



Salah seorang murid Imam Ahmad bernama Abu Thalib mengatakan: “Saya mendengar Imam Ahmad ditanya tentang sebuah kaum yang meninggalkan hadits dan cenderung kepada pendapat Sufyan (salah seorang ulama kala itu).” Maka Imam Ahmad berkata: “Saya meresa heran terhadap sebuah kaum yang tahu hadits dan tahu sanad hadits serta keshahihannya lalu meninggalkannya, lantas pergi kepada pendapat Sufyan dan yang lainnya padahal Allah berfirman: “Maka hendaklah berhati-hati orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya untuk tertimpa fitnah atau tertimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 63). Tahukah kalian apa arti fitnah? Fitnah adalah kufur. Allah berfirman . “Dan fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan.” (Fathul Majid: 466)

Ayat yang dibacakan oleh Imam Ahmad tersebut benar-benar merupakan ancaman keras bagi orang-orang yang menyelisihi Sunnah Nabi. Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini katanya:
“Hendaklah takut siapa saja yang menyelisihi syariat Rasul secara lahir maupun bathin untuk tertimpa fitnah dalam hatinya baik berupa kekafiran, kemunafikan atau bid’ah atau tertimpa adzab yang pedih di dunia dengan dihukum mati atau dihukum had atau dipenjara atau sejenisnya.” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/319)


Allah juga berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian keraskan suara kalian di atas suara Nabi dan jangan kalian bersuara keras terhadap Nabi sebagaimana kerasnya suara sebagian kalian kepada sebagian yang lain supaya tidak gugur amal kalian sedangkan kalian tidak menyadarinya.” (Al Hujurat: 2)


Ibnul Qayyim menjelaskan ayat ini katanya: “Allah memperingatkan kaum mukminin dari gugurnya amal-amal mereka dengan sebab mereka mengeraskan suara kepada Rasul sebagaimana kerasnya suara mereka kepada sebagian yang lain. Padahal amalan ini bukan merupakan kemurtadan bahkan sekedar maksiat, akan tetapi ia dapat menggugurkan amalan dan pelakunya tidak menyadari. Lalu bagaimana dengan yang mendahulukan ucapan, petunjuk, dan jalan seseorang di atas ucapan, petunjuk dan jalan Nabi?! Bukankah yang demikian telah menggugurkan amalannya sedang dia tidak merasa?” (Kitabush Shalah, 65, Al Wabilush Shayyib, 24 dan Ta’dhimus Sunnah, 22-23).

Dalam hadits yang lalu Nabi menyebutkan:
“Barangsiapa yang membenci Sunnahku,dia bukan dari golonganku.” (Shahih, HR Muslim).


Maksud bukan dari golonganku artinya dia termasuk orang kafir jika ia berpaling dari Sunnah Nabi, tidak meyakini Sunnah itu sesuai dengan nyatanya. Tapi jika ia meninggalkannya karena menggampangkannya maka ia tidak di atas tuntunan Nabi. (Lihat Syarh Shahih Muslim, Al Imam An Nawawi: 9/179 dan Nashihati Linnisa’ hal. 37)

Ancaman-ancaman tersebut cukup menakutkan tapi ada yang tak kalah menakutkan yaitu bahwa orang yang menentang Sunnah Nabi terkadang Allah percepat hukumannya semasa mereka di dunia sebagaimana diriwayatkan dalam beberapa riwayat, di antaranya:

“Dari Abdulah bin Abbas, dari Nabi bahwa beliau bersabda: ‘Jangan kalian datang kepada istri kalian (dari safar) di malam hari.’ Kemudian di suatu saat Nabi datang dari safar maka tiba-tiba dua orang pergi mendatangi istri mereka (di malam hari) maka keduanya mendapati istri mereka sudah bersama laki-laki lain. (Sunan Ad Darimi, 1/118)

Didapatinya istri mereka bersama laki-laki lain adalah hukuman bagi mereka dimana mereka melanggar larangan Nabi untuk mendatangi istri mereka di malam hari sepulangnya dari safar, kecuali jika sebelumnya mereka sudah terlebih dahulu memberi tahu bahwa mereka akan datang di malam itu maka yang demikian diperbolehkan sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/240, 242)

Salamah bin Al Akwa’ berkata:
“Bahwa seseorang makan dengan tangan kiri di hadapan Rasulullah maka Rasulullah menegurnya: ‘Makanlah dengan tangan kananmu.’ Ia menjawab: ‘Saya tidak bisa.’ Maka Nabi katakan: ‘Semoga kamu tidak bisa. Tidaklah menghalangi dia kecuali sombong.’ Akhirnya ia tidak dapat mengangkat tangannya ke mulutnya.” (Shahih, HR Muslim).


Abdurrahman bin Harmalah mengisahkan, seseorang datang kepada Said bin Al Musayyib megucapkan salam perpisahan untuk haji atau umrah, lalu Said mengatakan kepadanya:
“Jangan kamu pergi hingga kamu shalat dulu karena Rasulullah bersabda: ‘Tidaklah ada yang keluar dari masjid setelah adzan kecuali seorang munafik, kecuali seorang yang terdorong keluar karena kebutuhannya dan ingin kembali ke masjid.’ Kemudian orang itu menjawab: “Sesungguhnya teman-temanku berada di Harrah,” lalu keluarlah dia dari masjid, maka Said terus terbayang-bayang mengingatnya sampai beliau dikhabari bahwa orang tersebut jatuh dari kendaraannya dan patah pahanya. (Sunan Ad Darimi 1/119, Ta’dhimus Sunnah hal. 31, Miftahul Jannah hal.134)


Abu Abdillah Muhammad bin Ismail At Taimi mengatakan, dirinya membaca pada sebagian kisah-kisah bahwa sebagian ahlul bid’ah ketika mendengar sabda Nabi:
“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka janganlah ia celupkan tangannya ke bejana sebelum mencucinya terlebih dahulu karena sesungguhnya ia tidak tahu di mana tangannya barmalam.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim)


Maka ahlul bid’ah tersebut mengatakan dengan nada mengejek: “Saya tahu di mana tanganku bermalam, tanganku bermalam di kasur.” Lalu paginya dia bangun dari tidurnya dalam keadaan tangannya sudah masuk ke dalam duburnya sampai ke lengannya.

At Taimy lalu berkata: “
Maka berhati-hatilah seseorang untuk menganggap remeh Sunnah dan sesuatu yang bersifat mengikut perintah agama. Lihatlah bagaimana akibat jeleknya menyampaikan kepadanya.”

Al Qadhi Abu Tayyib menceritakan kejadian yang ia alami, katanya: “Kami berada di sebuah majlis kajian di masjid Al Manshur. Datanglah seorang pemuda dari daerah Khurasan, ia bertanya tentang masalah musharat lalu dia minta dalilnya sehingga disebutkan dalilnya dari hadits Abu Hurairah yang menjelaskan masalah itu. Dia -orang itu bermadzhab Hanafi – mengatakan: ‘Abu Hurairah tidak bisa diterima haditsnya…’ Maka belum sampai ia tuntaskan ucapannya tiba-tiba jatuh seekor ular besar dari atap masjid sehingga orang-orang loncat karenanya dan pemuda itu lari darinya. Ular itupun terus mengikutinya. Ada orang mengatakan: ‘Taubatlah engkau! Taubatlah engkau!’ Kemudian dia mengatakan ‘Saya bertaubat.’ Maka pergilah ular itu dan tidak terlihat lagi bekasnya.” Adz Dzahabi berkata bahwa sanad kisah ini adalah para imam.

Itulah beberapa kejadian nyata -insya Allah- dan bukan cerita fiktif yang diada-adakan, tetapi cerita-cerita yang diriwayatkan dengan sanad. Tentu yang demikian menjadi pelajaran buat kita karena bukan hal yang mustahil kejadian di atas terjadi di masa kita sebagaimana terjadi di masa dulu manakala ada seseorang yang menghina Sunnah Nabi. Ancaman ini telah ditetapkan di dalam Al Qur’an sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya orang yang mencelamu, dialah yang terputus.” (Al Kautsar: 3)

Yakni terputus dari segala kebaikan (Taisir Al Karimirrahman: 935)

Ibnu Katsir menjelaskan:
“yang mencelamu artinya yang membencimu wahai Muhammad, dan yang membenci apa yang engkau bawa dari petunjuk dan kebenaran serta bukti yang nyata. Dan yang terang dialah yang akan terputus, yang hina, dan tidak akan dikenang namanya (dengan baik).

Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna yang mencelamu adalah musuh-musuhmu. Dan ini mencakup siapa saja yang memiliki sifat itu baik yang disebut atau yang lain.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/598)

Jadi apa yang telah Allah ancamkan sangat mungkin terjadi pada individu atau kelompok pada masyarakat kita jika Allah tidak memberi rahmat-Nya. Bahkan bagi seseorang yang mengagungkan Sunnah-Sunnah Nabi lalu ia perhatikan perilaku manusia dalam mensikapinya dengan sikap negatif, dia akan mendapatkan kebenaran firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas di mana ia akan melihat tidak sedikit dari orang-orang yang tertimpa musibah lantaran menghina Sunnah Nabi.

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=84

0 comments:

Posting Komentar