tag:blogger.com,1999:blog-64912527175167344002024-03-12T18:35:16.394-07:00Ummu Zahratin Nisa LathifahUmmu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.comBlogger215125tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-91156193728420628802010-06-21T05:57:00.000-07:002010-06-21T06:00:36.334-07:00Apa Hukum Kolam Renang Khusus Muslimah?Pertanyaan:<br /><br />Mohon dibahas masalah ‘kolam renang khusus muslimah’ yang banyak muncul baik di Indonesia atau di negeri-negeri Eropa. Bagaimana hukum muslimah berenang di kolam renang khusus muslimah tersebut.<br />Jazakallahu khairan.<br /><br />(Abu ‘Aisyah)<br /><br />Jawaban:<br /><br />Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin, washshalaatu wassalaamu ‘ala rasulillaah khairil anbiyaa’I wal mursaliin wa ‘alaa ‘aalihii wa shahbihii ajma’iin.<br /><br />Amma ba’du:<br /><br />Pada asalnya boleh bagi seorang muslimah berenang di kolam renang khusus muslimah selama tetap menjaga batasan-batasan syari’at , seperti misalnya seluruh wanita muslimah yang berenang di kolam renang tersebut menutup aurat mereka supaya pandangan tidak terjatuh pada sesuatu yang diharamkan.<br /><br />Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />لا ينظر الرجل إلى عورة الرجل ولا المرأة إلى عورة المرأة<br /><br />“Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki, dan janganlah seorang wanita melihat aurat wanita lain.” (HR. Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudry radhiallahu ‘anhu)<br /><br />Beliau shallallahu ‘alaihiwasallam juga bersabda:<br /><br />احفظ عورتك إلا من زوجتك أو ما ملكت يمينك<br /><br />“Jagalah auratmu kecuali dari istrimu atau budakmu.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzy, Ibnu Majah, dari Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu, dan dihasankan Syaikh Al-Albany)<br /><br />Hadist ini menunjukkan dilarangnya melihat aurat orang lain selain yang disebutkan di atas, yaitu laki-laki melihat aurat laki-laki, dan wanita melihat aurat wanita. (Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-’Asqalany 1/386)<span class="fullpost">Berkata Syeikh Abdul Muhsin Al-’Abbaad hafidzahullah:<br /><br />سباحة نساء مع نساء وهن متسترات بثيابهن ليس فيه بأس<br /><br />“Tidak mengapa para wanita berenang bersama wanita-wanita lain selama mereka dalam keadaan tertutup dengan pakaian mereka.”(Syarh Sunan Abi Dawud, diantara pertanyaan yang diajukan kepada beliau setelah Bab Maa Jaa’a fii At-Ta’arry, Kitab Al-Hammaam, kemudian saya tanyakan kembali pertanyaan ini kepada beliau hari Kamis tanggal 6 Shafar 1431 setelah shalat Shubuh, dan beliau menjawab dengan jawaban yang semakna)<br /><br />Selain itu kolam renang tersebut harus aman dari pandangan laki-laki, kamera, dan yang semisalnya dll, apabila dikhawatirkan hal-hal yang tidak diinginkan -seperti yang banyak terjadi di zaman sekarang- maka tentunya menghindari kerusakan lebih didahulukan daripada mendatangkan mashlahat (kebaikan). (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 26/343 ).<br /><br />Namun meski diperbolehkan dengan syarat-syarat di atas, tentunya tidak diragukan lagi bahwa tetap tinggalnya seorang wanita muslimah di rumah tentu lebih baik dan lebih aman baginya, dan sering keluarnya seorang wanita ke tempat-tempat seperti itu tentunya hal yang tidak baik dan akan membawa fitnah.<br /><br />Allah ta’aalaa berfirman:<br /><br />وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى [الأحزاب/33<br /><br />“Dan tetaplah kalian berada di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias seperti berhiasnya orang-orang jahiliyyah dahulu.” (Qs. Al-Ahzab: 33)<br /><br />Berkata Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu:<br /><br />الحقيقة يا إخواني خروج المرأة عما حد لها ورسم لها في الشرع يسبب لها ولغيرها البلاء والفساد ، فالمرأة لو كانت تتعلم السباحة في منزلها فإن أحدا لا يمنعها ، لكن أن تخرج من منزلها إلى أماكن تعليم السباحة وبالصفة المذكورة وبملابس لا تستر عورتها فإن ذلك أمر مخالف للشرع ، والواجب على أولياء البنات أن يتقوا الله فيهن ، وأن يحفظوا تلك الأمانة فالله سائلهم عنها<br /><br />“Pada hakikatnya -wahai saudara-saudaraku-keluarnya seorang wanita dari apa yang sudah digariskan bagi mereka di dalam agama akan menyebabkan kerusakan bagi dirinya dan orang lain. Seorang wanita apabila dia belajar berenang di rumahnya maka tidak ada yang melarangnya, namun apabila dia keluar rumah ke tempat-tempat latihan berenang dengan sifat di atas dan dengan pakaian yang tidak menutup auratnya maka yang demikian itu menyelisihi syari’at, dan kewajiban para wali adalah bertaqwa kepada Allah di dalam urusan anak-anak wanita mereka, dan menjaga amanat tersebut, Allahlah yang akan menanyai mereka kelak.” (Majallah Al-Buhuuts Al-Islaamiyyah 68/54 dan 56)<br /><br />Syeikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu juga berkata:<br /><br />الحمد لله نصيحتي لإخواني ألا يمكنوا نساءهم من دخول نوادي السباحة والألعاب الرياضية لأن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم حث المرأة أن تبقى في بيتها فقال وهو يتحدث عن حضور النساء للمساجد وهي أماكن العبادة والعلم الشرعي : لا تمنعوا إماء الله مساجد الله وبيوتهن خير لهن وذلك تحقيقاً لقوله تعالى : ( وقرن في بيوتكن ) ثم إن المرأة إذا اعتادت ذلك تعلقت به تعلقاً كبيراً لقوة عاطفتها وحينئذ تنشغل به عن مهماتها الدينية والدنيوية ويكون حديث نفسها ولسانها في المجالس . ثم إن المرأة إذا قامت بمثل ذلك كان سبباً في نزع الحياء منها وإذا نزع الحياء من المرأة فلا تسأل عن سوء عاقبتها إلا أن يمن الله عليها باستقامة تعيد إليها حياءها الذي جبلت عليه.<br />وإني حين أختم جوابي هذا أكرر النصيحة لإخواني المؤمنين أن يمنعوا نساءهم من بنات أو أخوات أو زوجات أو غيرهن ممن لهم الولاية عليهن من دخول هذه النوادي ، وأسأل الله تعالى أن يمن على الجميع بالتوفيق والحماية من مضلات الفتن إنه على كل شيء قدير والحمد لله رب العالمين وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين .<br /><br />“Alhamdulillah, nasehat saya untuk saudara-saudaraku, janganlah kalian mengizinkan wanita-wanita kalian mengikuti klub-klub renang dan olahraga, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘alaa ‘aalihi wa sallam telah mendorong wanita supaya tetap berada di rumahnya, beliau telah bersabda tentang wanita yang mendatangi masjid yang merupakan tempat ibadah dan ilmu syar’i:“Janganlah kalian larang hamba-hamba wanita Allah dari masjid-masjid Allah, dan rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka”, dan ini adalah perwujudan dari firman Allah (yang artinya): “Dan tetaplah kalian berada di rumah-rumah kalian”, kemudian seorang wanita apabila sudah terbiasa melakukan yang demikian maka hatinya akan senantiasa tergantung dengannya karena kuatnya perasaan seorang wanita, ketika sudah demikian maka dia akan tersibukkan dari tugas-tugasnya baik tugas-tugas yang berhubungan dengan agama atau dunia, dan jadilah perkara tersebut terbayang-bayang dalam hatinya dan menjadi bahan pembicaraan dalam perkumulan-perkumpulan. Demikian pula seorang wanita apabila melakukan aktifitas seperti itu maka akan menjadi sebab hilangnya rasa malu pada dirinya, jika sudah hilang rasa malu maka jangan tanya akibatnya, kecuali Allah memberi karunia dengan istiqamah yang mengembalikan rasa malu pada dirinya, yang malu ini merupakan fitrah seorang wanita.<br /><br />Dan diakhir jawaban ini saya ulangi nasehat saya untuk saudara-saudaraku yang beriman, supaya melarang wanita-wanita mereka baik anak-anak, saudara-saudara, istri-istri atau yang lain yang masih berada di bawah kekuasaan mereka untuk tidak mengikuti klub-klub seperti ini. Dan saya memohon kepada Allah, semoga Allah memberi karunia kepada kita semua dengan taufiq dan penjagaan dari segala fitnah yang menyesatkan, sesungguhnya Dia Maha Mampu melakukan segala sesuatu. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, dan shalawat serta salam Allah atas nabi kita Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya. (Majallah Ad-Da’wah edisi 1765/54)<br /><br />Batas aurat wanita di hadapan wanita lain<br /><br />Jumhur ulama mengatakan bahwa aurat wanita dihadapan wanita lain adalah antara pusar dan lutut. (Lihat Badai’ush Shanaa’i‘5/124, Al-Fawaakih Ad-Dawaaniy 1/202, Raudhatuththaalibin 5/370, dan Al-Mughny 9/505).<br /><br />Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin:<br /><br />وذكر فقهاؤنا رحمهم الله أنه يجوز للمرأة أن تنظر من المرأة جميع بدنها إلا ما بين السرة والركبة<br /><br />“Para fuqaha kita rahimahumullah menyebutkan bahwa boleh bagi seorang wanita melihat seluruh badan wanita lain kecuali bagian antara pusar dan lutut.” (Majmu’ Fataawaa wa Rasaa’il Syeikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimiin 12/267)<br /><br />Mereka mengqiyaskan aurat wanita dihadapan wanita dengan aurat laki-laki di hadapan laki-laki, dan yang mengumpulkan antara keduanya adalah persamaan jenis kelamin.<br /><br />Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa aurat wanita di depan wanita sama dengan auratnya di depan mahram yaitu semua badannya kecuali tempat perhiasan yang nampak seperti kepala, telinga, leher, dada bagian atas, pergelangan tangan, pergelangan kaki.<br /><br />Mereka berdalil dengan firman Allah ta’aalaa:<br /><br />وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ [النور/31<br /><br />“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam…” (Qs. An-Nuur: 31)<br /><br />Berkata Syaikh Al-Albany rahimahullahu:<br /><br />فهذا النص القرآني صريح في أن المرأة لا يجوز لها أن تبدي أمام المسلمة أكثر من هذه المواضع<br /><br />“Maka nash Al-Quran ini jelas menunjukkan bahwa wanita tidak boleh menampakkan selain tempat-tempat perhiasan tersebut di depan wanita muslimah yang lain.” (Ar-Radd Al-Mufhim hal: 75 )<br /><br />Namun meskipun jumhur ulama berpendapat bahwa aurat wanita di hadapan wanita adalah antara pusar dan lutut, bukan berarti bahwasanya seorang wanita muslimah hanya menutup antara pusar sampai kedua lutut ketika dihadapan wanita lain, tapi hendaknya seorang muslimah tetap menjaga rasa malu dan kehormatannya dengan berpakaian di hadapan wanita lain seperti ketika dia berada diantara mahramnya.<br /><br />Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu:<br /><br />عورة المرأة مع المرأة ، كعورة الرجل مع الرجل أي ما بين السرة والركبة ، ولكن هذا لا يعني أن النساء يلبسن أمام النساء ثياباً قصيرة لا تستر إلا ما بين السرة والركبة فإن هذا لا يقوله أحد من أهل العلم ، ولكن معنى ذلك أن المرأة إذا كان عليها ثياب واسعة فضفاضة طويلة ثم حصل لها أن خرج شيء من ساقها أو من نحرها أو ما أشبه ذلك أمام الأخرى فإن هذا ليس فيه إثم<br /><br />“Aurat wanita dihadapan wanita seperti aurat laki-laki di hadapan laki-laki, yaitu antara pusar dan lutut, akan tetapi ini bukan berarti bahwa wanita memakai pakaian pendek yang tidak menutup kecuali apa yang ada diantara pusar dan lutut, karena ucapan seperti ini tidak pernah dikatakan oleh para ahli ilmu, akan tetapi maknanya adalah bahwasanya seorang wanita apabila mengenakan pakaian yang luas, tebal, panjang kemudian apabila nampak sebagian kakinya atau lehernya atau yang lainnya, di depan wanita lain maka ini tidak berdosa.” (Majmu’ Fataawaa wa Rasaa’il Syeikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimiin 12/267)<br /><br />Wallahu ‘alam.<br /><br />Ustadz Abdullah Roy, Lc.<br /><br />Sumber: tanyajawabagamaislam.blogspot.com</span>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-60196158779695239842010-06-21T05:55:00.000-07:002010-06-21T05:57:32.629-07:00Apakah Batasan Jilbab Syar’i?Pertanyaan:<br /><br />Assalamu’alaykum warohmatullah<br /><br />Ustadz, saya ingin bertanya berkaitan dengan jilbab muslimah. Sebenarnya seperti apa yang benar? Insya Allah sudah tahu syaratnya, menutupi seluruh tubuh, longgar, tebal, tidak menarik perhatian, tidak tasyabbuh dengan laki-laki dan wanita kafir, dll. Sedikit saya gambarkan mengenai busana saya sehari-hari (afwan), saya memakai gamis yang gelap tidak menarik perhatian. Hitam, atau merah hati, warna anggur. Namun kerudung saya hingga perut. Nah kerudung saya ini yang suka dipermasalahkan oleh teman-teman ngaji saya. Mereka memakai hingga lutut. Sebenarnya panjang krudung itu sampai mana ustadz? Bukankah di alquran itu hingga dada? An Nur 31. Kalau saya berdalil begitu, maka teman-teman mengatakan yang sampai dada itu kerudung dalam. Saya jadi bingung ustadz. Padahal gamis saya sendiri sudah longgar dan tebal. Tapi kerudung saya seperut. Apakah itu belum syar’i? Kerudung saya juga lebar. Tidak macam-macam dengan perhiasan. Dan masalah penggunaan sarung tangan. Bagaimana ustadz hukum nya, apakah wajib? Kan katanya yang bikin aurot adalah telapak tangan. Berarti punggung tangan aurot? Mohon penjelasannya. Jazakallahu khairan.<br /><br />Wassalamu’alaikum<br /><br />(Ummu Hindun)<span class="fullpost">Jawab:<br /><br />Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu.<br /><br />Hijab syar’i bagi seorang wanita muslimah ketika keluar rumah setelah memakai gamis (baju panjang) adalah khimar (kerudung penutup kepala, leher, dan dada), dan jilbab (baju setelah gamis dan khimar yang menutup seluruh badan wanita/abaya). Yang penanya kenakan sekarang-wallahu a’lam- adalah khimar yang tercantum dalam firman Allah ta’ala:<br /><br />(وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ )(النور: من الآية31)<br /><br />“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan khimar ke juyub (celah-celah pakaian) mereka.” (Qs. 24:31)<br /><br />Berkata Ath-Thabary rahimahullahu:<br /><br />وليلقين خُمُرهنّ …على جيوبهنّ، ليسترن بذلك شعورهنّ وأعناقهن وقُرْطَهُنَّ<br /><br />“Hendaknya mereka melemparkan khimar-khimar mereka di atas celah pakaian mereka supaya mereka bisa menutupi rambut, leher , dan anting-anting mereka.” (Jami’ul Bayan 17/262, tahqiq Abdullah At-Turky)<br /><br />Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu:<br /><br />يعني: المقانع يعمل لها صَنفات ضاربات على صدور النساء، لتواري ما تحتها من صدرها وترائبها؛ ليخالفن شعارَ نساء أهل الجاهلية، فإنهن لم يكن يفعلن ذلك، بل كانت المرأة تمر بين الرجال مسفحة بصدرها، لا يواريه شيء، وربما أظهرت عنقها وذوائب شعرها وأقرطة آذانها. …والخُمُر: جمع خِمار، وهو ما يُخَمر به، أي: يغطى به الرأس، وهي التي تسميها الناس المقانع<br /><br />“Khimar, nama lainnya adalah Al-Maqani’, yaitu kain yang memiliki ujung-ujung yang dijulurkan ke dada wanita, untuk menutupi dada dan payudaranya, hal ini dilakukan untuk menyelisihi syi’ar wanita jahiliyyah karena mereka tidak melakukan yang demikian, bahkan wanita jahiliyyah dahulu melewati para lelaki dalam keadaan terbuka dadanya, tidak tertutupi sesuatu, terkadang memperlihatkan lehernya dan ikatan-ikatan rambutnya, dan anting-anting yang ada di telinganya. Dan khumur adalah jama’ dari khimar, artinya apa-apa yang digunakan untuk menutupi, maksudnya disini adalah yang digunakan untuk menutupi kepala, yang manusia menyebutnya Al-Maqani’ (Tafsir Ibnu Katsir 10/218, cet. Muassah Qurthubah)<br /><br />Lihat keterangan yang semakna di kitab-kitab tafsir seperti Tafsir Al-Baghawy, Tafsir Al-Alusy, Fathul Qadir dll, ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31.<br /><br />Dan kitab-kitab fiqh seperti Mawahibul Jalil (4/418, cet. Dar ‘Alamil Kutub), Al-Fawakih Ad-Dawany (1/334 cet. Darul Kutub Al-’Ilmiyyah), Mughny Al-Muhtaj (1/502, cet. Darul Ma’rifah) dll.<br /><br />Demikian pula kitab-kitab lughah (bahasa) seperti Al-Mishbahul Munir (1/248, cet. Al-Mathba’ah Al-Amiriyyah), Az-Zahir fii ma’ani kalimatin nas (1/513, tahqiq Hatim Shalih Dhamin), Lisanul ‘Arab hal:1261, Mu’jamu Lughatil Fuqaha, dll.<br /><br />Yang intinya bahwa pengertian khimar di dalam surat An-Nur ayat 31 adalah kain kerudung yang digunakan wanita untuk menutup kepala sehingga tertutup rambut, leher, anting-anting dan dada mereka. Sementara itu wajib bagi wanita muslimah mengenakan jilbab setelah mengenakan khimar ketika keluar rumah, sebagaimana tercantum dalam firman Allah ta’ala:<br /><br />(يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَحِيماً) (الأحزاب:59)<br /><br />Artinya:” Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. 33:59)<br /><br />Para ulama berbeda-beda dalam menafsirkan jilbab, ada yang mengatakan sama dengan khimar, ada yang mengatakan lebih besar, dll (lihat Lisanul Arab hal: 649). Dan yang benar –wallahu a’lamu- jilbab adalah pakaian setelah khimar, lebih besar dari khimar, menutup seluruh badan wanita.<br /><br />Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu:<br /><br />والجلباب هو: الرداء فوق الخمار<br /><br />“Dan jilbab adalah pakaian di atas khimar.” (Tafsir Ibnu Katsir 11/252)<br /><br />Berkata Al-Baghawy rahimahullahu:<br /><br />وهو الملاءة التي تشتمل بها المرأة فوق الدرع والخمار.<br /><br />“Jilbab nama lainnya adalah Al-Mula’ah dimana wanita menutupi dirinya dengannya, dipakai di atas Ad-Dir’ (gamis/baju panjang dalam/daster) dan Al-Khimar.” (Ma’alimut Tanzil 5/376, cet. Dar Ath-Thaibah)<br /><br />Berkata Syeikhul Islam rahimahullahu:<br /><br />و الجلابيب هي الملاحف التي تعم الرأس و البدن<br /><br />“Dan jilbab nama lain dari milhafah, yang menutupi kepala dan badan.” (Syarhul ‘Umdah 2/270)<br /><br />Berkata Abu Abdillah Al-Qurthuby rahimahullahu:<br /><br />الجلابيب جمع جلباب، وهو ثوب أكبر من الخمار…والصحيح أنه الثوب الذي يستر جميع البدن. “الجلابيب<br /><br />adalah jama’ جلباب, yaitu kain yang lebih besar dari khimar…dan yang benar bahwasanya jilbab adalah kain yang menutup seluruh badan.” (Al-Jami’ li Ahkamil Quran 17/230, tahqiq Abdullah At-Turky)<br /><br />Berkata Syeikh Muhammad Amin Asy-Syinqithy rahimahullahu:<br /><br />فقد قال غير واحد من أهل العلم إن معنى : يدنين عليهن من جلابيبهن : أنهن يسترن بها جميع وجوههن<br /><br />، ولا يظهر منهن شيء إلا عين واحدة تبصر بها ، وممن قال به ابن مسعود ، وابن عباس ، وعبيدة السلماني وغيرهم<br /><br />“Beberapa ulama telah mengatakan bahwa makna ” يدنين عليهن من جلابيبهن” bahwasanya para wanita tersebut menutup dengan jilbab tersebut seluruh wajah mereka, dan tidak nampak sesuatupun darinya kecuali satu mata yang digunakan untuk melihat, diantara yang mengatakan demikian Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, dan Ubaidah As-Salmany dan lain-lain.” (Adhwa’ul Bayan 4/288) Oleh karena itu hendaknya penanya melengkapi busana muslimahnya dengan jilbab setelah mengenakan khimar.<br /><br />Datang dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah:<br /><br />والمشروع أن يكون الخمار ملاصقا لرأسها، ثم تلتحف فوقه بملحفة وهي الجلباب؛ لقول الله سبحانه: سورة الأحزاب الآية 59 يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ الآية.<br /><br />“Yang disyari’atkan adalah hendaknya khimar menempel di kepalanya, kemudian menutup di atasnya dengan milhafah, yaitu jilbab, karena firman Allah ta’alaa dalam surat Al-Ahzab ayat 59:<br /><br />يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ<br /><br />(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 17/176)<br /><br />Berkata Syeikh Al-Albany rahimahullahu:<br /><br />فالحق الذي يقتضِيه العمل بما في آيتي النّور والأحزاب ؛ أنّ المرأة يجب عليها إذا خرجت من دارها أنْ تختمر وتلبس الجلباب على الخمار؛ لأنّه كما قلنا : أسْتر لها وأبعد عن أنْ يصف حجم رأسها وأكتافها , وهذا أمر يطلبه الشّارع … واعلم أنّ هذا الجمع بين الخمار والجلباب من المرأة إذا خرجت قد أخلّ به جماهير النّساء المسلمات ؛ فإنّ الواقع منهنّ إمّا الجلباب وحده على رؤوسهن أو الخمار , وقد يكون غير سابغ في بعضهن… أفما آن للنّساء الصّالحات حيثما كنّ أنْ ينْتبهن من غفلتهن ويتّقين الله في أنفسهن ويضعن الجلابيب على خُمرهن<br /><br />“Maka yang benar, sebagai pengamalan dari dua ayat, An-Nur dan Al-Ahzab, adalah bahwasanya wanita apabila keluar dari rumahnya wajib atasnya mengenakan khimar dan jilbab di atas khimar, karena yang demikian lebih menutup dan lebih tidak terlihat bentuk kepala dan pundaknya, dan ini yang diinginkan Pembuat syari’at…dan ketahuilah bahwa menggabungkan antara khimar dengan jilbab bagi wanita apabila keluar rumah telah dilalaikan oleh mayoritas wanita muslimah, karena yang terjadi adalah mereka mengenakan jilbab saja atau khimar saja, itu saja kadang tidak menutup seluruhnya… apakah belum waktunya wanita-wanita shalihah dimanapun mereka berada supaya sadar dari kelalaian mereka dan bertaqwa kepada Allah dalam diri-diri mereka, dan mengenakan jilbab di atas khimar-khimar mereka?” (Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah hal: 85-86)<br /><br />Berkata Syeikh Bakr Abu Zaid rahimahullahu:<br /><br />حجابها باللباس، وهو يتكون من: الجلباب والخمار، …فيكون تعريف الحجاب باللباس هو:ستر المرأة جميع بدنها، ومنه الوجه والكفان والقدمان، وستر زينتها المكتسبة بما يمنع الأجانب عنها رؤية شيء من ذلك، ويكون هذا الحجاب بـ الجلباب والخمار<br /><br />“Hijab wanita dengan pakaian terdiri dari jilbab dan khimar…maka definisi hijab dengan pakaian adalah seorang wanita menutupi seluruh badannya termasuk wajah, kedua telapak tangan, dan kedua telapak kaki, dan menutupi perhiasan yang dia usahakan dengan apa-apa yang mencegah laki-laki asing melihat sebagian dari perhiasan-perhiasan tersebut, dan hijab ini terdiri dari jilbab dan khimar.” (Hirasatul Fadhilah 29-30) Sebagian ulama mengatakan bahwa jilbab tidak harus satu potong kain, akan tetapi diperbolehkan 2 potong dengan syarat bisa menutupi badan sesuai dengan yang disyari’atkan (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 17/178).<br /><br />Wallahu a’lam.<br /><br />Ustadz Abdullah Roy, Lc.<br /><br />Sumber: tanyajawabagamaislam.blogspot.com</span>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-73316390953233938312010-06-16T01:15:00.000-07:002010-06-16T01:16:40.080-07:00Tata Cara Shalat Malam dan Witir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamTarawih merupakan bentuk jamak dari kata tarwihah. Secara bahasa berarti jalsah (duduk). Kemudian perbuatan duduk pada bulan Ramadhan setelah selesai shalat malam 4 rakaat disebut tarwihah; karena dengan duduk itu orang-orang bisa beristirahat setelah lama melaksanakan qiyam Ramadhan.<br /><br />Menegakkan Shalat malam atau tahajud atau tarawih dan shalat witir di bulan Ramadhan merupakan amalan yang sunnah. Bahkan orang yang menegakkan malam Ramadhan dilandasi dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu.<br /><br />Sebagaimana dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />«مَنْ قاَمَ رَمَضَانَ إِيـْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »<br /><br />“Siapapun yang menegakkan bulan Ramadhan dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Muslim 1266)<span class="fullpost">Pada asalnya shalat sunnah malam hari dan siang hari adalah satu kali salam setiap dua rakaat. Berdasarkan keterangan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah shalat malam itu?” Beliau menjawab:<br /><br />« مَثْنىَ مَثْنىَ فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ »<br /><br />“Dua rakaat – dua rakaat. Apabila kamu khawatir mendapati subuh, maka hendaklah kamu shalat witir satu rakaat.” (HR. Bukhari)<br /><br />Dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang lain dikatakan:<br /><br />« صَلاَةُ اللَّيْلِ وَ النَّهَارِ رَكْعَتَانِ رَكْعَتَانِ »<br /><br />“Shalat malam hari dan siang hari itu dua rakaat – dua rakaat.” (HR Ibn Abi Syaibah) (At-Tamhiid, 5/251; Al-Hawadits, 140-143; Fathul Bari’ 4/250; Al-Muntaqo 4/49-51)<br /><br />Maka jika ada dalil lain yang shahih yang menerangkan berbeda dengan tata cara yang asal (dasar) tersebut, maka kita mengikuti dalil yang shahih tersebut. Adapun jumlah rakaat shalat malam atau shalat tahajud atau shalat tarawih dan witir yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah lebih dari 11 atau 13 rakaat.<br /><br />Shalat tarawih dianjurkan untuk dilakukan berjamaah di masjid karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melakukan hal yang sama walaupun hanya beberapa hari saja. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Nu’man bin Basyir rahimahullah, ia berkata:<br /><br />“Kami melaksanakan qiyamul lail bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam 23 Ramadhan sampai sepertiga malam. Kemudian kami shalat lagi bersama beliau pada malam 25 Ramadhan sampai separuh malam. Kemudian beliau memimpin lagi pada malam 27 Ramadhan sampai kami menyangka tidak akan sempat mendapati sahur.” (HR. Nasa’i, Ahmad, Al-Hakim, Shahih)<br /><br />Beserta sebuah Hadits dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dia berkata:<br /><br />Kami puasa tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memimpin kami untuk melakukan shalat (tarawih) hingga Ramadhan tinggal tujuh hari lagi, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat sampai lewat sepertiga malam. Kemudian beliau tidak keluar lagi pada malam ke enam (tinggal 6 hari lagi – pent). Dan pada malam ke lima (tinggal 5 hari – pent) beliau memimpin shalat lagi sampai lewat separuh malam. Lalu kami berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Seandainya engkau menambah lagi untuk kami sisa malam kita ini?’, maka beliau bersabda:<br /><br />« مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتىَّ يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ »<br /><br />“Barang siapa shalat tarawih bersama imam sampai selesai maka ditulis baginya shalat malam semalam suntuk.”<br /><br />Kemudian beliau tidak memimpin shalat lagi hingga Ramadhan tinggal tiga hari. Maka beliau memimpin kami shalat pada malam ketiga. Beliau mengajak keluarga dan istrinya. Beliau mengimami sampai kami khawatir tidak mendapatkan falah. Saya (perowi) bertanya ‘apa itu falah?’ Dia (Abu Dzar) berkata ’sahur’. (HR. Nasa’i, Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Daud, Ahmad, Shahih)<br /><br />Hadits itu secara gamblang dan tegas menjelaskan bahwa shalat berjamaah bersama imam dari awal sampai selesai itu sama dengan shalat sendirian semalam suntuk. Hadits tersebut juga sebagai dalil dianjurkannya shalat malam dengan berjamaah.<br /><br />Bahkan diajurkan pula terhadap kaum perempuan untuk shalat tarawih secara berjamaah, hal ini sebagaimana yang diperintahkan oleh khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu yaitu beliau memilih Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu untuk menjadi imam untuk kaum lelaki dan memilih Sulaiman bin Abu Hatsmah radhiyallahu ‘anhu untuk menjadi imam bagi kaum wanita.<br /><br />Tata Cara Shalat Malam<br /><br />Perlu kita ketahui bahwa tata cara shalat malam atau tarawih dan shalat witir yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada beberapa macam. Dan tata cara tersebut sudah tercatat dalam buku-buku fikih dan hadits. Tata cara yang beragam tersebut semuanya pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Semua tata cara tersebut adalah hukumnya sunnah.<br /><br />Maka sebagai perwujudan mencontoh dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hendaklah kita terkadang melakukan cara ini dan terkadang melakukan cara itu, sehingga semua sunnah akan dihidupkan. Kalau kita hanya memilih salah satu saja berarti kita mengamalkan satu sunnah dan mematikan sunnah yang lainnya. Kita juga tidak perlu membuat-buat tata cara baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mengikuti tata cara yang tidak ada dalilnya.<br /><br />Shalat tarawih sebanyak 13 rakaat dengan perincian sebagai berikut:<br /><br /> 1. Beliau membuka shalatnya dengan shalat 2 rakaat yang ringan.<br /> 2. Kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang panjang.<br /> 3. Kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan tiap rakaat yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya hingga rakaat ke-12.<br /> 4. Kemudian shalat witir 1 rakaat.<br /><br />Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Kholid al-Juhani, beliau berkata: “Sesungguhnya aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam, maka beliau memulai dengan shalat 2 rakaat yang ringan, Kemudian beliau shalat 2 rakaat dengan bacaan yang panjang sekali, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat witir 1 rakaat.” (HR. Muslim)<br /><br />Faedah, Hadits ini menjadi dalil bolehnya shalat iftitah 2 rakaat sebelum shalat tarawih.<br /><br />Shalat tarawih sebanyak 13 rakaat dengan perincian sebagai berikut:<br /><br /> 1. Melakukan shalat 8 rakaat dengan sekali salam setiap 2 rakaat.<br /> 2. Kemudian melakukan shalat witir langsung 5 rakaat sekali salam.<br /><br />Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan tidur malam, maka apabila beliau bangun dari tidur langsung bersiwak kemudian berwudhu. Setelah itu beliau shalat delapan rakaat dengan bersalam setiap 2 rakaat kemudian beliau melakukan shalat witir lima rakaat yang tidak melakukan salam kecuali pada rakaat yang kelima.”<br /><br />Shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan perincian sebagai berikut:<br /><br /> 1. Melakukan shalat 10 rakaat dengan sekali salam setiap 2 rakaat.<br /> 2. Kemudian melakukan shalat witir 1 rakaat.<br /><br />Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah, beliau berkata:<br /><br />كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلّ الله عليه و سلّم يُصَلىِّ فِيْمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ – وَ هِيَ الَّتِي يَدْعُوْ النَّاسُ الْعَتَمَةَ – إِلىَ الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُسَلَّمُ بَيْنَ كُلّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوْتِرُ بِوَاحِدَةٍ<br /><br />“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam atau tarawih setelah shalat Isya’ – Manusia menyebutnya shalat Atamah – hingga fajar sebanyak 11 rakaat. Beliau melakukan salam setiap dua rakaat dan beliau berwitir satu rakaat.” (HR. Muslim)<br /><br />Shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan perincian sebagai berikut:<br /><br /> 1. Melakukan shalat 8 rakaat dengan sekali salam setiap 4 rakaat.<br /> 2. Kemudian shalat witir langsung 3 rakaat dengan sekali salam.<br /><br />Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Aisyah, beliau berkata:<br /><br />مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلّ الله عليه و سلّم يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَ لاَ فِي غَيْرِهِ إِحْدَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلَـهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلَـهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثاً<br /><br />“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah bilangan pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan selain Ramadhan dari 11 Rakaat. Beliau shalat 4 rakaat sekali salam maka jangan ditanya tentang kebagusan dan panjangnya, kemudian shalat 4 rakaat lagi sekali salam maka jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian shalat witir 3 rakaat.” (HR Muslim)<br /><br />Tambahan: Tidak ada duduk tahiyat awal pada shalat tarawih maupun shalat witir pada tata cara poin ini, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut. Bahkan ada larangan menyerupai shalat maghrib.<br /><br />Shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan perincian sebagai berikut:<br /><br /> 1. Melakukan shalat langsung sembilan rakaat yaitu shalat langsung 8 rakaat, tidak duduk kecuali pada rakaat yang kedelapan tanpa salam kemudian berdiri 1 rakaat lagi kemudian salam.<br /> 2. Kemudian shalat 2 rakaat dalam keadaan duduk.<br /><br />Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah, beliau berkata:<br /><br />كُناَّ نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَ طَهُوْرَهُ، فَيَـبْعَثُهُ اللهُ مَا شَاءَ أَنْ يَـبْعَثَهُ مِنَ الَّيْلِ، فَيَتَسَوَّكُ وَ يَتَوَضَأُ وَ يُصَلِى تِسْعَ رَكْعَةٍ لاَ يَـجْلِسُ فِيْهَا إِلاَّ فِي الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللهَ وَ يَحْمَدُهُ وَ يَدْعُوْهُ، ثُمَّ يَنْهَضُ وَ لاَ يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُوْمُ فَيُصَلِّى التَّاسِعَةَ، ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللهَ وَ يَحْمَدُهُ وَ يَدْعُوْهُ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيْمًا يُسْمِعْناَ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِمُ وَ هُوَ قَاعِدٌ (رواه مسلم)<br /><br />“Kami dahulu biasa menyiapkan siwak dan air wudhu untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atas kehendak Allah beliau selalu bangun malam hari, lantas tatkala beliau bangun tidur langsung bersiwak kemudian berwudhu. Kemudian beliau melakukan shalat malam atau tarawih 9 rakaat yang beliau tidak duduk kecuali pada rakaat yang kedelapan lantas membaca pujian kepada Allah dan shalawat dan berdoa dan tidak salam, kemudian bangkit berdiri untuk rakaat yang kesembilan kemudian duduk tahiyat akhir dengan membaca dzikir, pujian kepada Allah, shalawat dan berdoa terus salam dengan suara yang didengar oleh kami. Kemudian beliau melakukan shalat lagi 2 rakaat dalam keadaan duduk.” (HR. Muslim 1233 marfu’, mutawatir)<br /><br />Faedah, Hadits ini merupakan dalil atas:<br /><br /> 1. Bolehnya shalat lagi setelah shalat witir.<br /> 2. Terkadang Nabi shalat witir terlebih dahulu baru melaksanakan shalat genap.<br /> 3. Bolehnya berdoa ketika duduk tasyahud awal.<br /> 4. Bolehnya shalat malam dengan duduk meski tanpa uzur.<br /><br />Shalat tarawih sebanyak 9 rakaat dengan perincian sebagai berikut:<br /><br /> 1. Melakukan shalat dua rakaat dengan bacaan yang panjang baik dalam berdiri, ruku’ maupun sujud kemudian berbaring.<br /> 2. Setelah bangun kemudian shalat 2 rakaat lagi dengan bacaan yang panjang baik ketika berdiri, ruku’ maupun sujud kemudian berbaring.<br /> 3. Setelah bangun kemudian shalat 2 rakaat lagi dengan bacaan yang panjang baik ketika berdiri, ruku’ maupun sujud kemudian berbaring.<br /> 4. Setelah bangun shalat witir 3 rakaat.<br /><br />Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:<br /><br />…ثُمَّ قَامَ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ فَأَطَالَ فِيْهْمَا الْقِيَامَ وَ الرُّكُوْعَ وَ السُّجُوْدَ ثُمَّ انْصَرَفَ فَنَامَ حَتَّى نَفَغَ ثُمَّ فَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ سِتُّ رَكَعَاتٍ كُلُّ ذَلِكَ يَشْتاَكُ وَ يَتَوَضَأُ وَ يَقْرَأُ هَؤُلاَءِ الآيَاتِ ثُمَّ أَوْتَرَ بِثَلاَثٍ<br /><br />“…Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri melakukan shalat 2 rakaat maka beliau memanjangkan berdiri, rukuk dan sujudnya dalam 2 rakaat tersebut, kemudian setelah selesai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring sampai mendengkur. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi hal tersebut sampai 3 kali sehingga semuanya berjumlah 6 rakaat. Dan setiap kali hendak melakukan shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak kemudian berwudhu terus membaca ayat (Inna fii kholqis samawati wal ardhi wakhtilafil laili… sampai akhir surat) kemudian berwitir 3 rakaat.” (HR. Muslim)<br /><br />Faedah, Hadits ini juga menjadi dalil kalau tidur membatalkan wudhu<br /><br />Shalat tarawih sebanyak 9 rakaat dengan perincian sebagai berikut:<br /><br /> 1. Melakukan shalat langsung 7 rakaat yaitu shalat langsung 6 rakaat, tidak duduk kecuali pada rakaat yang ke-6 tanpa salam kemudian berdiri 1 rakaat lagi kemudian salam. Maka sudah shalat 7 rakaat.<br /> 2. Kemudian shalat 2 rakaat dalam keadaan duduk.<br /><br />Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah yang merupakan kelanjutan hadits no.5 beliau berkata: “Maka tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tua dan mulai kurus maka beliau melakukan shalat malam atau tarawih 7 rakaat. Dan beliau melakukan shalat 2 rakaat yang terakhir sebagaimana yang beliau melakukannya pada tata cara yang pertama (dengan duduk). Sehingga jumlah seluruhnya 9 rakaat.” (HR. Muslim 1233)<br /><br />Disunnahkan pada shalat witir membaca surat “Sabbihisma…” pada rakaat yang pertama dan membaca surat al-Ikhlas pada rakaat yang kedua dan membaca surat al-Falaq atau an-Naas pada rakaat yang ketiga. Atau membaca surat “Sabbihisma…” pada rakaat yang pertama dan membaca surat al-Kafirun pada rakaat yang kedua dan membaca al-Ikhlas pada rakaat yang ketiga.<br /><br />Tata cara tersebut di atas semua benar. Boleh melakukan shalat malam atau tahajud atau tarawih dan witir dengan cara yang dia sukai, tetapi yang lebih afdhol adalah mengerjakan semua tata cara tersebut dengan berganti-ganti. Karena bila hanya memilih satu cara berarti menghidupkan satu sunnah tetapi mematikan sunnah yang lainnya. Bila melakukan semua tata cara tersebut dengan berganti-ganti berarti telah menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak ditinggalkan oleh kaum Muslimin.<br /><br />Adapun pada zaman Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu Kaum muslimin melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 rakaat, 13 rakaat, 21 rakaat dan 23 rakaat. Kemudian 39 rakaat pada zaman khulafaur rosyidin setelah Umar radhiyallahu ‘anhu tetapi hal ini khusus di Madinah. Hal ini bukanlah bid’ah (sehingga sama sekali tidak bisa dijadikan dalil untuk adanya bid’ah hasanah) karena para sahabat memiliki dalil untuk melakukan hal ini (shalat tarawih lebih dari 13 rakaat). Dalil tersebut telah disebutkan di atas ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang shalat malam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:<br /><br />« مَثْنىَ مَثْنىَ فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ »<br /><br />“Dua rakaat – dua rakaat. Apabila kamu khawatir mendapati subuh, maka hendaklah kamu shalat witir satu rakaat.” (HR. Bukhari)<br /><br />Pada hadits tersebut jelas tidak disebutkan adanya batasan rakaat pada shalat malam baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Batasannya adalah datangnya waktu subuh maka diperintahkan untuk menutup shalat malam dengan witir.<br /><br />Para ulama berbeda sikap dalam menanggapi perbedaan jumlah rakaat tersebut. Jumhur ulama mendekati riwayat-riwayat tersebut dengan metode al-Jam’u bukan metode at-Tarjih (Metode tarjih adalah memilih dan memakai riwayat yang shahih serta meninggalkan riwayat yang lain atau dengan kata lain memilih satu pendapat dan meninggalkan pendapat yang lain. Hal ini dipakai oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam menyikapi perbedaan jumlah rakaat ini. Metode al-Jam’u adalah menggabungkan yaitu memakai semua riwayat tanpa meninggalkan dan memilih satu riwayat tertentu. Metode ini dipilih oleh jumhur ulama dalam permasalahan ini). Berikut ini beberapa komentar ulama yang menggunakan metode penggabungan (al-Jam’u) tentang perbedaan jumlah rakaat tersebut:<br /><br /> * Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ia boleh shalat 20 rakaat sebagaimana yang masyhur dalam mazhab Ahmad dan Syafi’i. Boleh shalat 36 rakaat sebagaimana yang ada dalam mazhab Malik. Boleh shalat 11 dan 13 rakaat. Semuanya baik, jadi banyak atau sedikitnya rakaat tergantung lamanya bacaan atau pendeknya.” (Majmu’ al-Fatawa 23/113)<br /> * Ath-Thartusi berkata: “Para sahabat kami (malikiyyah) menjawab dengan jawaban yang benar, yang bisa menyatukan semua riwayat. Mereka berkata mungkin Umar pertama kali memerintahkan kepada mereka 11 rakaat dengan bacaan yang amat panjang. Pada rakaat pertama imam membaca 200 ayat karena berdiri lama adalah yang terbaik dalam shalat. Tatkala masyarakat tidak kuat lagi menanggung hal itu maka Umar memerintahkan 23 rakaat demi meringankan lamanya bacaan. Dia menutupi kurangnya keutamaan dengan tambahan rakaat. Maka mereka membaca surat Al-Baqarah dalam 8 rakaat atau 12 rakaat.”<br /> * Imam Malik rahimahullah berkata: “Yang saya pilih untuk diri saya dalam qiyam Ramadhan adalah shalat yang diperintahkan Umar yaitu 11 rakaat itulah cara shalat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun 11 dekat dengan 13.<br /> * Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bazz berkata: “Sebagian mereka mengira bahwa tarawih tidak boleh kurang dari 20 rakaat. Sebagian lain mengira bahwa tarawih tidak boleh lebih dari 11 atau 13 rakaat. Ini semua adalah persangkaan yang tidak pada tempatnya, BAHKAN SALAH. Bertentangan dengan hadits-hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa shalat malam itu muwassa’ (leluasa, lentur, fleksibel). Tidak ada batasan tertentu yang kaku yang tidak boleh dilanggar.”<br /><br />Adapun kaum muslimin akhir jaman di saat ini khususnya di Indonesia adalah umat yang paling lemah. Kita shalat 11 rakaat (Paling sedikit) dengan bacaan yang pendek dan ada yang shalat 23 rakaat dengan bacaan pendek bahkan tanpa tu’maninah sama sekali!!!<br /><br />Doa Qunut dalam Shalat Witir<br /><br />Doa qunut nafilah yakni doa qunut dalam shalat witir termasuk amalan sunnah yang banyak kaum muslimin tidak mengetahuinya. Karena tidak mengetahuinya banyak kaum muslimin yang membid’ahkan imam yang membaca doa qunut witir. Kadang-kadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai qunut dalam shalat witir dan terkadang tidak. Hal ini berdasarkan hadits:<br /><br />كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقْنُتُ فِي رَكْعَةِ الْوِتْرِ<br /><br />“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang membaca qunut dalam shalat witir.” (HR. Ibnu Nashr dan Daraquthni dengan sanad shahih)<br /><br />يَجْعَلُهُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ<br /><br />“Beliau membaca qunut itu sebelum ruku.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud dan An-Nasa’i dalam kitab Sunanul Qubro, Ahmad, Thobroni, Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir dengan sanad shahih)<br /><br />Adapun doa qunut tersebut dilakukan setelah ruku’ atau boleh juga sebelum ruku’. Doa tersebut dibaca keras oleh imam dan diaminkan oleh para makmumnya. Dan boleh mengangkat tangan ketika membaca doa qunut tersebut.<br /><br />Di antara doa qunut witir yang disyariatkan adalah:<br /><br />« الَلَّهُمَّ اهْدِناَ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِناَ فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّناَ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَباَرِكْ لَناَ فِيْماَ أَعْطَيْتَ، وَقِناَ شَرَّ ماَ قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّناَ وَتَعَالَيْتَ، لاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ »<br /><br />Maraji’:<br /><br /> 1. Shohih Muslim<br /> 2. Qiyaamur Ramadhan li Syaikh Al-Albanyrahimahullah<br /> 3. Sifat Tarawih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam<br /> 4. Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam<br /> 5. Majalah As-Sunnah Edisi 07/1424H/2003M<br /> 6. Tata Cara Shalat Malam Nabi oleh Ustadz Arif Syarifuddin, Lc.<br /><br />Timika, 3 Ramadhan 1428 H<br /><br />***<br /><br />Penulis: R. Handanawirya (Alumni Ma’had Ilmi)<br />Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar</span>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-43302289638339335592010-06-01T07:52:00.000-07:002010-06-01T07:53:13.768-07:00Saling Menasehatilah,,,Dan Perhatikan Adab-AdabnyaKewajiban Terhadap Orang Yang Menyelisihi Kita Dalam Suatu MasalahSyaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily mengatakan :<br /><br />1. Kita tidak boleh berbicara dalam masalah ini kecuali dengan ilmu, bukan dengan dzon (persangkaaan)<br /><br />2. Tatsabut dan meneliti, karena bisa jadi dia yang benar dan kita yang salah, maka kita harus meneliti ucapan yang kita anggap salah ini.<br /><br />3. Kembali kepada nash-nash (Al-Quran dan Sunnah) serta pemahaman generasi sahabat, dan jika ada problem pada kita, kembalilah kepada ulama.<br /><br />4. Jika kita telah yakin bahwa dialah yang menyelisihi, maka wajib untuk menasehatinya dengan mengatakan: Yaa Akhi. Sesungguhnya Anda tidak menginginkan kecuali kebaikan, tapi Anda salah dalam masalah ini, dan yang benar adalah apa yang dikuatkan oleh nash-nash yang mengatakan begini<br /><br /><br />Adapun langkah-langkah dalam menasehati bukan hanya satu cara saja, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia mengubah dengan tangannya , jika tak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan hatinya..<span class="fullpost">Jadi Kewajiban Kita Adalah :<br /><br />1. Mengingkari kesalahan dalam hati. Setiap yang kita lihat bersalah harus kita ingkari dengan hati kita, serta tidak suka kesalahan tersebut ada pada kaum muslimin, ini adalah kewajiban setiap muslim<br /><br />2. Setelah itu kita melihat, apakah kita ini termasuk orang yang mampu dalam mengingkari dengan lisan atau tidak..? karena manusia itu bukan hanya satu derajat, ada ulama-ulama besar yang diterima perkataanya oleh manusia, apabila para ulama itu berbicara merekapun mendengarnya sehingga hilanglah perselisihan, ada pula para penuntut ilmu pemula yang apabila mereka yang berbicara bisa jadi malah menimbulkan fitnah pada manusia, maka lihat keadaan kita. Saya (Syaikh Ibrahim) memandang, apabila terjadi perselisihan pada suatu masyarakat, hendaklah melihat pada ahli ilmu yang diterima perkataannya di masyarakat itu, kemudian diminta untuk menasehati (mengingkari), adakalanya kedudukan kita mengharuskan kita untuk tidak mengingkari secara langsung, tapi hendaknya kita datangi dulu seorang ahli ilmu yang diterima perkataanya, kita katakan pada dia: Fulan telah berbuat begini dan begitu, sebaiknya Anda menasehatinya dan menerangkan pada dia (al-haq), mudah-mudahan Allah memberi petunjuk pada dia. Inilah wujud pengingkaran dengan lisan karena mengingkari itu tidak harus secara langsung.<br /><br />3. Kemudian tingkatan ketiga yaitu mengingkari dengan tangan (kekuatan). Tingkatan ini adalah hak orang yang punya kekuasaan, bukan cuma pemerintah, seorang pemimpin negara dapat mengingkari dengan kekuatannya, seorang ulama dapat mengingkari murid-muridnya, seorang ayah dapat mengingkari orang yang ada di rumahnya, demikianlah setiap orang yang mempunyai kekuasaan mengingkari dan mengubah sesuai dengan batas kekuasaannya, selama tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dengan pengingkaran itu.<br /><br /><br />Adapun jika kemungkaran itu bukan dalam batas kekuasaan kita, seperti kemungkaran yang ada pada suatu masyarakat, sedangkan kita tidak mempunyai kekuasaan, maka tidak boleh kita mengingkari dengan kekuatan karena hanya akan menimbulkan fitnah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban terhadap yang dipimpinnya, maka apakah kemungkaran itu ada pada orang yang berada dibawah kekuasaan kita !? Kita tidak dibebani untuk meningkari semua orang, tapi kita melaporkannya pada mereka yang bertanggung jawab atau para ulama, atau hakim yang melaksanakan kewajiban ini, adapun kewajiban kita adalah mengingkari sesuai dengan batas kekuasaan kita, kamu di rumah dapat menginkari anak-anak dan istri, juga keluarga kamu, demikian pula saudara-saudara kamu jika mereka menerima dan tidak menimbulkan kemungkaran-. Ini adalah macam dari pengingkaran dengan tangan (kekuatan) tapi sesuai dengan kemaslahatan jika tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.<br /><br />Kaidah dalam mengingkari adalah mengubah kemungkaran selama pengingkaran itu tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, jika menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, maka tidak boleh kita mengingkarinya, karena syariat bertujuan untuk mewujudkan kebaikan dan menghilangkan keburukan. Jika tidak mendatangkan kebaikan atau mencegah keburukan (kemungkaran), maka syariat mendahulukan maslahat yang lebih besar (untuk dilakukan) dan mafsadah yang lebih besar (untuk dijauhi).<br /><br />Hujjah itu tegak apabila seorang yang bersalah mengetahui kesalahan dalam suatu masalah dan tahu sebesar apa kesalahannya. Artinya dia tahu bahwa dia salah dan tahu sebesar apa kesalahan itu dengan dalil-dalilnya. Jika orang tersebut mengetahui kesalahannya maka telah tegak pada dia hujjah, contohnya adalah orang yang meninggalkan shalat, jika orang yang meninggalkan shalat ini belum tahu hukumnya, maka belum tegak hujjah itu pada dia. Lantas jika kita terangkan pada dia dalil-dalil dan hukumnya, maka hujjah telah tegak pada dia.<br /><br />Tapi terkadang orang tersebut hanya memahami sebagian hujjah, seperti dia tahu bahwa meninggalkan shalat itu haram hukumnya dan tahu bahwa itu maksiat, tapi dia tidak tahu kadar maksiat itu sehingga tidak mengira bahwa meninggalkan shalat karena meremehkan itu menjadikan pelakunya kafir misalnya-, maka orang semacam ini harus diberitahu bahwa dia itu salah, yaitu bahwa meninggalkan shalat itu kekufuran, dan dijelaskan kepadanya kadar kesalahan itu, inilah proses-proses yang harus dilalui. Dan hal ini tidak diketahui kecuali dengan dalil-dalil, yaitu bahwa orang yang bersalah memahami nash dan dalil yang menunjukkan kesalahan dia, maka jika dia telah faham, telah tegaklah hujjah pada dia, adapun jika dia mempunyai syubhat (kesamaran) atau ada penghalang tegaknya hujjah pada dia, maka tidak bias kita katakan bahwa hujjah telah ditegakkan pada dia.<br /><br />Penilaian tentang tegak atau tidaknya hujjah atas seseorang itu dikembalikan kepada ulama besar, dengan merekalah hujjah bisa tegak. Maka jika ulama tadi mendebat orang yang menyimpang dan menjelaskan pada dia kebenaran, pada waktu itulah kita memperkirakan apakah dia faham atau tidak. Tidak disyaratkan orang yang menyimpang itu mengakui bahwa hujjah telah tegak pada dia, tapi kapan saja kita tahu bahwa fulan telah tahu kebenaran dan jelas pada dia dalilnya, maka bisa kita katakan bahwa hujjah telah tegak pada dia. Hujjah tidak bisa ditegakkan oleh setiap orang, tapi ulamalah yang menegakkan hujjah, hujjah tidak bisa tegak dengan perkataan seseorang: Ketahuliah bahwa meninggalkan shalat adalah kufur, jika kamu terus tidak mau shalat, maka kamu kafir. Hujjah bisa tegak dengan menerangkan pada dia dalil-dalil dan menjawab syubhat-syubhat dia serta menghilangkan syubhat tersebut dan menghapuskan ketidaktahuan serta kejahilan yang ada pada dia sampai kita yakin bahwa orang yang menyimpang itu telah faham tapi terus melakukan kesalahannya karena menolak kebenaran dan sombong, pada waktu itulah kita dapat menghukuminya.<br /><br />Sebagian orang ada yang hujjah itu tidak bisa tegak dengannya, seperti orang jahil atau orang yang tidak bisa menegakkan hujjah dengan baik, misalnya; tidak bisa menjelaskan dalil dengan baik atau tidak berlemah lembut dalam dakwahnya, karena orang yang keras dalam dakwahnya tidak bias tegak hujjah dengannya, Allah berfirman kepada Nabi Musa dan Harun: Pergilah kalian berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut. (Thahaa: 43-44) Padahal Allah tahu bahwa Firaun akan mati dalam keadaan kafir, tapi Allah tetap memerintahkan untuk berkata dengan lemah lembut padanya, karena hujjah tak akan tegak kecuali dengan ar-rifqu dan al-liin (lemah lembut), adapun tanfir (cara yang membuat orang lari) tidak akan bisa hujjah itu tegak dengannya.<br /><br />Kemudian hujjah itu tidak bisa tegak kecuali dengan kesabaran dan penjelasan terhadap orang yang bersalah.<br /><br />Juga seorang alim yang menegakkan hujjah haruslah dipercayai keilmuannya oleh orang yang ditegakkan padanya hujjah, adapun jika penegak hujjah tidak dipercaya olehnya, maka terkadang tidak membuahkan hasil.<br /><br />Tidak ada suatu masalahpun yang dapat kita katakan: Bahwa penegakkan hujjah tidak disyaratkan di dalamnya (dalam masalah itu). Apabila orang yang bersalah itu tidak tahu hukumnya, maka Allah akan memberikan udzur padanya, ketika dia datang kepada Rabbnya di hari kiamat dan mengatakan: Saya jahil tentang masalah ini, dan Allah tahu kejujuran perkataannya, maka Allah memberikan udzur kepadanya. Walaupun sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa ada hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh (yang tidak-bisa-tidak pasti diketahui oleh semua orang) tapi ini menurut perkiraan kita, karena pada dasarnya hal-hal yang seperti itu kebanyakan tidak dilanggar kecuali oleh orang yang sombong atau keras kepala, tapi pada hakikatnya kalau kita katakan bahwa ini adalah masalah darurat yang harus diketahui dalam agama tapi ternyata si Fulan jahil terhadap hal ini, maka tidak bisa kita hukumi dengan kekafiran, karena Allah memberikan udzur dengan kejahilannya itu, firman Allah taala: Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya (Al-Baqarah: 286)<br /><br />Dan ketidakfahaman dia diluar kemampuannya, dan manusia tidak sama (tidak satu tingkatan) dalam hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh. Hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh ini bagi para ulama berbeda dengan hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh bagi para penuntut ilmu, dan hal-hal ini berbeda antara penuntut ilmu dan orang awwam, negara yang tersebar di dalamnya sunnah dan ilmu berbeda dengan negara yang jauh dari sunnah dan ilmu.<br /><br />Kaidah dalam hal ini adalah bahwa bagaimanapun kesalahan itu harus kita minta penjelasan. Ketika Muadz radhiallaahuanhu datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kemudian sujud padanya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Apa ini yaa Muadz?, padahal Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah mengutusnya untuk mengajarkan ilmu dan agama dan beliaupun seorang sahabat yang faqih, tapi ternyata hukum masalah ini tidak beliau ketahui, beliau melakukan hal itu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam karena takwil (karena beliau melihat ahli kitab bersujud pada rahib mereka, Beliaupun berpandangan bahwa kaum muslimin lebih berhak untuk bersujud kepada Nabinya) . Demikian pula Hatib radhiallaahuanhu, tersembunyi dari beliau masalah itu, padahal hukumnya jelas, sebagaimana dalam kisahnya (ketika Rasulullah menyiapkan pasukan besar untuk fathu Mekah, Hatib mengirimkan surat memberitahukan salah seorang kerabatnya yang ada di Mekah, melalui seorang wanita yang kemudian Allah beritahukan dengan wahyu-Nya, kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun memaafkan beliau (lihat Shahih Bukhari 3/1095 no. 2845, Shahih Muslim 4/1941 no.2394 –pent)<br /><br />Kerena syubhat itu menghalangi seseorang dari al-haq, walaupun itu seorang ulama, maka harus kita minta penjelasan sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukannya, kita katakan: Apa yang membuat anda berbuat demikian.?? Jika ternyata alasannya bisa diterima ketika itulah kita terangkan pada dia ilmu dan menjawab syubhatnya dan tidak boleh kita menghukumi dia hanya karena kesalahan.<br /><br />Sumber :<br /><br />Risalah ini disusun Oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen (Mhs Universitas Islam Madinah) dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk (Mhs Universitas Islam Madinah)<br /><br />www.almanhaj.or.id</span>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-43683781648109244372010-05-19T00:44:00.000-07:002010-05-19T00:46:47.227-07:00Nasihat Perkawinan Untuk Putriku<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_e6IET7SR1s4/S_OXU27fbuI/AAAAAAAAAR4/JdIaOfNAjNU/s1600/14433_1167187375211_1093728701_456238_3038918_n.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 213px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_e6IET7SR1s4/S_OXU27fbuI/AAAAAAAAAR4/JdIaOfNAjNU/s320/14433_1167187375211_1093728701_456238_3038918_n.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5472884356783501026" border="0" /></a><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">Abu Khaulah Zainal Abidin</span><br /></div><br />(Seandainya ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa panjangkan umurku dan memberikan kesempatan kepadaku menyaksikan pernikahan putriku tercinta, kira-kira seperti inilah yang ingin aku sampaikan):<br /><br />بسم الله الرحمن الرخيم<br /><br />إن الحمد لله , نحمده ونستعينه , ونستغفره , ونعوذ بالله من شرور أنفسنا , ومن سيئات أعمالنا , من يهده الله فلا مضل له , ومن يضلل فلا هادي له , وأشهد أن لاإله إلا الله وحده لاشريك له , وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وسلم .<br /><br />{ يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون }<br /><br />{ يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تسألون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا }<br /><br />{ يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا , يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم , ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما }<br /><br />Anak-anakku..,<br /><br />Hari ini akan menjadi satu di antara hari-hari yang paling bersejarah di dalam kehidupan kalian berdua. Sebentar lagi kalian akan menjadi sepasang suami-isteri, yang darinya kelak akan lahir anak-anak yang sholeh dan sholehah, dan kalian akan menjadi seorang bapak dan seorang ibu, untuk kemudian menjadi seorang kakek dan seorang nenek, ……insya الله.<br /><br />Rentang perjalanan hidup manusia yang begitu panjang … sesungguhnya singkat saja. Begitu pula…liku-liku dan pernik-pernik kerumitan hidup sesungguhnya jugalah sederhana. Kita semua.. diciptakan ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa tidak lain untuk beribadah kepada NYA. Maka, jika kita semua berharap kelak dapat berjumpa dengan ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa …dalam keadaan IA ridlo kepada kita, hendaklah kita jadikan segala tindakan kita semata-mata di dalam rangka mencari keridlo’an-NYA dan menyelaraskan diri kepada Sunnah Nabi-NYA Yang Mulia -Shallallahu alaihi wa sallam-<span class="fullpost">فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.<br /><br />(Maka barangsiapa merindukan akan perjumpaannya dengan robb-nya, hendaknya ia beramal dengan amalan yang sholeh, serta tidak menyekutukan dengan sesuatu apapun di dalam peribadatahan kepada robb-nya.)<br /><br />Begitu pula pernikahan ini, ijab-qabulnya, adanya wali dan dua orang saksi, termasuk hadirnya kita semua memenuhi undangan ini…adalah ibadah, yang tidak luput dari keharusan untuk sesuai dengan syari’at ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa.<br /><br />Oleh karena itu…, kepada calon suami anakku…<br /><br />Saya ingatkan, bahwa wanita itu dinikahi karena empat alasan, sebagaimana sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam:<br /><br />عن أبي هريره رضي الله عنه، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:<br />تنكح المرأة لأربع: لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها، فاظفر بذات الدين تربت يداك<br /><br />“Wanita dinikahi karena empat alasan. Hartanya, keturunannya, kecantikannya,atau agamanya. Pilihlah karena agamanya, niscaya selamatlah engkau.” (HR:Muslim)<br /><br />Maka ambilah nanti putriku sebagai isteri sekaligus sebagai amanah yang kelak kamu dituntut bertanggung jawab atasnya. Dengannya dan bersamanya lah kamu beribadah kepada ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa, di dalam suka…di dalam duka. Gaulilah ia secara baik, sesuai dengan yang diharuskan menurut syari’at ALLAH. Terimalah ia sepenuh hati, kelebihan dan kekurangannya, karena ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa telah memerintahkan demikian:<br /><br />وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا<br /><br />(Dan gaulilah isteri-isterimu dengan cara yang ma’ruf. Maka seandainya kalian membenci mereka, karena boleh jadi ada sesuatu yang kalian tidak sukai dari mereka, sedangkan ALLAH menjadikan padanya banyak kebaikan.) (An-Nisaa’:19)<br /><br />Dan ingatlah pula wasiat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-:<br /><br />إستوصوا بالنساء خيرا فإنهن عوان عندكم<br /><br />(Pergaulilah isteri-isteri dengan baik. Karena sesungguhnya mereka itu mitra hidup kalian)<br /><br />Dan perlakuanmu terhadap isterimu ini menjadi cermin kadar keimananmu, sebagaimana Sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-;<br /><br />أكمل المؤمن إيمانا أحسنهم خلقا و خياركم خياركم لنساءهم (الترمذي عن ابي هريرة)<br /><br />(Mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap isterinya)<br /><br />Dan kamu sebagai laki-laki adalah pemimpin di dalam rumah tangga.<br /><br />الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ<br /><br />(Lelaki itu pemimpin bagi wanita disebabkan ALLAH telah melebihkan yang satu dari yang lainnya dan disebabkan para lelaki yang memberi nafkah dengan hartanya.) (An-Nisaa’: 34)<br /><br />Maka agar kamu dapat memimpin rumah tanggamu, penuhilah syarat-syaratnya, berupa kemampuan untuk menafkahi, mengajari, dan mengayomi. Raihlah kewibawaan agar isterimu patuh di bawah pimpinanmu. Jadilah suami yang bertanggungjawab, arif dan lemah lembut , sehingga isterimu merasa hangat dan tentram di sisimu. Berusahalah sekuat tenaga menjadi teladan yang baik baginya, sehingga ia bangga bersuamikan kamu. Ya, inilah sa’atnya untuk membuktikan bahwa kamu laki-laki sejati, laki-laki yang bukan hanya lahirnya.<br /><br />Kepada putriku…<br /><br />Saya ingatkan kepadamu akan sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- :<br /><br />عن أبي هريرة؛ قال:- قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:<br /><br />إذا أتاكم من ترضون خلقه ودينه فزوجوه. إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد عريض<br /><br />“Jika datang kepadamu (-wahai para orang tua anak gadis-) seorang pemuda yang kau sukai akhlaq dan agamanya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah dan menyebarnya kerusakan di muka bumi.” (HR: Ibnu Majah)<br /><br />Dan semoga -tentunya- calon suamimu datang dan diterima karena agama dan akhlaqnya, bukan karena yang lain. Maka hendaknya kau luruskan pula niatmu. Sambutlah dia sebagai suami sekaligus pemimpinmu. Jadikanlah perkawinanmu ini sebagai wasilah ibadahmu kepada ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa. Camkanlah sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-:<br /><br />لو كنت أمرا أحد ان يسجد لأحد لأمرت المرءة ان تسجد لزوجها (الترم1ي عن ابي هريرة)<br /><br />(Seandainya aku boleh memerintahkan manusia untuk sujud kepada sesamanya, sungguh sudah aku perintahkan sang isteri sujud kepada suaminya.)<br /><br />Karenanya sekali lagi saya nasihatkan , wahai putriku…<br /><br />Terima dan sambutlah suamimu ini dengan sepenuh cinta dan ketaatan.<br /><br />Layani ia dengan kehangatanmu…<br /><br />Manjakan ia dengan kelincahan dan kecerdasanmu…<br /><br />Bantulah ia dengan kesabaran dan doamu…<br /><br />Hiburlah ia dengan nasihat-nasihatmu…<br /><br />Bangkitkan ia dengan keceriaan dan kelembutanmu…<br /><br />Tutuplah kekurangannya dengan mulianya akhlaqmu…<br /><br />Manakala telah kamu lakukan itu semua, tak ada gelar yang lebih tepat disandangkan padamu selain Al Mar’atush-Shalihah, yaitu sebaik-baik perhiasan dunia. Sebagaimana Sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-:<br /><br />الدنيا متاع وخير متاع الدنيا المرأة الصالحة ( مسلم)<br /><br />(Dunia tak lain adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang sholihah.)<br /><br />Inilah satu kebahagiaan hakiki -bukan khayali- yang diidam-idamkan oleh setiap wanita beriman. Maka bersyukurlah, sekali lagi bersyukurlah kamu untuk semua itu, karena tidak semua wanita memperoleh kesempatan sedemikian berharga. Kesempatan menjadi seorang isteri, menjadi seorang ibu. Terlebih lagi, adanya kesempatan, diundang masuk ke dalam surga dari pintu mana saja yang kamu kehendaki. Yang demikian ini mungkin bagimu selagi kamu melaksanakan sholat wajib lima waktu -cukup yang lima waktu-, puasa -juga cukup yang wajib- di bulan Ramadhan, menjaga kemaluan -termasuk menutup aurat- , dan ta’at kepada suami. Cukup, cukup itu. Sebagaimana sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-:<br /><br />إذا صلت المرأة خمسها وصامت شهرها وحفظت فرجها وأطاعت زوجها<br /><br />قيل لها: ادخلي الجنة من أي أبواب الجنة شئت (أحمد عن عبدالرحمن بن عوف)<br /><br />(Jika seorang isteri telah sholat yang lima, puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan ta’at kepada suaminya. Dikatakan kapadanya: Silahkan masuk ke dalam Surga dari pintu mana saja yang engkau mau.)<br /><br />Anak-anakku…,<br /><br />Melalui rangkaian ayat-ayat suci Al Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi Yang Mulia, kami semua yang hadir di sini mengantarkan kalian berdua memasuki gerbang kehidupan yang baru, bersiap-siap meninggalkan ruang tunggu, dan mengakhiri masa penantian kalian yang lama. Kami semua hanya dapat mengantar kalian hingga di dermaga. Untuk selanjutnya, bahtera rumah-tangga kalian akan mengarungi samudra kehidupan, yang tentunya tak sepi dari ombak, bahkan mungkin badai.<br /><br />Karena itu, jangan tinggalkan jalan ketaqwaan. Karena hanya dengan ketaqwaan saja ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa akan mudahkan segala urusan kalian, mengeluarkan kalian dari kesulitan-kesulitan, bahkan mengaruniai kalian rizki.<br /><br />وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ<br /><br />وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا<br /><br />(Dan barang siapa yang bertaqwa kepada ALLAH, niscaya ALLAH akan berikan bagi nya jalan keluar dan mengaruniai rizki dari sisi yang tak terduga.)<br /><br />(Dan barang siapa yang bertaqwa kepada ALLAH, niscaya ALLAH akan mudahkan urusannya.)<br /><br />Bersyukurlah kalian berdua akan ni’mat ini semua. ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa telah mengarunia kalian separuh dari agama ini, ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa telah mengarunia kalian kesempatan untuk menjalankan syari’at-NYA yang mulia, ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa juga telah mengaruniai kalian kesempatan untuk mencintai dan dicintai dengan jalan yang suci dan terhormat.<br /><br />Ketahuilah, bahwa pernikahan ini menyebabkan kalian harus lebih berbagi. Orang tua kalian bertambah, saudara kalian bertambah, bahkan sahabat-sahabat kalian pun bertambah, yang kesemua itu tentu memperpanjang tali silaturahmi, memperlebar tempat berpijak, memperluas pandangan, dan memperjauh daya pendengaran. Bukan saja semakin banyak yang perlu kalian atur dan perhatikan, sebaliknya semakin banyak pula yang akan ikut mengatur dan memperhatikan kalian. Maka, barang siapa yang tidak kokoh sebagai pribadi dia akan semakin gamang menghadapi kehidupannya yang baru.<br /><br />Ketahuilah, bahwa anak-anak yang sholeh dan sholehah yang kalian idam-idamkan itu sulit lahir dan tumbuh kecuali di dalam rumah tangga yang sakinah penuh cinta dan kasih sayang. Dan tentunya tak akan tercipta rumah-tangga yang sakinah, kecuali dibangun oleh suami yang sholeh dan isteri yang sholehah.<br /><br />Akan tetapi, wahai anak-anakku, jangan takut menatap masa depan dan memikul tanggung jawab ini semua. Jangan bersedih dan berkecil hati jika kalian menganggap bekal yang kalian miliki sekarang ini masih sangat kurang. ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa berfirman:<br /><br />وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ<br /><br />(Artinya: “Dan janganlah berkecil hati juga jangan bersedih. Padahal kalian adalah orang-orang yang mulia seandainya sungguh-sungguh beriman.”) (Ali Imran: 139)<br /><br />Ya, selama masih ada iman di dalam dada segalanya akan menjadi mudah bagi kalian. Bukankah dengan pernikahan ini kalian bisa saling tolong-menolong di dalam kebajikan dan taqwa. Bukankah dengan pernikahan ini kalian bisa saling menutupi kelemahan dan kekurangan masing-masing. Bersungguh-sungguhlah untuk itu, untuk meraih segala kebaikan yang ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa sediakan melalui pernikahan ini. Jangan lupa untuk senantiasa memohon pertolongan kepada ALLAH. kemudian jangan merasa tak mampu atau pesimis. Jangan, jangan kalian awali kehidupan rumah tangga ini dengan perasaan lemah !<br /><br />احرص على ما ينفعك. واستعن بالله ولا تعجز<br /><br />(Bersungguh-sungguhlah kepada yang bermanfa’at bagimu, mohonlah pertolongan kepada ALLAH, dan jangan merasa lemah!) (HR: Ibnu Majah)<br /><br />Terakhir, ingatlah bahwa nikah merupakan Sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, sebagaimana sabdanya:<br /><br />النكاح من سنتي فمن رغب عن سنتي فليس مني<br /><br />(Nikah itu merupakan bagian dari Sunnahku. Maka barang siapa berpaling dari Sunnahku, ia bukanlah bagian dari umatku.)<br /><br />Maka janganlah justru melalui pernikahan ini atau setelah aqad ini kalian justru meninggalkan Sunnah untuk kemudian bergelimang di dalam berbagai bid’ah dan kema’shiyatan.<br /><br />Kepada besanku…<br /><br />Terimalah masing-masing mereka sebagai tambahan anak bagi kita. Ma’lumilah kekurangan-kekurangannya, karena mereka memang masih muda. Bimbinglah mereka, karena inilah saatnya mereka memasuki kehidupan yang sesungguhnya.<br /><br />Wajar, sebagaimana seorang anak bayi yang sedang belajar berdiri dan berjalan, tentu pernah mengalami jatuh untuk kemudian bangkit dan mencoba kembali. Maka bantulah mereka sampai benar-benar kokoh untuk berdiri dan berjalan sendiri.<br /><br />Bantu dan bimbing mereka, tetapi jangan mengatur. Biarkan.., Karena sepenuhnya diri mereka dan keturunan yang kelak lahir dari perkawinan mereka adalah tanggung-jawab mereka sendiri di hadapan ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa. Hargailah harapan dan cita-cita yang mereka bangun di atas ilmu yang telah sampai pada mereka.<br /><br />Keterlibatan kita yang terlalu jauh dan tidak pada tempatnya di dalam persoalan rumah tangga mereka bukannya akan membantu. Bahkan sebaliknya, membuat mereka tak akan pernah kokoh. Sementara mereka dituntut untuk menjadi sebenar-benar bapak dan sebenar-benar ibu di hadapan…dan bagi anak-anak mereka sendiri.<br /><br />Ketahuilah, bahwa bukan mereka saja yang sedang memasuki kehidupannya yang baru, sebagai suami isteri. Kita pun, para orang tua, sedang memasuki kehidupan kita yang baru, yakni kehidupan calon seorang kakek atau nenek – insya الله. Maka hendaknya umur dan pengalaman ini membuat kita,…para orang tua, menjadi lebih arif dan sabar, bukannya semakin pandir dan dikuasai perasaan. Pengalaman hidup kita memang bisa jadi pelajaran, tetapi belum tentu harus jadi acuan bagi mereka.<br /><br />Jika kelak -dari pernikahan ini- lahir cucu-cucu bagi kita. Sayangilah mereka tanpa harus melecehkan dan menjatuhkan wibawa orang tuanya. Berapa banyak cerita di mana kakek atau nenek merebut superioritas ayah dan ibu. Sehingga anak-anak lebih ta’at kepada kakek atau neneknya ketimbang kepada kedua orang tuanya. Sungguh, akankah kelak cucu-cucu kita menjadi anak-anak yang ta’at kepada orang tuanya atau tidak, sedikit banyak dipengaruhi oleh cara kita memanjakan mereka.<br /><br />Kepada semua, baik yang pernah mengalami peristiwa semacam ini, maupun yang sedang menanti-nanti gilirannya, marilah kita do’akan mereka dengan do’a yang telah diajarkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-:<br /><br />بارك الله لك وبارك عليك وجمع بينكما في خير<br /><br />فأعتبروا يا أولي الأبصار<br /><br />سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لاإله إلاأنت أستغفرك وأتوب إليك</span>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-73242634208847148832010-05-19T00:38:00.000-07:002010-05-19T00:39:28.089-07:00Hukum Seputar Darah Wanita: HAIDPenulis: Ummu Hamzah<br />Muroja’ah: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar<br /><br />Pada tulisan yang telah lalu telah dibahas mengenai hal-hal yang diharomkan bagi wanita haid. Pada tulisan bagian kedua ini, akan dipaparkan tiga permasalahan penting terkait wanita haid, yaitu mengenai boleh tidaknya wanita haid masuk ke dalam masjid serta menyentuh dan membaca Al Qur’an.<br /><br />Bolehkah seorang wanita yang sedang haid masuk dan duduk di dalam masjid ?<br /><br />Sebagian ulama melarang seorang wanita masuk dan duduk di dalam masjid dengan dalil:<br /><br />لاَأُحِلُّ الْمَسْجِدُ ِلحَائِضٍُ وَلا َجُنُبٍ<br /><br />“Aku tidak menghalalkan masjid untuk wanita yang haidh dan orang yang junub.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud no.232, al Baihaqi II/442-443, dan lain-lain)<br /><br />Akan tetapi hadits di atas merupakan hadits dho’if (lemah) meski memiliki beberapa syawahid (penguat) namun sanad-sanadnya lemah sehingga tidak bisa menguatkannya dan tidak dapat dijadikan hujjah. Syaikh Albani -rahimahullaah- telah menjelaskan hal tersebut dalam ‘Dho’if Sunan Abi Daud’ no. 32 serta membantah ulama yang menshahihkan hadits tersebut seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu al Qohthon, dan Asy Syaukani. Beliau juga menyebutkan ke-dho’if-an hadits ini dalam Irwa’ul Gholil’ I/201-212 no. 193.<br /><br />Berikut ini sebagian dalil yang digunakan oleh ulama yang membolehkan seorang wanita haid duduk di masjid (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/191-192):<br /><br /> 1. Adanya seorang wanita hitam yang tinggal di dalam masjid pada zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Namun tidak ada dalil yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkannya untuk meninggalkan masjid ketika ia mengalami haidh.<br /> 2. Sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiyallahu’anha, “Lakukanlah apa yang bisa dilakukan oleh orang yang berhaji selain thowaf di Baitullah.” Larangan thowaf ini dikarenakan thowaf di Baitullah termasuk sholat, maka wanita itu hanya dilarang untuk thowaf dan tidak dilarang masuk ke dalam masjid. Apabila orang yang berhaji diperbolehkan masuk masjid, maka hal tersebut juga diperbolehkan bagi seorang wanita yang haidh.<br /><br />Kesimpulan:<br /><br />Wanita yang sedang haid diperbolehkan masuk dan duduk di dalam masjid karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih yang melarang hal tersebut. Namun, hendaknya wanita tersebut menjaga diri dengan baik sehingga darahnya tidak mengotori masjid.<span class="fullpost">Bolehkah seorang wanita yang sedang haid membaca Al Qur’an (dengan hafalannya) ?<br /><br />Sebagian ulama berpendapat bahwa wanita yang haid dilarang untuk membaca Al Qur’an (dengan hafalannya) dengan dalil:<br /><br />لاَ تَقرَأِ الْحَا ءضُ َوَلاََ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْانِ<br /><br />“Orang junub dan wanita haid tidak boleh membaca sedikitpun dari Al Qur’an.” (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar)<br /><br />Al Baihaqi berkata, “Pada hadits ini perlu diperiksa lagi. Muhammad bin Ismail al Bukhari menurut keterangan yang sampai kepadaku berkata, ‘Sesungguhnya yang meriwayatkan hadits ini adalah Isma’il bin Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dan aku tidak tahu hadits lain yang diriwayatkan, sedangkan Isma’il adalah munkar haditsnya (apabila) gurunya berasal dari Hijaz dan ‘Iraq’.”<br /><br />Al ‘Uqaili berkata, “Abdullah bin Ahmad berkata, ‘Ayahku (Imam Ahmad) berkata, ‘Ini hadits bathil. Aku mengingkari hadits ini karena adanya Ismail bin ‘Ayyasi’ yaitu kesalahannya disebabkan oleh Isma’il bin ‘Ayyasi’.”<br /><br />Syaikh Al Albani berkata, “Hadits ini diriwayatkan dari penduduk Hijaz maka hadits ini dhoif.” (Diringkas dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid dari Irwa’ul Gholil I/206-210)<br /><br />Kesimpulan dari komentar para imam ahli hadits mengenai hadits di atas adalah sanad hadits tersebut lemah sehingga tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk melarang wanita haid membaca Al Qur’an.<br /><br />Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata, “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku sedang haidh. Aku tidak melakukan thowaf di Baitullah dan (sa’i) antara Shofa dan Marwah. Saya laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Lakukanlah apa yang biasa dilakukan oleh haji selain thowaf di Baitullah hingga engkau suci’.” (Hadits riwayat Imam Bukhori no. 1650)<br /><br />Seorang yang melakukan haji diperbolehkan untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an. Maka, kedua hal tersebut juga diperbolehkan bagi seorang wanita yang haid karena yang terlarang dilakukan oleh wanita tersebut -berdasar hadits di atas- hanyalah thowaf di Baitullah. (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/183)<br /><br />Kesimpulan:<br /><br />Wanita yang sedang haid diperbolehkan untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang melarang hal tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam.<br /><br />Bolehkah seorang wanita yang sedang haid menyentuh mushhaf Al Qur’an ?<br /><br />Telah terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama. Ulama yang melarang hal tersebut berdalil dengan ayat:<br /><br />لاَّ يَمَسَّةُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ<br /><br />Artinya:<br /><br />“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al Waqi’ah: 79)<br /><br />يَمُسُّ maksudnya adalah menyentuh mushhaf al Qur’an. المُطَهَّرُونَ maksudnya adalah orang-orang yang bersuci. Oleh karena itu tidak boleh menyentuh mushaf al Qur’an kecuali bagi orang-orang yang telah bersuci dari hadats besar atau kecil.<br /><br />Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menulis surat kepada penduduk Yaman dan di dalamnya terdapat perkataan:<br /><br />لاَّ يَمَسُّ الْقُرْاَنَ إِلاَّ طَا هِرٌ<br /><br />“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni)<br /><br />Sanad hadits ini dho’if namun memiliki sanad-sanad lain yang menguatkannya sehingga menjadi shahih li ghairihi (Irwa’ul Ghalil I/158-161, no. 122)<br /><br />Ulama yang membolehkan wanita haid menyentuh mushhaf Al Qur’an memberikan penjelasan sebagai berikut:<br /><br />إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيْمٌ فِي كِتَابٍ مَّكْنُو نٍ لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ تَتِريلٌ مِّن رَّبِّ الْعَا لَمِينَ<br /><br />Artinya:<br />“Sesungguhnya Al qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia pada kitab yang terpelihara. Tidak menyentuhya kecuali (hamba-hamba) yang disucikan. Diturunkan oleh Robbul ‘Alamin.” (QS. Al Waqi’ah: 77-80)<br /><br />Kata ganti ﻪ (-nya pada “Tidak menyentuhnya”) kembali kepada ﻛﺘﺎﺏ ﻣﻜﻨﻮﻥ (Kitab yang terpelihara). Ibnu ‘Abbas, Jabir bin Zaid, dan Abu Nuhaik berkata, “(yaitu) kitab yang ada di langit”.<br /><br />Adh Dhahhak berkata, “Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang menurunkan Al Qur’an kepada Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam, maka Allah memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu melakukannya.” (Tafsir Ath Thobari XI/659).<br /><br />Mengenai ﺍﻟﻤُﻄَﻬَّﺮُﻭﻥَ menurut pendapat beberapa ulama, di antaranya:<br /><br /> 1. Ibnu ‘Abbas berkata, “Adalah para malaikat. Demikian pula pendapat Anas, Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Adh Dhahhak, Abu Sya’tsa’ , Jabir bin Zaid, Abu Nuhaik, As Suddi, ‘Abdurrohman bin Zaid bin Aslam, dan selain mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir (Terj.)]<br /> 2. Ibnu Zaid berkata, “yaitu para malaikat dan para Nabi. Para utusan (malaikat) yang menurunkan dari sisi Allah disucikan; para nabi disucikan; dan para rasul yang membawanya juga disucikan.” (Tafsir Ath Thobari XI/659)<br /><br />Imam Asy Syaukani berkata dalam Nailul Author, Kitab Thoharoh, Bab Wajibnya Berwudhu Ketika Hendak Melaksanakan Sholat, Thowaf, dan Menyentuh Mushhaf: “Hamba-hamba yang disucikan adalah hamba yang tidak najis, sedangkan seorang mu’min selamanya bukan orang yang najis berdasarkan hadits:<br /><br />الْمُؤْمِنُ لاَ يَنْجُسُ<br /><br />“Orang mu’min itu tidaklah najis.” (Muttafaqun ‘alaih)<br /><br />Maka tidak sah membawakan arti (hamba) yang disucikan bagi orang yang tidak junub, haid, orang yang berhadats, atau membawa barang najis. Akan tetapi, wajib untuk membawanya kepada arti: Orang yang tidak musyrik sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS. At Taubah: 28)<br /><br />Di samping itu lafadz yang digunakan dalam ayat tersebut adalah dalam bentuk isim maf’ul-nya (orang-orang yang disucikan), bukan dalam bentuk isim fa’il (orang-orang yang bersuci). Tentu hal tersebut mengandung makna yang sangat berbeda.<br /><br />Mengenai hadits “Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci”, Syaikh Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata, “Yang paling dekat -Wallahu a’lam- maksud “orang yang suci” dalam hadits ini adalah orang mu’min baik dalam keadaan berhadats besar, kecil, wanita haid, atau yang di atas badannya terdapat benda najis karena sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam: “Orang mu’min tidakah najis” dan hadits di atas disepakati keshahihannya. Yang dimaksudkan dalam hadits ini (yaitu hadits Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci) bahwasanya beliau melarang memberikan kuasa kepada orang musyrik untuk menyentuhnya, sebagaimana dalam hadits:<br /><br />نَهَى أَنْ يُسَا فَرَ بِا لْقُرْانِ إِلَى أَرْضِ اْلعَدُو<br /><br />“Beliau melarang perjalanan dengan membawa Al Qur’an menuju tanah musuh.” (Hadits riwayat Bukhori). (Dinukil dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid dari Tamamul Minnah, hal. 107).<br /><br />Meski demikian, bagi seseorang yang berhadats kecil sedang ia ingin memegang mushaf untuk membacanya maka lebih baik dia berwudhu terlebih dahulu. Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqash berkata, “Aku sedang memegang mushhaf di hadapan Sa’ad bin Abi Waqash kemudian aku menggaruk-garuk. Maka Sa’ad berkata, ‘Apakah engkau telah menyentuh kemaluanmu?’ Aku jawab, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Berdiri dan berwudhulah!’ Maka aku pun berdiri dan berwudhu kemudian aku kembali.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa’ dengan sanad yang shahih)<br /><br />Ishaq bin Marwazi berkata, “Aku berkata (kepada Imam Ahmad bin Hanbal), ‘Apakah seseorang boleh membaca tanpa berwudhu terlebih dahulu?’ Beliau menjawab, ‘Ya, akan tetapi hendaknya dia tidak membaca pada mushhaf sebelum berwudhu”.<br /><br />Ishaq bin Rahawaih berkata, “Benar yang beliau katakan, karena terdapat hadits yang dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau bersabda, ‘Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci’ dan demikian pula yang diperbuat oleh para shahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.” (Dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid, dari Irwaul Gholil I/161 dari Masa’il Imam Ahmad hal. 5)<br /><br />Abu Muhammad bin Hazm dalam Al Muhalla I/77 berkata, “Menyentuh mushhaf dan berdzikir kepada Allah merupakan ibadah yang diperbolehkan untuk dilakukan dan pelakunya diberi pahala. Maka barangsiapa yang melarang dari hal tersebut, maka ia harus mendatangkan dalil.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/188).<br /><br />Kesimpulan:<br /><br />Wanita yang sedang haid diperbolehkan menyentuh mushhaf Al Qur’an karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih yang melarang hal tersebut. Wallaahu Ta’ala A’lam.<br /><br />Rujukan:<br /><br /> 1. Larangan-larangan Seputar Wanita Haid, artikel Majalah As Sunnah 01/ IV/ 1420-1999, Abu Sholihah Muslim al Atsari.<br /> 2. Jami’ Ahkamin Nisa’, Syaikh Musthofa al ‘Adawi.<br /> 3. Tafsir Al Qur’an Al ‘Adziim (Terj. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8), Ibnu Katsir.<br /><br />***<br /><br />Artikel <a href="http://muslimah.or.id/fikih/hukum-seputar-darah-wanita-haid.html">www.muslimah.or.id</a></span>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-36956429045495941412010-05-19T00:36:00.000-07:002010-05-19T00:38:13.705-07:00Darah Kebiasaan WanitaPenulis: Ummul Hasan<br />Muraja’ah: Ust. Aris Munandar<br /><br />Haid bagi wanita merupakan salah satu bentuk nikmat dari Allah. Keberadaan darah haid pada wanita menunjukkan bahwa wanita tersebut memiliki kemampuan untuk memiliki keturunan. Islam memberikan penjelasan tentang beberapa hal berkaitan dengan darah haid wanita.<br /><br />Makna Haid<br /><br />Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir (سَيْلاً،جَرْيً).<br /><br />Adapun menurut istilah syar’i, haid adalah darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab dan terjadi pada waktu tertentu. Jadi, darah haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, gangguan atau proses melahirkan. Darah haid antara wanita yang satu dengan yang lain memiliki perbedaan, misalnya jumlah darah yang keluar, masa dan lama keluar darah haid setiap bulan. Perbedaan tersebut terjadi sesuai kondisi setiap wanita, lingkungan, maupun iklimnya.<br /><br />Masa Haid<br /><br />Menurut pendapat yang paling kuat diantara para ulama, masa haid wanita tidak memiliki batas minimal maupun maksimal. Hal ini berdasarkan dua alasan:<br /><br />1. Dalil pertama adalah dari Al-Qur’an<br /><br />Allah berfirman, yang artinya:<br /><br />“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: ‘Haid itu suatu kotoran.’ Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita pada tempat keluarnya darah (farji), dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.” (Qs. Al-Baqarah:222)<br /><br />Dalam ayat ini yang dijadikan Allah sebagai batas larangan adalah kesucian, bukan sehari-semalam ataupun tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat (alasan) nya adalah ada atau tidaknya darah haid. Jadi, jika ada haid maka berlakulah hukum itu dan jika telah suci (tidak haid) maka tidak berlaku lagi hukum-hukum berkaitan dengan haid tersebut.<br /><br />2. Dalil kedua adalah dari As-Sunnah<br /><br />Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anhu yang mendapatkan haid ketika dalam keadaan ihram untuk umrah, “Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan jama’ah haji, akan tetapi jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci.”Kata Aisyah, “Setelah masuk hari raya kurban barulah aku suci.”<br /><br />Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anhu, “Tunggulah. Jika kamu suci, maka keluarlah ke Tan’im.”<span class="fullpost">Dalam hadits tersebut yang dijadikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu. Ini menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada atau tidaknya.<br /><br />Akhir masa haid wanita dapat ditentukan dengan dua cara, yaitu ketika darah haid telah berhenti, tandanya jika kapas dimasukkan ke dalam tempat keluarnya darah setelah dikeluarkan tetap dalam kondisi kering, tidak ada darah yang melekat di kapas (-ed.). Yang kedua yaitu ketika telah terlihat atau keluar lendir putih agak keruh (قُصَّةُ الْبَيْضَاءُ). Pada saat tersebut seorang wanita muslimah diwajibkan untuk segera mandi dan mengerjakan sholat jika telah masuk waktu sholat. Hal ini sekaligus merupakan nasehat agar para wanita tidak bermudah-mudah untuk meninggalkan sholat padahal dia telah suci, dengan alasan bahwa mereka belum mandi suci.<br /><br />Wahai saudariku, ketika masa haid telah berakhir dan tidak ada udzur syar’i bagimu untuk menunda mandi suci, maka segeralah mandi suci! Tidakkah kita takut kepada Allah ketika sengaja menunda waktu mandi suci agar tidak melaksanakan shalat?! Semoga Allah melindungi kita dari tipu daya setan.<br /><br />Darah Haid yang Terputus dan Istihadhah<br /><br />Selama masa haid, terkadang darah keluar secara terputus-putus, yakni sehari keluar dan sehari tidak keluar. Dalam hal ini terdapat dua kondisi:<br /><br /> * Jika kondisi ini selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu, maka darah itu adalah darah istihadhah (darah karena penyakit), dan berlaku baginya hukum istihadhah.<br /> * Jika kondisi ini selalu terjadi pada seorang wanita tetapi kadangkala saja datang dan dia mempunyai saat suci yang tepat.<br /><br />Maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Adapun penjelasan yang benar dalam masalah ini adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni,<br />“Jika berhentinya darah kurang dari sehari maka seyogyanya tidak diangap sebagai keadaan suci. Berdasarkan riwayat yang kami sebutkan berkaitan dengan nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang dari sehari tidak perlu diperhatikan dan inilah pendapat yang shahih, insyaa Allah. Alasannya adalah bahwa dalam keadaan keluarnya darah yang terputus-putus (sekali keluar dan sekali tidak) bila diwajibkan bagi wanita pada setiap saat terhenti keluarnya darah untuk mandi, tentu hal ini akan menyulitkan, padahal Allah berfirman, yang artinya: “Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Qs. Al-Hajj:78)<br /><br />Atas dasar ini, berhentinya darah yang kurang dari sehari bukan merupakan keadaan suci kecuali jika si wanita mendapatkan bukti yang menunjukkan bahwa dia suci. Misalnya, berhentinya darah tersebut terjadi pada akhir masa kebiasaan atau melihat lendir putih.”<br /><br />“Sehari” yang dimaksud pada penjelasan diatas adalah dua belas jam. Adapun contoh kasus dalam masalah ini adalah:<br /><br />Seorang wanita biasanya haid selama enam hingga tujuh hari setiap bulan. Pada hari ke-5 biasanya darah hanya akan keluar sedikit seperti noktah seukuran uang logam (berbekas pada pakaian dalamnya). Pada malam hari (saat aktivitas sedikit) darah tidak keluar. Pada hari ke-6 darah akan tetap keluar namun sangat sedikit. Dalam kasus ini, wanita tersebut belum dianggap suci pada malam di hari ke-5 karena menurut kebiasaan haidnya, pada hari-hari akhir haid darah hanya akan keluar pada pagi hingga sore hari (yaitu di saat dia banyak melakukan aktivitas). Kemudian pada pagi di hari ke-7 dia melakukan banyak aktivitas tetapi darah haid tidak lagi keluar sama sekali dan telah keluar pula lendir putih yang biasanya memang muncul jika masa haidnya telah selesai. Pada hari ke-7 itulah, wanita tersebut telah suci dari haid.<br /><br />Hukum-Hukum Haid<br /><br />Ketika seorang wanita sedang dalam keadaan haid, ada hal-hal yang terlarang untuk dilakukan:<br /><br /> 1. Shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah. Wanita haid tidak disyariatkan untuk mengganti shalat fardhu yang tidak dikerjakannya selama masa haid.<br /> 2. Puasa, baik puasa fardhu maupun puasa sunnah. Akan tetapi, puasa fardhu (misalnya puasa Ramadhan) wajib diganti (qadha’) di hari lain di luar masa haidnya.<br /> 3. Thawaf.<br /> 4. Jima’. Suami tidak boleh melakukan jima’ (senggama) dengan istrinya yang sedang haid. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya,“Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita pada tempat keluarnya darah (farji), dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.” (Qs. Al-Baqarah:222)<br /><br />Sedangkan hal-hal yang tetap boleh dilakukan oleh wanita yang sedang haid adalah:<br /><br /> 1. Berdiam diri di masjid.<br /> Dalam masalah ini terdapat perbedaan yang luas dikalangan ulama (-ed.). tetapi, pendapat yang lebih kuat menurut kami, wanita yang sedang haid tetap boleh berdiam diri di masjid karena suatu kebutuhan (misalnya, mengikuti kajian yang dilangsungkan di masjid). Hal ini didasarkan pada kisah seorang wanita di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertugas mengurus masjid. Dia membangun tenda di dalam masjid dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari hal tersebut.<br /> 2. Membaca Al-Qur’an dan menyentuh mushaf<br /> Sebagian wanita menghentikan sama sekali rutinitasnya membaca Al-Qur’an, padahal tidak ada larangan sama sekali membaca Al-Qur’an bagi wanita haidh. Masalah yang diperselisihkan adalah boleh tidaknya menyentuh mushaf Al-Qur’an (-ed.). Sebagian ulama’ berpendapat bahwa wanita haid tidak boleh menyentuh mushaf Al-Qur’an. Mereka berdalil dengan ayat Al-Qur’an yang artinya,“Dan dia (Al-Qur’an) tidaklah disentuh kecuali oleh al-muthohharuun (orang-orang yang suci).” (Qs. Al-Waaqi’ah: 79)<br /><br /> Hal tersebut tidaklah benar, sebagaimana penjelasan Syaikh Al-Albani bahwa yang dimaksud al-muthohharuun pada ayat tersebut adalah para malaikat. Pendapat lain yang menyatakan bolehnya wanita haid menyentuh mushaf Al-Qur’an, yaitu pendapat Ibnu Hazm.<br /><br />Meski demikian, sebaiknya jika mau menyentuh mushaf, memilih mushaf yang memuat terjemahnya dalam rangka keluar dari khilaf ulama, karena menurut ulama yang melarang menyentuh mushaf ketika haid, mushaf yang dimaksudkan adalah mushaf asli. Adapun mushaf yang saat ini banyak digunakan oleh kaum muslimin, seperti mushaf yang memuat ayat-ayat Al-Qur’an beserta terjemahannya atau yang memuat ayat-ayat Al-Qur’an beserta keterangan tambahan mengenai kaidah tajwid, bukanlah mushaf yang terlarang untuk disentuh oleh wanita haid.<br /><br />Tetap Bersemangat Meskipun Sedang Haid<br /><br />Sebagian wanita muslimah akan mengalami penurunan semangat beribadah atau bahkan penurunan iman di saat sedang haid. Padahal hal tersebut merupakan kesempatan emas bagi syaithan untuk menggoda mereka. Dijumpai beberapa kejadian wanita yang terkena gangguan jin terjadi di saat wanita tersebut sedang haid. Berikut ini adalah amalan-amalan bernilai ibadah yang bisa dilakukan di masa haid:<br /><br /> 1. Memperbanyak dzikir kepada Allah.<br /> 2. Menghadiri majelis-majelis ta’lim.<br /> 3. Membaca buku-buku agama.<br /> 4. Bergaul dengan orang-orang shalihah yang dapat menjaga semangatnya.<br /> 5. Mengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat bagi akhiratnya.<br /> 6. Membaca Al-Qur’an.<br /><br />Wallahu a’lam bishshawab.<br /><br />[Disarikan dari "Darah Kebisaan Wanita” (terjemah kitab Risalatu Fiid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin-Nisaa') oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin, penerbit: Darul Haq, Juni 2005, dengan beberapa tambahan]<br /><br />***<br />Artikel <a href="http://muslimah.or.id/fikih/darah-kebiasaaan-wanita.html">www.muslimah.or.id</a></span>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-45252129654240554762010-05-17T07:44:00.000-07:002010-05-17T07:46:36.640-07:00Berbahagialah...<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_e6IET7SR1s4/S_FWwoTc1II/AAAAAAAAARw/ncWGasK4ddo/s1600/1226379433FauGirl.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 219px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_e6IET7SR1s4/S_FWwoTc1II/AAAAAAAAARw/ncWGasK4ddo/s320/1226379433FauGirl.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5472250415684572290" border="0" /></a><br />Berbahagialah wahai salafiyin…..<br /><br /><br /><br />Berbahagialah Wahai Salafiyin……<br /><br /><br /><br /><br />Wahai Salafiyin Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang mendahulukan ucapan Allah dan Rasul daripada ucapan selain keduanya, Maka Berbahagialah kalian..…<br /><br /><br /><br />Ya Berbahagialah kalian… , Kenapa Tidak? Karena kalian adalah orang-orang yang mengikuti jalan Rasulullah dan jalan para sahabatnya, yang menyandarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salafus shalih yaitu pemahaman generasi pertama umat ini dari kalangan shahabat, tabi’in dan generasi setelah mereka.<br /><br />Sebagaimana firman Allah subahanahu wa ta’ala :<br /><br />والسابقون الأولون من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسان رضي الله عنهم ورضوا عنه وأعد لهم جنات تجري تحتها الأنهار خالدين فيها أبدا ذلك الفوز العظيم<br /><br />“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah:100)<br /><br />Rasulullah bersabda:<br /><br />خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ<br /><br />“ Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian orang-orang setelah mereka kemudian orang-orang setelah mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad)<br /><br />Maka Berbahagialah kalian …jangan bersedih..<br /><br />Wahai Salafiyin Sesungguhnya Kalian diatas kebenaran, Maka Berbahagialah kalian….<br /><br />Ya Berbahagialah kalian…Kenapa Tidak? Karena Allah Subahanahu wa ta’ala berfirman:<br /><br />(وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ) [ النساء :115]<br /><br />“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk- buruk tempat kembali.” (An-Nisa`:115).<span class="fullpost"><br /><br />Dan kalian bukanlah orang-orang yang menentang/meyelisihi Ajaran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Karena kalian adalah orang-orang yang mengikuti Jalannya Kaum Mukminin dari Kalangan para Sahabat dan Tabi’in.<br /><br />Kalian adalah Firqotun Najiyah<br /><br />Sebagaimana disabdakan rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:<br /><br />افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَ فِيْ رِوَايَةٍ : مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيِوْمَ وَأَصْحَابِيْ.<br /><br />“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al- Jama’ah dalam satu riwayat : “Apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya sekarang ini”. Hadits shohih, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain rahimahumullah.<br /><br />وعن عن ثوبان. قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق. لا يضرهم من خذلهم. حتى يأتي أمر الله وهم كذلك).[ مسلم : 1920<br /><br />“Terus menerus ada sekelompok dari ummatku yang mereka tetap nampak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang mencerca mereka sampai datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu”. Dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Tsauban dan semakna dengannya diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim dari hadits Mughiroh bin Syu’bah dan Mu’awiyah dan diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah. Dan hadits ini merupakan hadits mutawatir sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho` Ash-Shirath Al-Mustaqim 1/69, Imam As-Suyuthy dalam Al-Azhar Al-Mutanatsirah hal.216 dan dalam Tadrib Ar-Rawi, Al Kattany dalam Nazhom Al-Mutanatsirah hal.93 dan Az-Zabidy dalam Laqthul `Ala`i hal.68-71. Lihat : Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf.<br /><br />Maka Berbahagialah Kalian…Jangan Bersedih.<br /><br />Wahai Salafiyin Sesungguhnya Kalian adalah orang-orang yang asing, Maka Berbahagialah Kalian….<br /><br />Ya..kalian Adalah orang yang asing pada jaman ini. Kenapa tidak? Karena kalian selalu meghidupkan sunah-sunah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan meninggalkan bid’ah dalam agama.Dijaman yang penuh fitnah ini banyak sekali yang meninggalkan sunnah dan banyaknya yang melakukan kebid’ahan.<br /><br />Jangan bersedih wahai salafiyin…. apabila kebanyakan orang menganggap kalian asing karena kalian termasuk orang-orang yang beruntung.<br /><br />Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah riwayat Muslim no.145:<br /><br />عن أبي هريرة؛ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:(بدأ الإسلام غريبا وسيعود كما بدأ غريبا. فطوبى للغرباء)[ أخرجه مسلم برقم : 145 وغيره<br /><br />“Islam mulai muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awal munculnya maka beruntunglah orang-orang asing itu”.<br /><br />Maka Berbahagialah kalian…Jangan Bersedih.<br /><br /><br /><br />Wahai Salafiyin sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang sangat jauh dari sifat fanatisme golongan. Dan kalian tidak fanatisme kecuali kepada Kalamullah dan Sunnah Rasulullah. Kalian selalu mengajak persatuan di atas Al Qur’an dan Assunnah nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan tidak menginginkan perpecahan. Maka Berbahagialah kalian…<br /><br /><br /><br />Ya..Berbahagialah kalian…kenapa tidak? karena kalian selalu mengikuti apa-apa yang datangnya dari Allah dan Rasul Nya. Tidak fanatik terhadap golongan tertentu dan selalu mengambalikan setiap permasalahan kepada Al Qur’an dan Assunnah.<br /><br />Sebagaimana firman Allah subahanahu wa ta’ala berfirman:<br /><br /><br /><br />وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ<br /><br />Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,…” ( Ali ‘Imran : 103)<br /><br />Dan Allah subahanahu wa ta’ala berfirman:<br /><br />يَا أَيًّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدًّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً<br /><br />“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasulullah dan ulil amri Diantara kalian. Apabila kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya (Al-Quran dan As-sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya (balasannya)”. (Q.S. An Nisaa’ : 59)<br /><br />Demikian juga perkataan imam Mahzab tentang jeleknya fanatisme golongan/taqlid buta.<br /><br />Abu Hanifah Berkata:<br /><br />1. ‘Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)<br /><br />2. ‘Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya”. (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145)<br /><br /><br /><br />Al Imam Malik Berkata:<br /><br />1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, tinggalkanlah”. (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)<br /><br />2.’Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataanya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam “. (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)<br /><br />Imam Asy Syafi’i berkata:<br /><br />1.Tidak ada seorangpun, kecuali dia harus bermadzab dengan Sunnah Rasulullah dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertentangan dengan ucapanku. Maka peganglah sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Inilah ucapanku.” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)<br /><br />2.”Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)<br /><br />3.”Apabila Hadist itu Shahih, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)<br /><br />Imam Ahmad bin Hanbal Berkata:<br /><br />“Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al¬ Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)<br /><br />Maka Berbahagialah kalian…jangan bersedih.</span>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-375794502174324212010-05-17T04:50:00.000-07:002010-05-17T04:52:39.862-07:00Memakai Jam Tangan di Tangan Kanan atau Kiri? (Fatwa Syaikh Al-Utsaimin)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_e6IET7SR1s4/S_Et_WFuHMI/AAAAAAAAARo/EIcE_50idZ0/s1600/1_732730053l.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 266px; height: 320px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_e6IET7SR1s4/S_Et_WFuHMI/AAAAAAAAARo/EIcE_50idZ0/s320/1_732730053l.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5472205588516445378" border="0" /></a><br />Pertanyaan:<br />“Ada hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menganjurkan untuk mendahulukan kanan dalam hal kebaikan, seperti masuk masjid, memakai sandal. Tetapi bagaimanakah jika yang kita pakai itu sesuatu yang tidak berpasangan seperti jam tangan?Manakah yang lebih utama, antara kanan dan kiri untuk jam tangan?”<br /><br />Jawaban:<br />Ketika jam tangan muncul pertama kali dikenal, orang-orang memakainya di tangan sebelah kiri dengan maksud agar tidak ada sesuatu pun di tangan kanan yang akan mengganggu geraknya. Pada umumnya, gerakan tangan kanan lebih banyak daripada tangan kiri, sehingga orang-orang pun memakaianya di tangan kirinya supaya lebih leluasa untuk bergerak. Selain itu, karena tangan kanan sering digunakan untuk beraktivitas sehingga dikhawatirkan jam tangan bisa rusak jika dikenakan di tangan kanan, misalnya terbentur sesuatu. Sehingga orang-orang lebih suka mengenakan jam tangannya di tangan sebelah kiri.<span class="fullpost">Ada sebagian orang yang menyangka bahwa yang terbaik dan lebih utama mengenakan jam tangan di tangan sebelah kanan, mengingat terdapat dalil yang menunjukkan anjuran mengutamakan tangan kanan. Akan tetapi sangkaan ini tidaklah benar karena terdapat hadits yang menunjukkan bahwa Nabi memasang cincinnya di jari tangan kanan. Dan terkadang beliau memasang cincinnya di jari tangan kiri. Boleh jadi mengenakan cincin dengan jari tangan kiri itu lebih utama agar tangan kanan bisa dengan mudah melepas cincin jika diperlukan.<br /><br />Kembali pada masalah jam tangan, kita bisa menyamakannya dengan cincin. Sehingga tidak ada kelebihan tangan kanan ataupun tangan kiri dalam mengenakan jam tangan. Ada kelonggaran dalam masalah ini. Kita boleh mengenakan jam tangan di tangan kanan, dan boleh juga di tangan kiri. (lihat Fatwa Syaikh Ibn Utsaimin dalam Syarah Riyadhus Shalihin Cetakan Dar wathan Juz 7 hal 184)</span>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-47129191359546615432010-05-17T04:47:00.000-07:002010-05-17T04:50:31.611-07:00Memakai Jam Tangan di Kanan (Fatwa Syaikh Al-Albani)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_e6IET7SR1s4/S_Etf4eiX3I/AAAAAAAAARg/p4Xt0_dT-jw/s1600/LCF-10L-4A.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 320px; height: 320px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_e6IET7SR1s4/S_Etf4eiX3I/AAAAAAAAARg/p4Xt0_dT-jw/s320/LCF-10L-4A.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5472205047991525234" border="0" /></a><br />Oleh<br />Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani<br /><br />Pertanyaan<br />Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Kami melihat sebagian orang memakai jam tangan di tangan kanan, dan mereka berkata bahwa yang demikian itu sunnah, ada dalilnya ?<br /><br />Jawaban<br />Kami berpegang teguh dalam masalah ini dengan kaidah umum yang terdapat dalam hadits Aisyah di dalam Ash-Shahih, ia berkata.<br /><br />“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai menggunakan (mendahulukan) kanan damam segala sesuatu, yaitu ketika bersisir, bersuci, dan dalam setiap urusan”<span class="fullpost">Dan kami tambahkan dalam hal ini, hadits lain yang diriwayatkan dalam Ash-Shahih, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.<br /><br />“Artinya : Sesungguhnya Yahudi tidak mencelup (menyemir) rambut-rambut mereka, karena itu berbedalah dengan mereka, dengan cara menyermir rambut kalian”.<br /><br />Juga hadits yang lain yang di dalamnya terdapat perintah untuk berbeda dengan musyrikin.<br /><br />Maka dari hadits-hadits tersebut dapat kami simpulkan bahwa disunnahkan bagi seorang muslim untuk bersemangat dalam membedakan diri dengan orang-orang kafir.<br /><br />Dan sepatutnyalah untuk kita ingat bahwa membedakan diri dari orang kafir, mengandung arti bahwa kita dilarang mengikuti adat kebiasaan mereka. Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk menyerupai orang kafir, dan sudah selayaknya bagi kita untuk selalu tampil beda dengan orang-orang kafir.<br /><br />Di antara adat kebiasaan orang kafir adalah memakai jam tangan di tangan kiri, padahal kita mendapatkan pintu yang teramat luas di dalam syari’at untuk menyelisihi adat ini. Walhasil mengenakan jam tangan di tangan kanan merupakan pelaksanaan kaidah umum, yaitu (mendahulukan) yang kanan [1], dan juga kaidah umum yang lain yaitu membedakan diri dengan orang-orang kafir.<br /><br />[Disalin dari buku Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani Hafidzzhullah, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]<br />_________<br />Foote Note<br />[1]. Yaitu di dalam hal-hal yang baik dan mulia, sebagai pemuliaan anggota tubuh bagian kanan.</span>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-30648629244597646392010-05-12T18:03:00.000-07:002010-05-12T18:09:14.465-07:00Jilbab Hitam Menurut Ulama Yaman<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_e6IET7SR1s4/S-tQRE6v1II/AAAAAAAAARY/pLGoryQOhxM/s1600/black_bordir.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 320px; height: 240px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_e6IET7SR1s4/S-tQRE6v1II/AAAAAAAAARY/pLGoryQOhxM/s320/black_bordir.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5470554426679743618" border="0" /></a><br />Sebagian muslimah yang taat beragama beranggapan bahwa satu-satunya warna pakaian muslimah yang ‘nyunnah’ adalah hitam. Jika ada yang berpakaian dengan warna selain hitam -apapun warnanya- maka dia belum menjadi muslimah sejati. Lebih parah lagi, ada yang beranggapan bahwa warna hitam adalah tolak ukur muslimah yang bermanhaj salaf. Artinya jika warna pakaian seorang muslimah bukan hitam maka dia bukan muslimah salafiyyah (muslimah yang bermanhaj salaf).<br /><br />Untuk menilai anggapan di atas, marilah kita simak fatwa salah seorang ulama ahli sunnah di Yaman saat ini yaitu Syeikh Abdullah bin Utsman adz Dzimari. Fatwa ini beliau sampaikan dalam sesi tanya jawab setelah ceramah ilmiah yang beliau sampaikan dengan judul ‘Barokah Tamassuk bis Sunnah’ (Keberkahan Berpegang Teguh dengan Sunnah/Ajaran Nabi). Ceramah ini beliau sampaikan pada tanggal 19 Shofar 1427 H di radio ad Durus as Salafiyyah minal Yaman. Fatwa beliau tentang warna pakaian muslimah ini tepatnya ada pada menit 59:47- 1:02:39. Rekaman kajian ini ada pada kami.<span class="fullpost">Berikut ini transkrip fatwa beliau dan terjemahnya.<br /><span style="font-size:130%;"><br /><span style="font-weight: bold;">القارئ: هذا السائل من ليبيا يقول ما الضابط للون بالنسبة لحجاب المرأة المسلمة الشرعي؟</span></span><br /><br />Moderator mengatakan, “Ada seorang penanya dari Libia yang mengajukan pertanyaan sebagai berikut. Apa warna yang pas untuk pakaian muslimah yang sejalan dengan syariat?”<br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">الجواب: اللون هو أحسن الألوان بالنسبة لحجاب المرأة هو لون الأسواد لأن الغالب علي هذا اللون أنه لا يكون ملفتا للرجال.</span></span><br /><br />Jawaban Syeikh Abdullah adz Dzimari, “Warna terbaik untuk pakaian seorang wanita adalah <span style="font-weight: bold;">hitam</span> dengan dua alasan. Alasan pertama, warna hitam biasanya tidak menarik dan memikat pandangan laki-laki.<br /><span style="font-size:130%;"><br /><span style="font-weight: bold;">الأمر الثاني أن عائشة-رضي الله عنها- عندما ذكرت بعض نساء الصحابة -في رواية:نساء المهاجرين, و في رواية: نساء الأنصار- “رحم الله نساء المهاجرين عندما نزلت آية الحجاب عمدن إلي مروطهن وشققنها وحتي أصبحن كالغربان”.</span></span><br /><br />Alasan kedua, ketika Aisyah menceritakan sebagian istri para shahabat – pada satu riwayat dikatakan ‘istri para shahabat Mujahirin’ namun pada riwayat yang lain disebutkan ‘istri para shahabat Anshor- “Semoga Allah melimpahkan rahmatNya kepada para istri shahabat Muhajirin. Ketika ayat tentang jilbab turun, mereka robek kain korden lalu mereka kenakan sebagai jilbab sehingga mereka seperti burung gagak”.<br /><span style="font-size:130%;"><br /><span style="font-weight: bold;">عائشة تشابه النساء كالغراب و الغراب يكون كله أسود اللون لا يري عليه أثر البياض. فهذا هو الأقرب و يكون بعيدا من أي لون أو تفصيل أو شكل للزينة.</span><br /><span style="font-weight: bold;">هذا من ناحية اللون.</span></span><br /><br />Dalam riwayat ini, Aisyah menyerupakan para shahabiyah dengan burung gagak. Sedangan buruk gagak itu seluruh tubuhnya berwarna hitam. Tidak ada warna putih sedikitpun. Inilah warna yang tepat karena dengan memakai warna pakaian seperti ini maka wanita yang bersangkutan terhindar dari warna pakaian, corak dan motif yang menari perhatian lawan jenis.<br /><span style="font-size:130%;"><br /><span style="font-weight: bold;">و أما من ناحية الصفات فبعض أهل العلم ذكرثمان الصفات للحجاب الشرعي. أن يكون الحجاب فضفاضا واسعا, لا ضيقا, و أن يكون سميكا غليظا, لا شفافا و أن يكون هذا الحجاب من ثياب النساء, لا من ثياب الرجال و أن يكون سابغا للجسد كله لا يظهر شيئا من الجسد و أن يكون خاليا من العطور والبخور و غيرها من روائح. لأنها إذا خرجت لا يحل لها أن تخرج متعطرة أو متبخرة. وكذلك أن لا يكون ثوب الزينة. وكذلك أن لا يكون ثوب الشهرة. وكذلك أن لا تكون المرأة متشابة به بالكافرات.</span><br /><span style="font-weight: bold;">فمثل هذه الأوصاف ينبغي أن تراعي في الحجاب.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Tentang criteria pakaian muslimah yang sesuai syariat, sebagian ulama menyebutkan ada delapan kriteria.</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">1)longgar, lapang dan tidak ketat</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">2)tebal dan tidak transparan</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">3)model pakaian yang dipakai adalah model pakaian wanita, bukan model atau bentuk pakaian laki-laki</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">4)menutup badan secara sempurna sehingga tidak ada satupun bagian badan yang nampak</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">5)tidak diberi wewangian karena ketika keluar rumah seorang wanita dilarang untuk mengenakan wewangian</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">6)tidak menarik perhatian lawan jenis</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">7)bukan pakaian tampil beda yang menyebabkan orang yang memakainya menjadi kondang di masyarakat</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">8)bukan model pakaian yang menjadi ciri khas wanita kafir sehingga dengan memakainya muslimah tersebut menyerupai wanita kafir. Inilah kriteria yang harus dipenuhi ketika seorang muslimah hendak berpakaian dengan sempurna.</span><br /><span style="font-size:130%;"><br /><span style="font-weight: bold;">و أما اللون فقد سمعتم. و إذا كان هناك لون آخر هادئ و هو مشهور في أوساط البلد اللتي تعيش فيهاهذه المرأة و لا تكون منفردة به فلا مانع إذا كان غير ملفت.</span></span><br /><br /> <blockquote>Tentang warna, telah kalian ketahui warna yang terbaik. Namun jika memang ada warna lembut(tidak mencolok) selain hitam yang biasa dipakai oleh para wanita di masyarakat setempat sehingga jika ada seorang muslimah yang mengenakannya maka dia tidak menjadi nyleneh di masyarakatnya maka tidak terlarang selama warna pakaian tersebut tidak menarik perhatian lawan jenis.</blockquote><br /><br /><span style="font-style: italic;">Sampai di sini penjelasan Syeikh Abdullah adz Dzimari.</span><br /><br />Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa warna pakaian muslimah selain hitam itu diperbolehkan <span style="font-weight: bold;">selama tidak menarik perhatian lawan</span>. Tolak ukur penilaian warna yang menarik perhatian dan tidak adalah ‘urf atau nilai yang berlaku di masyarakat.<br />Oleh karenanya memakai warna pakaian semacam itu tidaklah menurunkan kadar dan kualitas ke-ahlisunnah-an atau ke-salafi-an seorang muslimah.<br />Oleh sebab itu menilai seorang muslimah itu salafiyyah ataukah bukan dengan melihat warna jilbabnya hitam ataukah hukum adalah suatu hal yang keliru dan sangat tidak berdasar.<br />Meski tidaklah kita ingkari bahwa memilih warna hitam sebagai pakaian muslimah itu yang <span style="font-weight: bold;">lebih afdhol.</span> Akan tetapi yang sangat merisaukan adalah ketika warna hitam ini dijadikan tolak ukur dan parameter apakah seorang wanita itu salafiyyah ataukah bukan tanpa dasar dalil dan ilmu.<br /><br />Wallahu a’lam.<br /><br />sumber: <a href="http://ustadzaris.com/jilbab-hitam-menurut-ulama-yaman">http://ustadzaris.com/jilbab-hitam-menurut-ulama-yaman</a><br /></span>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-91290056878206387292010-05-12T17:53:00.000-07:002010-05-12T18:01:27.867-07:00Jual Beli via Internet<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_e6IET7SR1s4/S-tPRj6X6JI/AAAAAAAAARQ/yTlXiu9u-sE/s1600/BeliRumahViaOnline-1.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 350px; height: 314px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_e6IET7SR1s4/S-tPRj6X6JI/AAAAAAAAARQ/yTlXiu9u-sE/s400/BeliRumahViaOnline-1.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5470553335488047250" border="0" /></a><br />Umumnya transaksi dilakukan dengan hadirnya dua orang yang mengadakan transaksi dan adanya kerelaan kedua belah pihak yang dibuktikan dengan <span style="font-style: italic;">ijab</span> dari penjual dan <span style="font-style: italic;">qobul</span> dari pembeli. Seiring perkembangan teknologi, terdapat beberapa alat yang bisa digunakan dari jarak jauh. Ada yang dengan suara melalui telepon atau dengan mengirimkan salinan surat perjanjian via faks atau dengan tulisan via internet. Apakah transaksi sah meski dua orang yang bertransaksi tidak berada dalam satu tempat? Apakah komunikasi yang dilakukan melalui piranti di atas sudah dinilai cukup?<br /><span style="font-size:130%;"><br /><span style="font-weight: bold;">Analog dengan Kasus di Masa Silam</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Transaksi via tulisan (baca: faks atau internet) bisa dianalogkan dengan transaksi dengan tulisan yang ditujukan kepada orang yang tidak berada di majelis transaksi.</span> <span style="font-weight: bold;">Kasus semacam ini dibolehkan oleh mayoritas ulama karena adanya saling rela, meski kerelaan pihak kedua tidak langsung terwujud.</span> Hal ini tidaklah masalah asalkan ada <span style="font-style: italic;">qobul </span>(penyataan menerima dari pihak kedua) pada saat surat sampai kepada pihak kedua. Inilah pendapat mayoritas ulama. Tapi ada sebagian ulama Syafi’iyyah yang tidak membolehkannya.<br /><br />Sedangkan transaksi via suara (baca:telepon) bisa dianalogkan dengan transaksi dengan cara saling berteriak dari jarak yang berjauhan. <span style="font-weight: bold;">An Nawawi dalam al Majmu’ 9/181</span> mengatakan, “Andai ada dua orang yang saling berteriak dari kejauhan maka jual beli sah tanpa ada perselisihan”.<br /><br />Para ulama mempersyaratkan adanya kesatuan majelis untuk selain transaksi hibah, wasiat dan mewakilkan.<span class="fullpost">Ijab dan qobul disyaratkan harus berturut-turut dan tolak ukur berturut-turut adalah kembali pada urf (kebiasaan masyarakat setempat). Menurut mayoritas ulama (selain Syafi’iyyah), qobul tidak diharus sesegera mungkin demi mencegah adanya pihak yang dirugikan dan supaya ada kesempatan untuk berpikir.<br /><br />Jika ijab itu via surat maka disyaratkan adanya qobul dari pihak kedua pada saat surat sampai ke tangannya.<br /><br />Demikian pula disyaratkan adanya kesesuaian antara ijab dan qobul serta tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa salah satu pihak yang bertransaksi membatalkan transaksi.<br /><br />Menurut mayoritas ulama pihak yang mengeluarkan ijab (pihak pertama) boleh meralat ijabnya.<br /><br />Pendapat Ulama Kontemporer<br /><br />Banyak ulama kontemporer yang berpendapat bahwa transaksi dengan piranti-piranti modern adalah sah dengan syarat ada kejelasan dalam transaksi tersebut. Di antara mereka adalah Syeikh Muhammad Bakhit al Muthi’i, Mushthofa az Zarqa’, Wahbah Zuhaili dan Abdullah bin Mani’. Alasan beliau-beliau adalah sebagai berikut:<br /><br />1. Berdasar pendapat banyak ulama di masa silam yang menyatakan sahnya transaksi via surat menyurat dan jika ijab (penyataan pihak pertama) adalah sah setelah sampainya surat ke tangan pihak kedua. Demikian pula mengingat sahnya transaksi dengan cara berteriak.<br /><br />2. Yang dimaksud dengan disyaratkannya ‘kesatuan majelis transaksi’ adalah adanya suatu waktu yang pada saat itu dua orang yang mengadakan transaksi sibuk dengan masalah transaksi. Bukanlah yang dimaksudkan adalah adanya dua orang yang bertransaksi dalam satu tempat.<br /><br />Berdasarkan penjelasan tersebut maka majelis akad dalam pembicaraan via telepon adalah waktu komunikasi yang digunakan untuk membicarakan transaksi.<br /><br />Jika transaksi dengan tulisan maka majelis transaksi adalah sampainya surat atau tulisan dari pihak pertama kepada pihak kedua. Jika qobul tertunda dengan pengertian ketika surat sampai belum ada qobul dari pihak kedua maka transaksi tidak sah.<br /><br />Syeikh Muhammad Bakhit al Muthi’i ditanya tentang hukum mengadakan transaksi dengan telegram. Jawaban beliau, telegram itu seperti hukum surat menyurat. Cuma telegram itu lebih cepat. Akan tetapi mungkin saja terjadi kekeliruan. Oleh karena itu, ada keharusan untuk klarifikasi dengan sarana-sarana yang ada pada saat ini semisal telepon atau yang lainnya.<br />Semisal dengan telegram adalah faks.<br /><br />Untuk sarana-sarana yang lain maka boleh jadi sama dengan telepon dan telegram dalam kecepatan dan kejelasan komunikasi atau lebih baik lagi. Jika sama maka hukumnya juga sama. Jika lebih baik maka tentu lebih layak untuk dibolehkan.<br /><br />Majma’ Fiqhi Islami di Muktamarnya yang keenam di Jeddah juga menetapkan bolehnya mengadakan transaksi dengan alat-alat komunikasi modern. Transaksi ini dinilai sebagaimana transaksi dua orang yang berada dalam satu tempat asalkan syarat-syaratnya terpenuhi. Akan tetapi tidak diperbolehkan untuk menggunakan sarana-sarana ini itu transaksi sharf/penukaran mata uang karena dalam sharf disyaratkan serah terima secara langsung.<br /><br />Demikian pula transaksi salam karena dalam transaksi salam modal harus segera diserahkan begitu setelah transaksi dilaksanakan.<br /><br />Namun menurut Wahbah Zuhaili, jika terdapat serah terima mata uang dalam transaksi <span style="font-style: italic;">sharf</span> dan modal dalam transaksi salam bisa diserahkan denga menggunakan sarana-sarana komunikasi modern tersebut maka transaksi sah dan hal ini adalah suatu hal yang memungkinkan untuk beberapa model transaksi yang baru.<br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Syarat yang ditetapkam Majma Fiqhi adalah sebagai berikut:</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;">1. Adanya kejelasan tentang siapa pihak-pihak yang mengadakan transaksi supaya tidak ada salah sangka, kerancuan dan pemalsuan dari salah satu pihak atau dari pihak ketiga.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">2. Bisa dipastikan bahwa alat-alat yang digunakan memang sedang dipakai oleh orang dimaksudkan. Sehingga semua perkataan dan pernyataan memang berasal dari orang yang diinginkan.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">3. Pihak yang mengeluarkan ijab (pihak pertama, penjual atau semisalnya) tidak membatalkan transaksi sebelum sampainya qobul dari pihak kedua. Ketentuan ini berlaku untuk alat-alat yang menuntut adanya jeda untuk sampainya qobul.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">4. Transaksi dengan alat-alat ini tidak menyebabkan tertundanya penyerahan salah satu dari dua mata uang yang ditukarkan karena dalam transaksi sharf/tukar menukar mata uang ada persyaratan bahwa dua mata uang yang dipertukarkan itu telah sama-sama diserahkan sebelum majelis transaksi bubar. Demikian juga tidak menyebabkan tertundanya penyerahan modal dalam transaksi salam karena dalam transaksi salam disyaratkan bahwa modal harus segera diserahkan.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">5. Tidak sah akad nikah dengan alat-alat tersebut (hp, internet dll) karena adanya saksi adalah syarat sah akad nikah.<br /><br /></span><span>sumber: <a href="http://ustadzaris.com/jual-beli-via-internet">http://ustadzaris.com/jual-beli-via-internet</a></span><span style="font-style: italic;"><br /></span></span>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-87602072305013975462010-05-12T09:14:00.000-07:002010-05-12T09:21:00.028-07:00At-Tasybiik (Menjalin Jari-Jemari) – Hukumnya<span style="font-weight: bold;">Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu</span>, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :<br /><br /><span style="color: rgb(255, 0, 0);font-size:130%;" ><span style="font-weight: bold;">إذا توضأ أحدكم في بيته ثم أتى المسجد كان في صلاة حتى يرجع فلا يقل هكذا وشبك بين أصابعه</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;">“Apabila salah seorang diantara kalian wudlu di rumahnya kemudian ia pergi ke masjid, maka ia senantiasa dalam keadaan shalat hingga ia kembali pulang ke rumahnya. Oleh karena itu, janganlah ia melakukan melakukan seperti ini ! – Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperagakan dengan menjalinkan jari-jemarinya (tasybik)”</span> <span style="color: rgb(51, 51, 255);">[HR. Ibnu Khuzaimah no. 439, Al-Haakim 1/206, dan Ad-Daarimi no. 1446; shahih].</span><br /><span style="font-size:130%;"><br /><span style="color: rgb(255, 0, 0); font-weight: bold;">عن أبي ثمامة الحناط : أن كعب بن عُجْرَة أدركه وهو يريد المسجد، أدرك أحدهما صاحبه قال: فوجدني وأنا مشبك بيدي فنهاني عن ذلك وقال: إن رسول اللّه صلى الله عليه وسلم قال: "إذا توضّأ أحدكم فأحسن وضوءه، ثمّ خرج عامداً إلى المسجد فلا يشبِّكنَّ يديه فإِنه في صلاةٍ".</span></span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Dari Abu Ummamah Al-Hanaath</span> : <span style="font-style: italic;">Bahwasannya Ka’b bin ‘Ujrah bertemu dengannya saat ia hendak pergi ke masjid. Mereka saling bertemu waktu itu. Ka’b melihatku sedang menjalinkan jari-jemariku (tasybik), kemudian ia melarangku dan berkata : “Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Apabila salah seorang diantara kalian wudlu, membaguskan wudlunya, kemudian pergi menuju masjid; maka janganlah ia menjalinkan jari-jemarinya (tasybik). Sesungguhnya ia dalam keadaan shalat”</span> <span style="color: rgb(51, 51, 255);">[HR. Abu Dawud no. 562; At-Tirmidzi no. 386; Ahmad 4/241,242, 243; Ibnu Khuzaimah no. 441; Ad-Daarimi no. 1444; dan yang lainnya – shahih].</span><span class="fullpost"><span style="color: rgb(51, 51, 255);"><br /><br /></span></span><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" ><span dir="RTL" style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Tahoma","sans-serif"; color: rgb(255, 0, 0);" lang="AR-SA">عن إسماعيل بن أمية، قال: سألت نافعاً عن الرجل يصلي وهو مشبِّك يديه؟ قال: قال ابن عمر: تلك صلاة المغضوب عليهم.</span></span><br /><span class="fullpost"><span style="color: rgb(51, 51, 255); font-style: italic; font-weight: bold;"><br /></span><span style="font-style: italic;"><span style="font-weight: bold;">Dari Isma’il bin Umayyah,</span> ia berkata : Aku bertanya kepada Naafi’ tentang seorang laki-laki yang menjalin jari-jemarinya (tasybik) ketika shalat ?. Maka ia berkata : Telah berkata Ibnu ‘Umar : “Itu adalah cara shalat orang-orang yang dimurkai oleh Allah” </span><span style="color: rgb(51, 51, 255);">[HR. Abu Dawud no. 993; shahih].</span></span><br /><span class="fullpost"><br /><span style="font-style: italic;">Dhahir hadits di atas menunjukkan larangan melakukan tasybik (menjalin jari-jemari) ketika seseorang berwudlu, keluar menuju masjid, menunggu shalat ditegakkan, hingga shalat ditunaikan.</span><span style="font-weight: bold;"> Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah</span> berkata :<br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="color: rgb(255, 0, 0); font-weight: bold;">أما التشبيك بين الأصابع فيكره من حين يخرج ، وهو في المسجد أشد كراهة ، وفي الصلاة أشد وأشد"</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;">“Menjalin jari-jemari (tasybik) adalah dimakruhkan ketika ia keluar bejalan menuju masjid. Ketika ia sudah berada di masjid, maka kemakruhan itu bertambah. Dan shalat dilaksanakan, maka kemakruhan itu semakin bertambah (keras)”</span> <span style="color: rgb(51, 51, 255);">[Syarhul-‘Umdah, hal. 601; Daarul-‘Aashimah, Cet. 1/1418].</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Namun ketika seseorang berada di masjid tidak sedang menunggu shalat atau telah selesai melaksanakan shalat; maka tidak mengapa.</span> <span style="font-weight: bold;">Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah</span> telah menegaskan kebolehannya dengan membuat satu bab dalam kitab Shahih-nya : “Menjalin Jari-Jemari di dalam Masjid dan Selainnya (تشبيك الأصابع في المسجد وغيره). Kemudian beliau membawakan beberapa hadits, di antaranya :<br /></span><br /><span class="fullpost"><span style="color: rgb(255, 0, 0);font-size:130%;" ><span style="font-weight: bold;">عن أبي موسى، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إن المؤمن للمؤمن كالبنيان، يشد بعضه بعضا). وشبك أصابعه.</span></span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Dari Abu Musa</span>, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : <span style="font-style: italic;font-size:100%;" >“Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti satu bangunan yang saling menguatkan”. </span><span style="font-style: italic;">Kemudian beliau menjalin jari-jemarinya (tasybik)”<span style="color: rgb(51, 51, 255);"> </span></span><span style="color: rgb(51, 51, 255);">[HR. Al-Bukhari no. 481].</span><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="color: rgb(255, 0, 0); font-weight: bold;">عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ _ رضي الله عنه _ قَالَ : صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم إحدى صلاتي العشي. فصلى بنا ركعتين ثم سلم، فقام إلى خشبة معروضة في المسجد، فاتكأ عليها كأنه غضبان، ووضع يده اليمنى على اليسرى، وشبك بين أصابعه.....</span></span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu</span> ia berkata : <span style="font-style: italic;">“Suatu ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat ‘isya’ dan ketika baru mendapatkan dua raka’at, beliau salam. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri dengan bersandar pada sebatang kayu yang melintang di dalam masjid dengan tampak marah. Beliau meletakkan tangan kanan beliau di atas tangan kiri dan menjalinkan jari-jemarinya (tasybik),…..”</span> <span style="color: rgb(51, 51, 255);">[HR. Al-Bukahri no. 482].</span><br /><br />Semoga ada manfaatnya artikel singkat ini….</span><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_e6IET7SR1s4/S-rUWLNiLyI/AAAAAAAAARI/aXEMBM2ONEE/s1600/%D8%AA%D8%B4%D8%A8%D9%8A%D9%83.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 400px; height: 299px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_e6IET7SR1s4/S-rUWLNiLyI/AAAAAAAAARI/aXEMBM2ONEE/s400/%D8%AA%D8%B4%D8%A8%D9%8A%D9%83.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5470418174826655522" border="0" /></a><br /><span class="fullpost"><br />Abu Al-Jauzaa’, DAW – 1430 H.<br /><a href="http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/04/at-tasybiik-menjalin-jari-jemari.html">http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/04/at-tasybiik-menjalin-jari-jemari.html</a><br /><br />NB : Jika ada ikhwah yang masih belum punya gambaran tentang tasybik dalam bahasan ini, maka perhatikan gambar berikut :<br /><br /><br />Kaifiyah tangan seperti di samping lah yang disebut tasybik.</span>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-38259369090855157342010-05-12T08:55:00.000-07:002010-05-12T09:03:46.242-07:00Hukum Memakai Lensa Kontak Berwarna untuk Kecantikan dan Gaya<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_e6IET7SR1s4/S-rRWFn6c1I/AAAAAAAAARA/ilwwxgPQfbI/s1600/febriano.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 376px; height: 376px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_e6IET7SR1s4/S-rRWFn6c1I/AAAAAAAAARA/ilwwxgPQfbI/s400/febriano.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5470414874791801682" border="0" /></a><br /><span style="font-style: italic;">Fadliilatusy-Syaikh Shaalih bin Fauzaan hafidhahullah</span> pernah ditanya tentang hukum memakai lensa mata berwarna untuk mempercantik diri (hiasan) dan mengikuti gaya, dimana harga lensa tersebut tergolong mahal. Maka beliau menjawab sebagai berikut :<br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">لبس العدسات من أجل الحاجة لا بأس به.</span> <span style="font-weight: bold;">أما إن كان من غير حاجة فإن تركه أحسن، خصوصاً إذا كان غالي الثمن فإنه يعد من الإسراف المحرم.</span> <span style="font-weight: bold;">علاوة على ما فيه من التدليس والغش لأنه يظهر العين بغير مظهرها الحقيقي من غير حاجة إليه. اهــ.</span></span><br /><span style="font-style: italic;">“Memakai lensa mata karena ada keperluan adalah tidak mengapa. Adapun jika ia memakainya tanpa ada satu keperluan, maka meninggalkannya lebih baik, khususnya jika harganya mahal. Karena hal itu terhitung sebagai perbuatan berlebih-lebihan yang diharamkan. Apalagi padanya ada unsur penyamaran dan penipuan karena ia telah menampakkan mata bukan pada hakekatnya sebenarnya (warnanya yang asli) tanpa ada keperluan”</span> [selesai – Fataawaa Ziinatil-Mar’ah hal. 49, dikumpulkan oleh Asyraaf bin ‘Abdil-Maqshuud].<span class="fullpost"><br /><br /><span style="font-style: italic;">Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah</span> memberikan keterangan sebagai berikut :<br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">وبالنسبة للعدسات اللاصقة فلابد من استشارة الطبيب هل يؤثر على العين أم لا ؟</span> <span style="font-weight: bold;">إن كان يؤثر عليها منع من استعمالها نظراً للضرر الذي يصيب العين وكل ضرر يصيب البدن فإنه منهى عنه لقول الله تبارك وتعالى : وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْما.</span> <span style="font-weight: bold;">أما إذا قرر الأطباء بأنه لا أثر له على العين ولا يضرها فإننا ننظر مرة أخرى هل هذه العدسات تجعل عين المرأة كأعين البهائم ؟ يعنى كعين الخروف كعين الأرنب، فهذا لا يجوز لأن هذا من باب التشبه بالحيوان، والتشبه بالحيوان لم يرد إِلا في مقام الذم والتنفير كما في قوله تعالى : وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِيْنَ ٭ وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيئه يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ .</span> <span style="font-weight: bold;">وكما في قولِ النبي صلى الله عليه وسلم : ((ليس لنا مثل السوء العائد في هبته كالكلب يعود في قيئه)). وكما قول النبي صلى الله عليه وسلم : ((الذي يتكلم يوم الجمعة والإمام يخطب كمثل الحمار ويحمل أسفاراًَ)).</span> <span style="font-weight: bold;">فإذا كانت لا تغير العين ولكنها تغير لون العين من سواد خالص إلى سواد دون ذلك وما أشبه ذلك فلا بأس، وليس هذا من باب تغيير خلق الله لأن هذه لا تثبت، فليست كالوشم، بل هي غير ثابتة متى شاءت خلعتها، بل تشبه النظارة التي تلبس على العين وإن كان انفصال النظارة أظهر وأبين من انفصال هذه اللاصقات، لأن هذه اللاصقات تكون على العين مباشرة، فعلى كل حال إن تجنبتها المرأة فهو أحسن وأولى وأسلم حتى لعينها من الخطر، ولكن الشيء الذي لابد منه هو أن نعود إلى التفصيل الذي ذكرناه. اهــ.</span></span><br /><span style="font-style: italic;">“Mengenai penggunaan lensa mata, hendaknya berkonsultasi kepada dokter terlebih dahulu, apakah ia memberikan efek (negatif) terhadap mata atau tidak ?</span> <span style="font-style: italic;">Apabila menimbulkan efek negatif pada mata, maka terlarang menggunakannya dengan pertimbangan adanya bahaya yang menimpa mata. Setiap bahaya yang menimpa badan hukumnya terlarang menggunakannya, berdasarkan firman Allah tabaaraka wa ta’ala :</span> </span><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;" class="verse rtl ar" title="4:29:29">يٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنوا لا تَأكُلوا أَموٰلَكُم بَينَكُم بِالبٰطِلِ إِلّا أَن تَكونَ تِجٰرَةً عَن تَراضٍ مِنكُم ۚ وَلا تَقتُلوا أَنفُسَكُم ۚ إِنَّ اللَّهَ كانَ بِكُم رَحيمًا ﴿٢٩﴾</span></span><span class="fullpost"> <span style="font-style: italic;">‘Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu’ <span style="color: rgb(51, 51, 255);">(QS. An-Nisaa’ : 29).</span></span> <span style="font-style: italic;">Adapun jika para dokter menetapkan bahwa hal tersebut tidak menimbulkan efek negatif pada mata dan tidak membahayakannya, maka kita harus mempertimbangkannya sekali lagi. Apakah lensa mata ini menjadikan mata wanita menjadi seperti mata hewan ? yaitu seperti mata domba atau mata kelinci. Jika iya, maka tidak diperbolehkan karena termasuk perbuatan tasyabbuh terhadap binatang. Perbuatan tasyabbuh terhadap hewan tidaklah muncul (dalam syari’at) kecuali ia tercela dan dijauhi sebagaimana terdapat dalam firman-Nya ta’ala : </span></span><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;" class="verse rtl ar" title="7:175:175">وَاتلُ عَلَيهِم نَبَأَ الَّذى ءاتَينٰهُ ءايٰتِنا فَانسَلَخَ مِنها فَأَتبَعَهُ الشَّيطٰنُ فَكانَ مِنَ الغاوينَ ﴿١٧٥﴾ </span></span> <span class="verse rtl ar" title="7:176:176"><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;"> وَلَو شِئنا لَرَفَعنٰهُ بِها وَلٰكِنَّهُ أَخلَدَ إِلَى الأَرضِ وَاتَّبَعَ هَوىٰهُ ۚ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الكَلبِ إِن تَحمِل عَلَيهِ يَلهَث أَو تَترُكهُ يَلهَث ۚ ذٰلِكَ مَثَلُ القَومِ الَّذينَ كَذَّبوا بِـٔايٰتِنا ۚ فَاقصُصِ القَصَصَ لَعَلَّهُم يَتَفَكَّرونَ </span><b style="font-weight: bold;">﴿١٧٦﴾</b></span> </span><span class="fullpost"><span style="font-style: italic;"> ‘Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga)’ <span style="color: rgb(51, 51, 255);">(QS. Al-A’raaf : 175-176). </span></span> <span style="font-style: italic;">Begitu pula seperti yang disabdakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘<span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Tidak ada bagi kami permisalan yang jelek. Orang yang menarik kembali pemberiannya adalah seperti anjing yang menjilat kembali muntahannya’</span></span> <span style="color: rgb(51, 51, 255);">(Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2589 dan Muslim no. 1622). </span><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">‘Seorang yang berbincang-bincang pada hari Jum’at sedangkan imam pada waktu itu sedang berkhutbah, seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal’</span></span> <span style="color: rgb(51, 51, 255);">(Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad lemah, lihat Al-Misykah no. 1397).</span></span> <span style="font-style: italic;">Jika pemakaian lensa mata itu tidak mengubah mata, namun hanya mengubah warna mata saja dari hitam kelam menjadi tidak kelam, dan yang semisalnya, maka tidak mengapa. Perbuatan tidaklah termasuk perbuatan mengubah ciptaan Allah, karena bersifat tidak permanen. Tentu saja ini berbeda dengan tattoo. Memakai lensa mata tidak bersifat permanen yang sewaktu-waktu dapat ia lepas. Ia lebih mirip dengan kaca mata meskipun jelas-jelas terpisah dengan mata dibandingkan dengan lensa yang langsung menempel pada mata. Bagaimanapun juga, bila wanita tidak memakainya, hal itu lebih baik, lebih utama, dan lebih aman bagi matanya dari bahaya (goresan). Yang penting, ketika hendak memakainya, harus benar-benar dipertimbangkan secara seksama/rinci sebagaimana yang telah kami sebutkan tadi”</span> [selesai – dari fatwa beliau yang terekam dalam kaset yang berjudul Taujihaat lil-Mukminaat, dari kitab Al-Libaas waz-Ziinah oleh Samiir bin ‘Abdil-‘Aziiz, hal 75].<br /><br />Wallaahu a’lam.<br />Semoga ada manfaatnya…..<br /><br />[Diambil dari buku Shahih Fiqhis-Sunnah oleh Abu Maalik Kamaal bin As-Sayyid Saalim, 3/69-70; Maktabah Taufiqiyyah oleh Abu Al-Jauzaa’ – <a href="http://abul-jauzaa.blogspot.com/">http://abul-jauzaa.blogspot.com</a>]. </span>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-59749515913341911782010-05-12T08:44:00.000-07:002010-05-12T08:48:32.981-07:00Apakah Sah Sholat Wanita dengan Memakai Kaos Tangan ?<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_e6IET7SR1s4/S-rNyew11VI/AAAAAAAAAQ4/Z9dqIlJvroA/s1600/28358_112789622090386_100000780451321_87353_2518947_n.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 400px; height: 300px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_e6IET7SR1s4/S-rNyew11VI/AAAAAAAAAQ4/Z9dqIlJvroA/s400/28358_112789622090386_100000780451321_87353_2518947_n.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5470410964529960274" border="0" /></a><br /><span style="font-size:130%;">Penulis:</span> <span style="font-weight: bold;">Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin</span><br /><br /><span style="font-size:130%;">Tanya:</span> <span style="font-style: italic;">Apakah wanita boleh melakukan shalat dalam keadaan memakai kaos tangan tanpa ada laki-laki yang bukan mahramnya hadir di sisinya ?</span><span class="fullpost"><br /><br /><span style="font-size:130%;">Maka beliau menjawab :</span> <span style="font-style: italic;">Kaos tangan adalah pakaian tangan dan wanita haram memakainya ketika ihram, karena Nabi – Shallallaahu ‘alaihi wasallam – bersabda :</span><br /><span style="font-size:130%;"> <span style="font-style: italic; color: rgb(255, 0, 0);">“Wanita yang ihram tidak memakai niqab (tutup muka) dan tidak memakai kaos tangan.”</span></span><br /><br />Maka wanita diharamkan memakai kaos tangan ini ketika dalam ihram. <span style="font-style: italic;">Tetapi ketika ia tidak ihram atau shalat dan di sekitarnya tidak ada laki-laki yang bukan mahramnya maka yang lebih utama dia melepaskannya dari tangannya supaya dia dapat menyentuhkan langsung kedua tangannya di tempat shalat.</span><br /><br />Sepantasnya pula ketika di sekitarnya adalah laki-laki agar dia menutup wajahnya dari mereka, lalu ketika dia sujud hendaknya membuka wajahnya karena seseorang sujud di atas sesuatu yang bersambung dengan dirinya seperti pakaian dan kerudung wanita dimakruhkan kecuali karena ada hajat. Dalilnya adalah perkataan Anas bin Malik – Radiyallahu ‘anhu – :<br /><span style="color: rgb(255, 0, 0);font-size:130%;" > <span style="font-weight: bold;">“Kami shalat bersama Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam kondisi sangat panas. Jika salah seorang dari kami tidak mampu menempelkan dahinya di atas tanah, maka ia membentangkan pakaiannya lalu sujud di atasnya.”</span></span><br /><br />Perkataan : <span style="font-style: italic;">“Jika salah seorang dari kami tidak mampu menempelkan dahinya di atas tanah”, menunjukkan bahwa hal ini tidak dilakukan kecuali darurat.</span><br /><br />Sumber : Wanita Bertanya Ulama Menjawab (Kumpulan Fatwa tentang Wanita). Penyusun : Abu Malik Muhammad bin Hamid bin Abdul Wahab. Penerbit : Penerbit An Najiyah<br /><br /><a href="http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/11/15/apakah-sah-sholat-wanita-dengan-memakai-kaos-tangan/">http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/11/15/apakah-sah-sholat-wanita-dengan-memakai-kaos-tangan/</a></span>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-75139008611784917062010-05-12T08:33:00.000-07:002010-05-12T08:42:07.324-07:00Polemik Busana Muslimah Bermotif (bordir/renda)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_e6IET7SR1s4/S-rMRCjlu9I/AAAAAAAAAQw/1WJaFLGPPGo/s1600/27013_1168129778547_1687031637_339045_4969295_n.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 320px; height: 400px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_e6IET7SR1s4/S-rMRCjlu9I/AAAAAAAAAQw/1WJaFLGPPGo/s400/27013_1168129778547_1687031637_339045_4969295_n.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5470409290510875602" border="0" /></a><br />Oleh: Ust. Abu Muawiah<br /><br /><span style="font-size:180%;">Tanya:</span><br />Bismillah…<br />Assalamu’alaikum wa rohmatulloh wa barokatuh,<br />Ustadz, kami memiliki pertanyaan seputar jilbab muslimah. Telah terjadi diskusi antara beberapa akhwat, tentang hukum memakai busana muslimah (jilbab/ gamis/ Jubah) yang bermotif/ berenda/ berbordir/ batik sewarna/ bergaris-garis di luar rumah di hadapan non mahrom, dimana ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Berikut kami ringkaskan diskusi yang terjadi:<span class="fullpost"><br /><br /><span style="font-size:180%;">Yang membolehkan berhujjah/beralasan:</span><br /><span style="font-weight: bold;">1. Pakaian bermotif/ berenda/ berbordir/ batik sewarna/ bergaris-garis tersebut sudah biasa di negeri kita (Indonesia) dan berpakaian hitam/gelap polos malah menjadi perhatian orang di sebagian tempat, kondisi ataupun acara yang kebanyakan orangnya berpakaian bercorak-corak/batik. Hendaknya kita berpakaian sesuai ‘urf, karena menurut para ulama hukumnya makruh jika kita menyelisihi ‘urf berpakaian masyarakat setempat.</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">2. Hadits Ummu Kholid rodhiyallohu anha yang mengenakan baju bergaris-garis hijau & kuning dalam Shohih al-Bukhori</span>:<span style="font-size:130%;"> <span style="color: rgb(255, 0, 0); font-weight: bold;">أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثِيَابٍ فِيهَا خَمِيصَةٌ سَوْدَاءُ صَغِيرَةٌ فَقَالَ مَنْ تَرَوْنَ أَنْ نَكْسُوَ هَذِهِ فَسَكَتَ الْقَوْمُ قَالَ ائْتُونِي بِأُمِّ خَالِدٍ فَأُتِيَ بِهَا تُحْمَلُ فَأَخَذَ الْخَمِيصَةَ بِيَدِهِ فَأَلْبَسَهَا وَقَالَ أَبْلِي وَأَخْلِقِي وَكَانَ فِيهَا عَلَمٌ أَخْضَرُ أَوْ أَصْفَرُ فَقَالَ يَا أُمَّ خَالِدٍ هَذَا سَنَاهْ وَسَنَاهْ بِالْحَبَشِيَّةِ حَسَنٌ</span></span><br />“Dibawakan kepada Nabi sebuah kain yang di dalamnya ada pakaian kecil yang berwarna hitam. Maka beliau bersabda, “Menurut kalian siapa yang pantas kita pakaikan baju ini?” maka para sahabat diam. Beliau bersabda, “Bawa Ummu Khalid ke sini,” maka Ummu Khalid pun dibawa kepada beliau, lalu beliau mengambil baju tersebut dan memakaikannya. Lalu beliau bersabda, “Semoga tahan lama hingga Allah menggantinya dengan yang baru.” Pada pakaian tersebut ada corak yang berwarna hijau atau kuning, dan beliau bersabda: “Wahai Ummu Khalid, ini sanah, sanah.” Sanah adalah perkataan bahasa Habasyah yang berarti bagus.” (no. 5375)<br />Dan berpendapat bahwa meski ketika itu Ummi Khalid belum baligh namun Nabi tidak mungkin melatih dan membiasakan anak kecil untuk mengerjakan sebuah kemaksiatan, sehingga hadits ini menunjukkan bolehnya seorang perempuan dewasa mengenakan pakaian berwarna hitam yang bercampur dengan garis-garis berwarna hijau atau kuning di hadapan laki-laki non mahrom. Dan juga adanya kaidah “tidak boleh menunda penjelasan ketika dibutuhkan”.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">3. Imam Bukhori pernah meriwayatkan dalam kitab Shohih-nya bahwa Ummul Mukminin ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha pernah mengenakan pakaian berwarna merah dengan “corak mawar” ketika sedang melakukan ihrom di Makkah.</span> (catatan : Namun dalam diskusi tidak diberikan teks haditsnya & nomor hadits tersebut. Mohon konfirmasi dari ustadz, apakah hadits yang bermakna seperti ini ada atau tidak dalam shohih al-Bukhori?)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">4. Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin rohimahulloh yang teks terjemahannya ada di link : <a href="http://www.alfurqon.co.id/busana-muslimah-dengan-bordir-dan-renda/">http://www.alfurqon.co.id/busana-muslimah-dengan-bordir-dan-renda/</a></span><br /><span style="font-weight: bold;">5. Fatwa syaikh Ali bin Hasan al-Halabi yang mengatakan bahwa batasan perhiasan adalah tergantung ‘urf masing-masing daerah.</span> [Bila diperlukan, file rekamannya bisa kami kirimkan via email(?)]<br /><span style="font-weight: bold;">6. Penjelasan Syaikh Abu Malik Kamal dalam Shohih Fiqhis Sunnah lin Nisaa’ II/147-149.</span><br /><span style="font-weight: bold;">7. Berpakaian hitam atau warna gelap memang memiliki kecenderungan untuk tersamarkan dari pandangan, akan tetapi berpakaian motif pun bisa membuat kita tersamar dari pandangan. Yang terpenting adalah bagaimana kita berpakaian, bukan seperti apa pakaian kita.</span><br /><span style="font-weight: bold;">8. Tidak ada dalil shohih & shorih yang melarang baru bermotif/ berenda/ berbordir/ batik sewarna/ bergaris-garis untuk dipakai wanita dewasa di luar rumahnya di hadapan non mahrom.</span><br /><br /><span style="font-size:180%;">Yang tidak membolehkan berhujjah/ beralasan:</span><br /><span style="font-weight: bold;">1. Keumuman firman Alloh ta’ala :<br /></span></span><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" ><span style="color: rgb(255, 0, 0);" class="verse rtl ar" title="24:31:31">وَقُل لِلمُؤمِنٰتِ يَغضُضنَ مِن أَبصٰرِهِنَّ وَيَحفَظنَ فُروجَهُنَّ وَلا يُبدينَ زينَتَهُنَّ إِلّا ما ظَهَرَ مِنها ۖ وَليَضرِبنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلىٰ جُيوبِهِنَّ ۖ وَلا يُبدينَ زينَتَهُنَّ إِلّا لِبُعولَتِهِنَّ أَو ءابائِهِنَّ أَو ءاباءِ بُعولَتِهِنَّ أَو أَبنائِهِنَّ أَو أَبناءِ بُعولَتِهِنَّ أَو إِخوٰنِهِنَّ أَو بَنى إِخوٰنِهِنَّ أَو بَنى أَخَوٰتِهِنَّ أَو نِسائِهِنَّ أَو ما مَلَكَت أَيمٰنُهُنَّ أَوِ التّٰبِعينَ غَيرِ أُولِى الإِربَةِ مِنَ الرِّجالِ أَوِ الطِّفلِ الَّذينَ لَم يَظهَروا عَلىٰ عَورٰتِ النِّساءِ ۖ وَلا يَضرِبنَ بِأَرجُلِهِنَّ لِيُعلَمَ ما يُخفينَ مِن زينَتِهِنَّ ۚ وَتوبوا إِلَى اللَّهِ جَميعًا أَيُّهَ المُؤمِنونَ لَعَلَّكُم تُفلِحونَ ﴿٣١﴾</span></span><br /><span class="fullpost"><span style="font-weight: bold;"></span>“dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka…” <span style="color: rgb(51, 51, 255);">(QS. an-Nur : 31)</span> <span style="font-weight: bold;font-size:130%;" > </span></span><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" ><span style="color: rgb(255, 0, 0);" class="verse rtl ar" title="33:33:33">وَقَرنَ فى بُيوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجنَ تَبَرُّجَ الجٰهِلِيَّةِ الأولىٰ ۖ وَأَقِمنَ الصَّلوٰةَ وَءاتينَ الزَّكوٰةَ وَأَطِعنَ اللَّهَ وَرَسولَهُ ۚ إِنَّما يُريدُ اللَّهُ لِيُذهِبَ عَنكُمُ الرِّجسَ أَهلَ البَيتِ وَيُطَهِّرَكُم تَطهيرًا ﴿٣٣﴾</span></span><br /><span class="fullpost">“Tetaplah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” <span style="color: rgb(51, 51, 255);">[QS. Al-Ahzab : 33]<br /><br /></span>Sabda Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam:<br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-style: italic; color: rgb(255, 0, 0);">“Wanita itu aurat, maka bila ia keluar rumah, setan terus memandanginya (untuk menghias-hiasinya dalam pandangan lelaki sehingga terjadilah fitnah).”</span></span> <span style="color: rgb(51, 51, 255);">(Dishahihkan syaikh Al-Albani dalam ShahihAt-Tirmidzi , dan syaikh Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/36)</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">2. Motif/ renda/ bordir/ garis-garis/ batik tersebut termasuk perhiasan.</span> Bahkan secara ‘urf pun jika kita bertanya pada orang-orang :“apa tujuan dibuatnya motif/renda/bordir dll tersebut di pakaian yang asalnya polos?”, akan dijawab : “supaya indah”, “untuk hiasan”, dan yang semisal itu. Dan secara bahasa pun (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia / KBBI online) motif/ renda/ bordir juga disifati sebagai hiasan.<br />Jika kalung kita sebut sebagai perhiasan leher, gelang adalah perhiasan tangan, anting adalah perhiasan telinga, lipstik adalah perhiasan bibir, maka kita juga bisa sebut motif/ berenda/ berbordir/ batik sewarna/ bergaris-garis adalah perhiasan pada baju.<br />Sedangkan salah satu syarat jilbab yang syar’i yang disebutkan oleh para ulama adalah bahwa pakaian tersebut bukanlah perhiasan & ia berfungsi untuk menutupi perhiasan, sehingga tidak masuk akal apabila jilbab yang dikenakan itu sendiri berupa perhiasan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">3. Dan memakai pakaian warna polos yang tidak mencolok di mata masyarakat tidak bisa dikatakan menyelisihi ‘urf, jadi untuk sesuai dengan ‘urf tidak harus dengan menghiasi pakaian dengan motif/ berenda/ berbordir/ batik sewarna/ bergaris-garis.</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">4. Fatwa Lajnah Da’imah nomor 21352, tetanggal 9/3/1421 H tentang “model aba’ah yang di syari’atkan untuk wanita”</span>, yang beranggotakan : Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh Abdulloh bin Ghudayyan, Syaikh Sholeh al-Fauzan dan Syaikh Bakr Abu Zaid, Lengkapnya ada di [http://alifta.com/Fatawa/FatawaChapters.aspx?View=Page&PageID=6411&PageNo=1&BookID=3]. Di antara kriteria yang disebutkan adalah:<br /><span style="font-weight: bold;">رابعا: ألا يكون فيها زينة تلفت إليها الأنظار، وعليه فلا بد أن تخلو من الرسوم والزخارف والكتابات والعلامات.</span><br /><span style="font-style: italic;">“Keempat : Tidak diberi hiasan-hiasan yang dapat menarik perhatian mata. Oleh karena itu harus polos dari gambar, pernak-pernik, dan tulisan-tulisan, maupun simbol-simbol”.</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">5. Dinukil pula pendapat Syaikh Amr Abdul Mun’im Salim dalam terjemahan kitabnya “Ahkamuz Ziinah lin Nisaa’</span>” ketika menjelaskan syarat “Pakaian tersebut tidak berfungsi sebagai perhiasan”, setelah membawakan Surat an-Nuur ayat 31 beliau menjelaskan : <span style="font-style: italic;">“Hendaklah pakaian tersebut tidak bercorak (bermotif) atau bergambar atau berwarna warni lebih dari satu warna dan dibordir. Semua itu termasuk perhiasan yang tidak boleh ditampakkan oleh kaum wanita di hadapan lelaki yang bukan mahromnya.”</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">6. Hadits Ummu Kholid rodhiyallohu anha terjadi ketika Ummu Kholid masih kecil (bahkan masih digendong), sehingga tidak tepat jika meng-qiyas-kan hukumnya untuk wanita dewasa. </span>Dan beralasan “Nabi tidak mungkin melatih dan membiasakan anak kecil untuk mengerjakan sebuah kemaksiatan” tidak tepat karena banyak ihtimal lainnya, seperti :<br />Karena kain itu bercorak, maka Nabi memberikannya kepada anak kecil karena mereka belum mukallaf & tidak terkena hukum berhias.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">7. Membolehkan motif/ berenda/ berbordir/ batik sewarna/ bergaris-garis pada pakaian akhwat akan membuka pintu tabarruj, sedangkan agama kita mengenal kaidah Saddu adz-Dzari’ah.</span><br /><br />Mohon tarjih & nasehat ustadz dalam masalah ini dan mohon penjelasan bagaimana batasan ‘urf yang bisa digunakan dalam masalah pakaian muslimah ini?<br />Demikian pertanyaan ini kami buat sejelas-jelasnya. Besar harapan kami ustadz bersedia menjawab pertanyaan ini.<br />Jazakumullohu khoiron.<br /><br />Ummu Shofiyyah [mailto:ummu.shofi@yahoo.com]<br /><br /><br /><br /><span style="font-size:180%;">Jawab:</span><br />Bismillah. waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh<br />Yang ana yakini bahwa pakaian bermotif tidak boleh digunakan oleh wanita muslimah ketika dia keluar rumah, karena dia termasuk zinah (perhiasan), sementara Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk tidak menampakkan perhiasan kecuali kepada mahram.<br />Sebagaimana yang sudah dimaklumi bahwa para muslimah diwajibkan untuk berhijab, dan berhijab ini lebih umum maknanya daripada sekedar berjilbab atau bercadar atau menutupi seluruh anggota tubuhnya. Akan tetapi berhijab yang syar’i adalah seorang wanita menutupi seluruh tubuhnya serta perhiasannya, yang dengannya semua non mahram tidak bisa melihat sedikit pun dari tubuh dan perhiasannya.<br /><br /><span style="font-size:180%;">Sekarang masalahnya, yang mana yang termasuk perhiasan?</span><br /><span style="font-style: italic;">Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab Hirasah Al-Fadhilah pada pembahasan ‘Hijab yang bersifat khusus’</span> menyebutkan bahwa <span style="font-style: italic;">yang dimaksud dengan zinah (perhiasan) pada firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka,” (QS. An-Nur: 31) </span>adalah <span style="font-weight: bold;">semua yang dipakai berhias oleh wanita, selain dari asal penciptaannya (postur tubuhnya), atau dinamakan az-zinah al-muktasabah (hiasan yang bisa diusahakan).</span><br /><span style="font-style: italic;">Maksudnya:</span> Tubuh wanita adalah perhiasan akan tetapi tidak bisa diusahakan adanya, karena memang asal penciptaannya seperti itu.<br />Selain dari tubuhnya, yang juga diperintahkan untuk disembunyikan adalah perhiasan yang bisa diusahakan, yaitu segala sesuatu yang menarik pandangan orang selain dari anggota tubuhnya. Dan para ulama memberikan batasan dari zinah (perhiasan) adalah semua perkara yang menarik perhatian orang untuk melihatnya.<br /><br />Jika ada yang bertanya: "Bukankah pakaian luar (walaupun berwarna hitam) juga tetap dilihat oleh orang?<br />Jawab: Betul, karenanya seorang wanita dianjurkan untuk tidak sering keluar rumah agar pakaian luarnya pun tidak terlihat oleh orang lain.<br />Perlu diketahui bahwa pakaian luar asalnya termasuk perhiasan yang dilarang untuk diperlihatkan. Hanya saja berhubung terkadang wanita butuh keluar rumah karena ada keperluan maka pakaian luar pun Allah kecualikan dari hukum di atas dengan firman-Nya, “Kecuali yang nampak dari (perhiasan)nya.” Jadi pembolehan menampakkan pakaian luar termasuk hukum dharurat, karena wanita kadang diizinkan keluar sementara tidak mungkin dia keluar tanpa berpakaian.<br />Termasuk dalam ayat ini adalah ketika tanpa disengaja pakaian luarnya tersingkap sehingga terlihat pakaian dalamnya (maksudnya rumah yang ada dibalik jubah atau jilbabnya), maka ini termasuk dalam ayat, “Kecuali yang nampak darinya,” yakni yang terlihat dalam keadaan tidak sengaja, bukan disengaja.<br /><span style="font-size:180%;"><br />Kesimpulannya:</span> Kalau para ulama menghukumi pakaian luar termasuk perhiasan yang harus ditutup, sementara dia hanya diizinkan untuk dinampakkan karena idhthirar (keterpaksaan/tidak ada pilihan lain), maka bagaimana bisa seseorang menambahkan lagi hiasan (apapun motif dan coraknya) padanya yang menjadikan orang lain tambah tertarik untuk melihatnya. Tentunya perbuatan ini termasuk dari perbuatan yang terlarang karena menjadikan jilbab luarnya (yang asalnya boleh dinampakkan secara dharurat) menjadi perhiasan yang tidak boleh dinampakkan.<br /><span style="font-size:180%;"><br />Tambahan:</span><br />Melihat keterangan makna zinah (perhiasan) di atas, maka termasuk perhiasan yang harus disembunyikan oleh para wanita adalah: Tas atau dompetnya yang bisa menarik perhatian, sandal atau sepatu yang bentuk dan motifnya bisa menarik perhatian, kaus kaki atau kaus tangan yang bermotif, dan seterusnya. Wallahu Ta’ala a’lam.<br /><br /><span style="font-size:130%;">Adapun dalil-dalil yang dibawakan oleh pihak yang membolehkan jilbab/jubah bermotif, maka jawabannya sebagai berikut berdasarkan nomor dalil:</span><br /><span style="font-weight: bold;">1. Ucapan ini mengharuskan membolehkan semua pakaian yang haram boleh dipakai kalau memang pakaian itu banyak dipakai oleh orang lain.</span> Kami katakan: Kenapa tidak sekalian melepaskan jilbab, toh yang tidak berjilbab lebih banyak di negeri ini dibandingkan yang berjilbab.<br />Kalau dia berkata: Pakaian masyarakat juga tetap harus mengikuti aturan syariat.<br />Kami katakan: Inilah yang kami inginkan. Walaupun pakaian bermotif bagi wanita ini adalah hal yang tersebar di negeri ini, akan tetapi ada syariat yang melarang wanita untuk menampakkan perhiasan. Dan sudah dijelaskan bahwa pakaian bermotif termasuk dari perhiasan. Wallahul muwaffiq.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">2. Adapun hadits Ummu Khalid, maka seperti yang anti sebutkan bahwa Ummu Khalid ketika itu masih anak-anak sehingga diperbolehkan untuknya apa yang tidak diperbolehkan untuk wanita dewasa. Karenanya tidak bisa dikatakan bahwa beliau tidak melatih dan membiasakan anak kecil untuk bermaksiat karena itu bukanlah maksiat bagi dirinya.</span><br />Apakah dikatakan Nabi -alaihishshalatu wassalam- membiasakan anak kecil berbuat maksiat atau atau dikatakan beliau mengundurkan penjelasan ketika dibutuhkan, tatkala beliau membiarkan dua anak kecil memukul rebana sambil bernyanyi di hari id?<br />Apakah dikatakan Nabi -alaihishshalatu wassalam- membiasakan anak kecil berbuat maksiat atau atau dikatakan beliau mengundurkan penjelasan ketika dibutuhkan, tatkala beliau mengizinkan Aisyah bermain boneka berbentuk makhluk hidup?<br />Hasya wa kalla, sekali-kali tidak.<br />Jika dia mengatakan: Pembolehan anak kecil menyanyi di hari id dan bermain boneka ada dalil yang membolehkannya. Maka kami katakan: Memakai pakaian bermotif bagi anak kecilpun ada dalil yang membolehkan. Karenanya masalahnya jangan dicampuradukkan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">3.Haditsnya diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Al-Hajj, Bab: Para wanita tawaf dengan para lelaki, no. hadits 1618 (cet. Dar Al-Hadits), dari Atha’ dia berkata:</span><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" ><span style="color: rgb(255, 0, 0);">وَكُنْتُ آتِي عَائِشَةَ أَنَا وَعُبَيْدُ بْنُ عُمَيْرٍ وَهِيَ مُجَاوِرَةٌ فِي جَوْفِ ثَبِيرٍ قُلْتُ وَمَا حِجَابُهَا قَالَ هِيَ فِي قُبَّةٍ تُرْكِيَّةٍ لَهَا غِشَاءٌ وَمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَهَا غَيْرُ ذَلِكَ وَرَأَيْتُ عَلَيْهَا دِرْعًا مُوَرَّدًا</span></span><br /><span style="font-style: italic;">“Dan aku bersama ‘Ubaid bin ‘Umair pernah menemui ‘Aisyah radliallahu ‘anha yang sedang berada disisi gunung Tsabir. Aku (Ibnu Juraij) bertanya: “Hijabnya apa? Ia menjawab: “Dia berada di dalam sebuah tenda kecil. Tenda itu memiliki penutup dan tidak ada pembatas antara kami dan beliau selain penutup itu, dan aku melihat beliau mengenakan gamis berwarna mawar”.</span><br /><br />Sudah dimaklumi bersama bahwa seorang salafi tidaklah memahami sebuah hadits hanya berdasarkan terjemahannya, akan tetapi dia diharuskan untuk merujuk kepada syarah para ulama terhadap hadits tersebut.<br /><br />Dan kelihatannya kesalahpahaman mereka memahami hadits ini untuk membolehkan pakaian bermotif juga lahir karena mereka hanya berlandaskan pada terjemahan biasa dan tidak merujuk kepada ucapan para ulama terhadap hadits ini.<br />Kami katakan: Tidak ada sedikit pun sisi pendalilan dalam kisah bagi yang membolehkan pakaian yang bermitif. Ini bisa ditinjau dari beberapa sisi:<br />1. Makna kalimat dir’an muwarradan dalam kisah di atas bukanlah jubah bermotif mawar sebagaimana yang diterjemahkan oleh sebagian penerjemah. Akan tetapi maknanya sebagaimana yang Al-Hafizh Ibnu Hajar terangkan, “Warnanya warna mawar,” yakni berwarna merah.<br />Karenanya terjemahan yang anti sebutkan bahwa: [Ummul Mukminin 'Aisyah rodhiyallahu 'anha pernah mengenakan pakaian berwarna merah dengan "corak mawar" ketika sedang melakukan ihrom di Makkah] adalah tidak tepat. Lagi pula kisah ini tidak terjadi di Makkah akan tetapi terjadi di bukit dekat Muzdalifah.<br /><br />2. Al-Hafizh menyebutkan lafazh ucapan Atha’ dalam riwayat Abdurrazzaq, “Pakaian yang berwarna, dan ketika itu saya masih kecil.” Al-Hafizh berkata, “Maka Atha’ menjelaskan sebab dia bisa melihat Aisyah,” yakni: Atha’ bisa melihat pakaian Aisyah dan Aisyah mengizinkan dia melihatnya karena Atha` waktu itu masih kecil. Dan tidak mengapa seorang wanita menampakkan perhiasannya kepada anak kecil. Itupun kita katakan Aisyah sengaja menampakkannya, akan tetapi yang Nampak beliau tidak sengaja menampakkannya, dengan dalil adanya hijab di antara mereka.<br /><br />3. Al-Hafizh juga menambahkan, “Ada kemungkinan dia tidak sengaja melihat baju yang beliau kenakan.” Dan ketidaksengajaan tidak boleh dijadikan dalil pembolehan sesuatu yang dikerjakan dengan sengaja.<br />(Fathul Bari: 3/545, cet. Dar Al-Hadits)<br /><br />4. Bagaimana bisa ucapan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin ini dijadikan pendukung bagi yang membolehkan wanita memakai pakaian bermotif, sementara ucapan beliau tegas sekali melarangnya. Beliau mengatakan, “Apabila kita terapkan kaidah ini untuk masalah yang ditanyakan, maka kami mengatakan bahwa hukum asal pakaian itu dibolehkan, akan tetapi apabila terdapat hiasan- hiasan bordir itu menarik perhatian bagi yang melihatnya, maka kami melarangnya bukan karena pakaian itu haram, tetapi karena pakaian itu menimbulkan fitnah.”<br /><br />5. Kami tidak tahu fatwa Syaikh Ali Hasan tersebut, tapi kalau memang beliau mengataka bahwa batasan perhiasan adalah tergantung ‘urf masing-masing daerah. Maka tidak ada masalah, kita katakan: Renda atau corak pada bordir dan semacamnya menurut urf orang Indonesia adalah hiasan. Silakan tanya kepada siapa saja yang ingin mengenakan/menambahkan bordiran pada pakaiannya, apa tujuannya? Kira-kira apa tanggapan para wanita awam yang punya bordiran/motif pada pakaiannya tatkala dia disuruh untuk menghilangkan/membuang bordiran/motif itu?<br />Jawabannya tentu: Saya pasang itu untuk memperindah pakaian, dan saya tidak mau menghilangkannya karena akan memperjelek pakaian atau akan membuatnya kurang menarik.<br />Bukankah sesuatu yang indah dan menarik perhatian pada wanita termasuk zinah (perhiasan) syar’i yang harus disembunyikan???<br /><br />6. Pada kitab Shahih Fiqhus Sunnah cet. Al-Maktabah At-Taufiqiah, pembahasan ini terdapat pada jilid 3 hal. 33-34.<br />Di sini Abu Malik Kamal -jazahullahu khairan- hanya menyebutkan masalah bolehkah wanita memakai pakaian selain warna hitam?<br />Itupun di akhir pembahasan beliau menyebutkan bahwa yang dibolehkan hanya yang satu warna polos. Adapun yang terdiri dari dua warna atau lebih dalam satu kain maka itu termasuk pakaian yang dilarang karena akan membentuk suatu motif.<br />Apa yang beliau sebutkan ini sejalan dengan nukilan yang anti sebutkan dari Amr bin Abdil Mun’im Salim, “Hendaklah pakaian tersebut tidak bercorak (bermotif) atau bergambar atau berwarna warni lebih dari satu warna dan dibordir. Semua itu termasuk perhiasan yang tidak boleh ditampakkan oleh kaum wanita di hadapan lelaki yang bukan mahromnya.”<br />Dan kami sependapat dengan mereka berdua di atas, berdasarkan dalil-dalil yang mereka bawakan.<br />Jadi penulis tidak menyinggung masalah pakaian bermotif atau berenda dan semacamnya. Tapi kelaziman dari definisi zinah (perhiasan) yang dia sebutkan, adalah dia harus menggolongkan renda/bordiran termasuk zinah yang harus untuk ditutup. Karena dia berkata ketika menafsirkan ayat 31 dari surah An-Nur, “Perhiasan di sini secara umum mencakup pakaian luar jika pakaian luar itu dihiasai dan menarik para lelaki untuk melihatnya.”<br />Bukankah ini kenyataan yang terjadi pada mereka yang memakai pakaian bermotif/berenda? Mata lelaki (yang ngaji maupun yang tidak) bisa tertarik untuk melihatnya -kecuali yang dirahmati oleh Rabbnya-.<br />Kemudian di akhir pembahasan beliau (Abu Malik) menyebutkan, “Apa yang telah kami bahas (berupa pembolehan memakai pakaian berwarna bagi wanita, pent.) tidak menghalangi untuk kita mengatakan bahwa yang pakaian yang paling utama dan lebih menutupi tubuh bagi wanita adalah yang berwarna hitam.”<br />Maka wahai muslimah yang mengharapkan keberuntungan dan pahala yang besar, apa yang menghalangi kalian untuk mengamalkan yang paling utama? Kenapa justru mengamalkan yang kurang utama dan meninggalkan yang lebih utama, hanya karena tidak enak dihadapan manusia??<br /><br /><br /><br />Tambahan: Masalah warna pakaian ini, walaupun pada dasarnya wanita bisa memakai pakaian berwarna (sekali lagi bukan bermotif atau bordiran), maka di zaman ini apakah ada alim yang faham kaidah saddu adz-dzariah (menutup wasilah maksiat) yang akan mengatakan: Bolah seorang wanita memakai pakaian berwarna pink?<br />Padahal pink ini sudah identik dengan keindahan dan wanita. Bukankah kalau kita menerapkan ucapan Syaikh Ali Hasan di atas, pakaian pink ini juga termasuk zinah (perhiasan) yang harus ditutup?<br />Maka demikian pula yang kami katakan pada warna-warna lainnya. Kami katakan sebagaimana apa yang Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin katakan bahwa walaupun asalnya adalah mubah tapi dia bisa dilarang untuk dipakai tatkala dia dianggap sebagai perhiasan, wallahu a’lam.<br /><br />7. Apa maksudnya ‘dengan berpakaian motif kita bisa tersamar dari pandangan’? Apa maksudnya dengan pakaian seperti itu kita bisa berbaur dengan masyarakat dan tidak tampak mencolok?<br />Kalau iya, kembali kami katakan: Kalau lebih tidak mau mencolok adalah dengan cara lepas jilbab, insya Allah tidak akan mencolok sama sekali.<br />Subhanallah, betapa anehnya pendalilan seperti ini. Bukankah Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah menegaskan bahwa pengikut beliau di akhir zaman akan dianggap asing (berbeda dari yang lainnya). Lantas kenapa engkau wahai muslimah ingin agar kamu tidak dianggap mencolok (asing) di mata manusia?<br /><br />8. Kalau maksudnya dalil shahih lagi sharih itu harus berbunyi, “Wahai wanita mukminah, janganlah kalian memakai pakaian bermotif,” atau berbunyi, “Wanita mana saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah mengenakan pakaian berenda,” dan semacamnya.<br />Maka hanya orang-orang awam atau orang bodoh yang mencari dalil shahih lagi sharih -semacam ini- dalam semua permasalahan dalam Islam.<br />Dalil yang shahih lagi sharih bagi kami adalah ayat yang melarang wanita menampakkan perhiasannya. Dalil yang shahih lagi sharih bagi kami adalah dalil yang melarang wanita melalui kaum lelaki dengan memakai apa saja yang membuatnya menarik, baik itu parfum maupun pakaian bermotif. Bahkan pakaian bermotif ini lebih parah dari parfum, karena parfum hanya bisa dinikmati oleh orang yang ada di sekitar wanita itu, sementara pakaian yang menarik pandangan bisa dinikmati dan ditonton oleh orang yang berjarak 500 meter darinya (dengan menggunakan teropong tentunya).<br /><br />Wallahu Ta’ala A’lam, wahuwa Yahdi ila sawa`is sabil.<br /><br />Sumber: http://al-atsariyyah.com/?p=1694<br />http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/muslimah/polemik-busana-muslimah-bermotif-bordirrenda/<br /></span>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-18805986022752567662010-05-12T08:24:00.000-07:002010-05-12T08:53:14.710-07:00WARNA PAKAIAN AKHWAT = HITAM/GELAP ?<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_e6IET7SR1s4/S-rJQS9CAfI/AAAAAAAAAQQ/qW5sy4clyqU/s1600/cadar22-182x300.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 182px; height: 300px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_e6IET7SR1s4/S-rJQS9CAfI/AAAAAAAAAQQ/qW5sy4clyqU/s400/cadar22-182x300.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5470405979197800946" border="0" /></a><br />Beberapa waktu lalu, hp Nokia saya berbunyi :<span style="font-style: italic;"> Tet-tet...tet-tet.</span> Setelah saya lihat, ternyata isinya adalah sebuah sebuah pesan pendek (SMS) dari seorang teman yang isinya secara ringkas kurang lebih demikian : <span style="font-weight: bold;">”Akhwat.... sudah lama ngaji...tapi jilbabnya masih berwarna”.</span> SMS ini merupakan jawaban SMS saya sebelumnya yang misinya adalah permintaan bantuan nyariin seorang akhwat (buat dijadiin istri) untuk seorang teman yang lain. Dalam benak saya, ada yang ”aneh” atas jawaban yang disampaikan teman saya tersebut. Keanehannya terletak pada kalimat : <span style="font-weight: bold;">”tapi jilbabnya masih berwarna”. </span>Ada apa dengan kalimat ini ?<span class="fullpost">Telah jamak beredar di sebagian ikhwan dan akhawat (salafiyyun pada khususnya) bahwa warna pakaian yang mesti dikenakan (bagi akhawat) adalah warna hitam atau gelap. Mereka menganggap, memakai pakaian selain warna tersebut merupakan satu tindakan tabarruj. Ini adalah pandangan yang keliru. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini saya akan sedikit menyampaikan apa yang saya ketahui t</span><span class="fullpost">erkait dengan permasalahan.</span><br /><span class="fullpost"><br />Dalam beberapa hadits atau atsar telah tetap bahwa sebagian kaum wanita shahabiyyat memakai pakaian berwarna selain warna hitam. Di antara hadi</span><span class="fullpost">ts atau atsar tersebut adalah :<br /><br /><span style="font-weight: bold;">1. Warna hijau.</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" ><span style="color: rgb(255, 0, 0);">عن عكرمة أن رفاعة طلق امرأته فتزوجها عبد الرحمن بن الزبير القرظي قالت عائشة وعليها خمار أخضر فشكت إليها وأرتها خضرة بجلدها فلما جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم والنساء ينصر بعضهن بعضا قالت عائشة ما رأيت مثل ما يلقى المؤمنات لجلدها أشد خضرة من ثوبها</span></span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Dari ’Ikrimah : Bahwasannya Rifa’ah menceraikan ist</span></span><span class="fullpost"><span style="font-weight: bold;">rinya yang kemudian dinikahi oleh ’Abdurrahman bin Az-Zubair Al-Quradhy. ’Aisyah berkata</span> : <span style="font-style: italic;">”Dia memakai khimar yang berwarna hijau, akan tetapi ia mengeluh sambil memperlihatkan warna hijau pada kulitnya”. Ketika Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tiba - dan para wanita menolong satu kepada yang lainnya - maka ’Aisyah berkata : ”Aku tidak pernah melihat kondisi yang terjadi pada wanita-wanita beriman, warna kulit mereka lebih hijau daripada bajunya (karena kelunturan)” </span><span style="color: rgb(51, 51, 255);">[HR. Al-Bukhari no. 5487].</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">2. Motif kecil-kecil warna hitam, hijau, dan kuning.</span><br /><span style="font-size:130%;"><br /><span style="color: rgb(255, 0, 0); font-weight: bold;">عن أم خالد بنت خالد أتى ا</span></span></span><span style="color: rgb(255, 0, 0); font-weight: bold;font-size:130%;" class="fullpost" >لنبي صلى الله عليه وسلم بثياب فيها خميصة سوداء صغيرة فقال من ترون أن نكسو هذه فسكت القوم فقال ائتوني بأم خالد فأتي بها تحمل فأخذ الخميصة بيده فألبسها وقال أبلي واخلقي وكان فيها علم أخضر أو أصفر</span><br /><span class="fullpost"><br /><span style="font-weight: bold;">Dari Ummu Khaalid binti Khaalid</span> : <span style="font-style: italic;">”Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam datang dengan membawa beberapa helai pakaian yang bermotif kecil warna hitam. Beliau berkata : ”Menurut kalian, siapa yang pantas untuk memakai baju ini ?”. Semua diam. Beliau kemudian berkata : ”Pa</span></span><span style="font-style: italic;" class="fullpost">nggil Ummu Khaalid”. Maka Ummu Khaalid pun datang dengan dipapah. Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam mengambil pakain tersebut dengan tanggannya dan kemudian memakaikannya kepada Ummu Khaalid seraya berkata : ”Pakailah ini sampai rusak”. Pa</span><span class="fullpost"><span style="font-style: italic;">kaian tersebut dihiasi dengan motif lain berwarna hijau atau kuning”</span> <span style="color: rgb(51, 51, 255);">[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5485].</span><br /></span><br /><span class="fullpost"><span style="font-weight: bold;">3. Warna kuning</span></span><span class="fullpost"><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="color: rgb(255, 0, 0); font-weight: bold;">ولبست عائشة رضى الله تعالى عنها الثياب المعصفرة وهي محرمة</span></span></span><br /><span class="fullpost"><br /><span style="font-style: italic;">”Aisyah radliyallaahu ’anhaa memakai pakaian yang berwarna kuning ketika sedang ihram” </span><span style="color: rgb(51, 51, 255);">[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari secara mu’allaq yang kemudian di-maushul-kan oleh Sa’iid bin Manshuur dengan sanad shahih; lihat Mukhtashar Shahih Al-Bukhari 1/457 oleh Al-Albani. Hal yang serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, Kitaabul-Libaas waz-Ziinah 8/372 dengan sanad shahih].</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">4. Warna merah</span><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="color: rgb(255, 0, 0); font-weight: bold;">عن إبراهيم وهوالنخعي أنه كان يدخل مع علقمة والأسود على أزواج النبي صلى الله عليه وسلم فيراهن في اللحف الحمر</span></span></span><br /><span class="fullpost"><br /><span style="font-style: italic;">"Dari Ibrahim (An-Nakha’i) bahwasannya ia bersama ’Alqamah dan Al-Aswad masuk menemui istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka ia melihat mereka mengenakan mantel berwarna merah”</span> <span style="color: rgb(51, 51, 255);">[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, Kitaabul-Libaas waz-Ziinah 8/371].</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Dari beberapa riwayat di atas nyatalah bagi kita bahwa <span style="font-weight: bold;">pakaian seorang wanita tidaklah harus berwarna hitam atau gelap.</span></span> Tidaklah mengandung satu konsekuensi logis bahwa seorang wanita yang telah lama ngaji ”diharuskan” untuk berpakaian warna hitam atau gelap. Akan tetapi, bukan pula saya hendak mengingkari jika ada orang yang mengatakan bahwa pakaian berwarna hitam atau gelap lebih baik dan lebih melindungi aurat seorang wanita. Bahkan, warna hitam atau gelaplah – menurut saya – warna yang paling baik di antara semua warna yang dipakai oleh wanita (jika kita hendak menghubungkan dengan kesempurnaan persyaratan pakaian seorang wanita muslimah). Warna itulah yang banyak dipakai oleh para shahabiyyat, sebagaima</span><span class="fullpost">na tergambar dalam riwayat :<br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="color: rgb(255, 0, 0); font-weight: bold;">عن أم سلمة قالت : لما نزلت يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ خرج نساء الأنصار كأن على رؤوسهن الغربان من الأكسية</span></span><br /></span><br /><span class="fullpost"><span style="font-weight: bold;">Dari Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa</span> ia berkata : “Ketika turun ayat </span><span style="font-size:130%;"><span style="color: rgb(255, 0, 0); font-weight: bold;" class="verse rtl ar" title="33:59:59">يٰأَيُّهَا النَّبِىُّ قُل لِأَزوٰجِكَ وَبَناتِكَ وَنِساءِ المُؤمِنينَ يُدنينَ عَلَيهِنَّ مِن جَلٰبيبِهِنَّ ۚ ذٰلِكَ أَدنىٰ أَن يُعرَفنَ فَلا يُؤذَينَ ۗ وَكانَ اللَّهُ غَفورًا رَحيمًا ﴿٥٩﴾</span></span><span class="fullpost"> <span style="font-style: italic;">“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”</span> <span style="color: rgb(51, 51, 255);">(QS. Al-Ahzaab : 59)</span>, <span style="font-style: italic;">maka keluarlah wanita-wanita Anshar (dari rumah mereka) dimana seakan-akan di atas kepala mereka terdapat burung gagak dari pakaian (warna hitam) yang mereka kenakan” </span><span style="color: rgb(51, 51, 255);">[HR. Abu Dawud no. 4101; shahih].</span><br /><br />Perlu pula kami sampaikan, walaupun Islam tidak mengatur warna pakaian bagi wanita, ia tetap dilarang memakai pakaian syuhrah (kemasyhuran). Seorang wanita dilarang untuk memakai pakaian (dan segala atributnya, termasuk warna) yang dengan itu ia menjadi bahan perhatian bagi masyarakat di tempat ia tinggal.<br /><br />Semoga apa yang dituliskan di atas dapat bermanfaat bagi kita semua. Hanya kepada Allah lah kita mohon perlindungan dari akhir yang buruk atas ilmu dan amal kita.<br /><br />Abul-Jauzaa’ 1429 H.<br /></span><br /><br /><span class="fullpost"><span style="font-weight: bold;">Pertanyaan :</span><br /><span style="color: rgb(255, 153, 255);font-size:130%;" ><span style="color: rgb(153, 51, 153);">Pakaian wanita muslimah, apakah harus berwarna hitam ataukah dapat berwarna selainnya ?</span><br /><br /></span><span style="font-weight: bold;">Jawab :</span><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="color: rgb(153, 51, 153);">Pakaian wanita muslimah tidaklah dibatasi berwarna hitam. Diperbolehkan baginya (wanita) untuk mengenakan pakaian dengan warna apapun sepanjang menutupi auratnya, tidak menyerupai pakaian laki-laki, tidak ketat sehingga menggambarkan bentuk tubuhnya, tidak tipis dan transparan sehingga menampakkan apa-apa yang berada di bawahnya (yaitu kulitnya - Abu Al-Jauzaa’), serta tidak menimbulkan fitnah.</span><br /></span><br /><span style="font-weight: bold;">Abdul-’aziz bin Abdillah bin Baaz</span><br /><span style="font-weight: bold;">Abdurrazzaaq ‘Afiifii</span><br /><span style="font-weight: bold;">Abdullah bin Ghudayaan</span><br /><span style="font-weight: bold;">Abdullah bin Qu’uud</span><br /><br />[Fataawaa Al-Lajnatid-Daaimah lil-Buhuutsil-’Ilmiyyah wal-Iftaa’ 1/5089 halaman 181 volume 18]<br /><br />http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/06/warna-pakaian-akhwat-hitamgelap.html</span>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-84716871857089877752010-04-02T20:04:00.000-07:002010-04-02T20:06:43.185-07:0015 Fatwa Tentang Rokok Dan Yang Berkaitan Dengannya (FATWA KE-14 & 15)<div class="note_header"><br /></div> <div class="note_content text_align_ltr direction_ltr clearfix"><div style="text-align: center;"> </div><div><div style="text-align: center;" class="photo photo_left"><div class="photo_img"><a href="http://www.facebook.com/photo.php?pid=30721490&op=1&view=all&subj=10150169462680175&aid=-1&auser=0&oid=10150169462680175&id=1084713685"><img src="http://photos-a.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc3/hs396.snc3/24070_1304803055217_1084713685_30721490_2284451_a.jpg" /></a></div></div>Pertanyaan:<br /><br />Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Apakah boleh menjual makanan-makanan yang didalamnya megandung babi atau alkohol ? sebab di Amerika banyak kaum muslimin yang memiliki toko-toko yang menjual bir, daging babi, rokok, atau bekerja padanya.<br /><br />Jawaban:<br /><br />Tidak boleh menjual apa yang diharamkan memakannya atau haram menggunakannya, dan di antaranya adalah apa yang Anda sebutkan dalam pertanyaan tadi.<br /><br />Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم, keluarga dan para sahabatnya.1<br /><br /><br />(Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertanyaan ke 20 dari Fatwa Nomor 11967)<br />----------------------<br /><br />Pertanyaan:<br /><br />Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Apakah boleh berdagang minuman keras dan daging babi, jika tidak diperjual belikan kepada orang muslim?<br /><br /><br />Jawaban:<br /><br />Tidak boleh memperdagangkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah, baik itu berupa makanan maupun yang lainnya, seperti misalnya minuman khamr dan daging babi meskipun kepada orang-orang kafir. Yang demikian itu telah ditegaskan dari Nabi صلي الله عليه وسلم, dimana beliau telah bersabda.<br /><br />" Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan nilai harganya" [Diriwayatkan oleh Ahmad I/247, 293 dan 322, Abu Dawud III/768 nomor 3488, Ad-Daraquthni III/7, Ath-Thabrani XII/155 nomor 12887, Ibnu Hibban XI/313 nomor 4938, Al-Baihaqi VI/13 dan IX/353]<br /><br />Selain itu, karena Nabi صلي الله عليه وسلم juga melaknat minuman khamr serta peminum, pembeli, pembawa, dan orang yang dibawakannya, juga memakan hasil penjualannya, dan pemerasnya.<br /><br />Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم, keluarga dan para sahabatnya.2<br /><br />(Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertnanyaan ke 21 dari Fatwa Nomor 12087, Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i)</div></div>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-85993863742104245932010-04-02T20:03:00.000-07:002010-04-02T20:04:02.927-07:0015 Fatwa Tentang Rokok Dan Yang Berkaitan Dengannya (FATWA KETIGABELAS - Membuka Bisnis Dari Modal Harta yang Haram)<div class="note_header"><br /></div> <div style="text-align: center;" class="photo photo_left"><div class="photo_img"><a href="http://www.facebook.com/photo.php?pid=30721489&op=1&view=all&subj=10150169461355175&aid=-1&auser=0&oid=10150169461355175&id=1084713685"><img src="http://photos-f.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc3/hs396.snc3/24070_1304799615131_1084713685_30721489_11943_a.jpg" /></a></div></div>Pertanyaan:<br /><br />Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Orang tua saya memiliki harta yang haram dan beliau hendak membuka bisnis buat saya dengan modal dari harta yang haram tersebut. Apakah saya boleh menyucikan bisnis saya ini dari keuntungan bisnisnya. Sedangkan saya dalam keadaan tidak sekolah kecuali hanya tamat SD, dan saya sudah tidak berminat lagi untuk belajar keterampilan. Lalu bagaimanakah hukum Islam terhadap masalah ini ?<br /><br />Jawaban:<br /><br />Pertama : Allah سبحانه و تعالى telah mensyari'atkan mu'amalah antara kaum muslimin dengan melakukan akad yang dibolehkan, misalnya akad jual beli, sewa-menyewa, salam, dan akad-akad lainnya yang disyari'atkan, karena di dalamnya terkandung kemaslahatan manusia.<br /><br />Kedua : Allah سبحانه و تعالى mengharamkan sebagian akad yang didalamnya terkandung mudharat, misalnya, akad riba dan asuransi dagang, dan beberapa praktek perdagangan yang haram, misalnya jual beli alat-alat yang bisa melengahkan (alat-alat musik), juga jual beli minuman khamr (minuman keras), ganja <b>dan rokok</b>, yang semuanya itu mengandung berbagai mudharat yang bermacam-macam.<br /><br />Oleh karena itu, seorang muslim harus menempuh jalan yang dibolehkan dalam hidup dan berusaha. Dan hendaklah dia menghindari harta benda yang haram, serta cara-cara yang dilarang. Jika Allah telah mengetahui kesungguhan niat seorang hamba dan kegigihannya untuk mengikuti syari'atNya serta berpetunjuk pada Sunnah NabiNya صلي الله عليه وسلم, niscaya Dia akan memudahkan jalan baginya serta akan melimpahkan rizki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka. Allah Ta'ala berfirman.<br /><blockquote><br />وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ<br /><br />"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya." [Ath-Thalaaq : 2-3]</blockquote><br /><br />Dan dalam sebuah hadits dari Nabi صلي الله عليه وسلم bahwa beliau pernah bersabda.<br /><blockquote><br />"Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik darinya." (Diriwayatkan oleh Ahmad V/78,79, 363 Abdullah bin Al-Mubarak di dalam kitab Az-Zuhud halaman 412 nomor 1168, Waki bin Al-Jarrah dalam kitab Az-Zuhud II/635 nomor 356. Abu Nu'aim di dalam kitab Al-Hilyah II/196. Al-Ashbahani di dalam kitab At-Targhib wa Tarhiib I/409 nomor 715. Al-Qudha'i di dalam kitab Musnad Asy-Syihaab II/178 dan 179 nomor 1135-1138, dan Al-Baihaqi V/335)</blockquote><br /><br />Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa Anda tidak boleh mendirikan sebuah usaha dengan modal dari sumber yang haram, baik itu berasal dari ayah Anda sendiri maupun orang lain.<br /><br />Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم, keluarga dan para sahabatnya.<br /><br />Abu Muhammad Herman<br /><br />(Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertnanyaan ke 1 dari Fatwa Nomor 5436, Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i)Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-13338930456097959282010-04-02T20:02:00.001-07:002010-04-02T20:02:56.541-07:0015 Fatwa Tentang Rokok Dan Yang Berkaitan Dengannya (FATWA KEDUABELAS - Membantu Orang Tua Berdagang Beberapa Hal yang Haram)<div class="note_header"><br /></div> <div class="note_content text_align_ltr direction_ltr clearfix"> <div><div class="photo photo_left"><div class="photo_img"><a href="http://www.facebook.com/photo.php?pid=30721486&op=1&view=all&subj=10150169459635175&aid=-1&auser=0&oid=10150169459635175&id=1084713685"><img src="http://photos-e.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc3/hs396.snc3/24070_1304796295048_1084713685_30721486_479524_a.jpg" /></a></div></div>Pertanyaan:<br /><br />Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Orang tua saya seorang pedagang, dan saya sering membantu menjalankan usahanya tersebut, tetapi perdagangan ini terdiri dari beberapa hal yang haram, misalnya kaset-kaset yang berisi pernyataan permusuhan kepada Allah secara terang-terangan, juga memuat kefasikan luar biasa. Selain itu, <b>juga diperjual-belikan rokok</b>. Hal-hal yang haram ini penghasilannya bisa menyamai setengah dari keuntungan toko paling minim. Dan saya juga makan dari hasil keuntungan ini dan saya juga menjualnya dengan terpaksa ketika beliau mengatakan kepada saya, "Lakukan ini dan itu". Saya berdo'a kepada Allah agar memberikan petunjuk untuk mengarahkan saya.<br /><br />Jawaban:<br /><br />Anda <b>tidak boleh bekerja sama dengan ayah anda atau orang lain untuk menjual hal-hal yang haram yang anda sebutkan di atas</b>. Hal itu didasarkan pada sabda Nabi صلي الله عليه وسلم.<br /><blockquote><br />"Sesungguhnya ketaatan itu hanya pada kebaikan saja." [Hadits Riwayat Muslim VI/421 nomor 4742 (bi Syarah Nawawi), Al-Bukhari nomor 7145 dan 7257, Abu Dawud nomor 2625]<br /><br />" Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam berbuat maksiat kepada sang Khaliq (Allah)" [Hadits Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf VI/545 nomor 33717, Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf II/383 nomor 3788]</blockquote><br /><br />Selain itu, anda juga harus memberikan nasihat kepada orang anda secara lemah lembut dan dengan cara yang baik serta menyampaikan alasan kepadanya dengan berdasar pada apa yang telah kami sebutkan.<br /><br />Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم, keluarga dan para sahabatnya.<br /><br />Abu Muhammad Herman<br /><br />(Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertnanyaan ke 2 dari Fatwa Nomor 6125, Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i)</div></div>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-56523123524850306772010-04-02T19:55:00.000-07:002010-04-02T19:56:55.294-07:0015 Fatwa Tentang Rokok Dan Yang Berkaitan Dengannya (FATWA KESEBELAS - Hukum Menjual Sesuatu yang Haram)<div class="note_header"><br /></div> <div class="note_content text_align_ltr direction_ltr clearfix"><div style="text-align: center;"> </div><div><div style="text-align: center;" class="photo photo_left"><div class="photo_img"><a href="http://www.facebook.com/photo.php?pid=30721485&op=1&view=all&subj=10150169458510175&aid=-1&auser=0&oid=10150169458510175&id=1084713685"><img src="http://photos-g.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc3/hs396.snc3/24070_1304794735009_1084713685_30721485_7657781_a.jpg" /></a></div></div>Pertanyaan:<br /><br />Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Bagaimana hukum Islam tentang orang yang menjual rokok dengan cara memberikan discount dari pihak perusahaan rokok ?<br /><br />Jawaban:<br /><br /><b>Merokok itu haram, menanam tembakaunya pun haram, dan memperdagangkannya pun haram</b>. Yang demikian itu karena ia mengandung mudharat yang sangat besar. Telah diriwayatkan di dalam sebuah hadits:<br /><blockquote><br />لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ<br /><br />"Tidak boleh memudharatkan (diri sendiri) dan tidak memberi mudaharat (kepada orang lain)." (Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah nomor 2340 dan 2341. Imam Malik dalam Al-Muwaththa II/218, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak II/66 nomor 2345. Lihat Silsilah Al-Haadiits Ash-Shahiihah nomor 250 dan Irwaa-ul Ghaliil nomo 896, pent.) </blockquote><br /><br />Selain itu, karena yang demikian itu termasuk suatu yang kotor. Dalam menyifati Nabi صلي الله عليه وسلم, Allah Ta'ala telah berfirman:<br /><blockquote><br />وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ<br /><br />"Dan Nabi menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk" [Al-A'raaf : 157]</blockquote><br /><br />Dia juga berfirman:<br /><blockquote><br />يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ<br /><br />"Mereka menanyakan kepadamu, 'Apakah yang dihalalkan bagi mereka', Katakanlah, 'Dihalalkan bagimu yang baik-baik" [Al-Maidah : 4]</blockquote><br /><br />Abu Muhammad Herman<br /><br />(Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertanyaan ke 1-2 dari Fatwa Nomor 4947, Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i)</div></div>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-73215705083830207542010-04-02T19:54:00.000-07:002010-04-02T19:55:26.090-07:0015 Fatwa Tentang Rokok & Yang Berkaitan Dengannya (FATWA KESEPULUH - Hukum Pedagang yang Tidak Merokok Tapi Menjual Rokok)<div class="note_header"><br /></div> <div style="text-align: center;" class="photo photo_left"><div class="photo_img"><a href="http://www.facebook.com/photo.php?pid=30721484&op=1&view=all&subj=10150169457455175&aid=-1&auser=0&oid=10150169457455175&id=1084713685"><img src="http://photos-a.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash1/hs436.ash1/24070_1304791414926_1084713685_30721484_2004052_a.jpg" /></a></div></div>Pertanyaan:<br /><br />Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Saya seorang pedagang yang juga menjual rokok dan cerutu dalam dagangan saya. Apakah saya boleh melakukan hal tersebut ? Perlu diketahui bahwa saya tidak menghisapnya. Selain itu, saya juga memiliki pesawat televisi yang banyak menarik anak-anak muda yang ingin menyaksikan pertandingan sepak bola dan film seri sehingga sebagian mereka tidak mengerjakan shalat. Dengan kondisi seperti itu, apakah saya boleh memiliki pesawat televisi ? Sebagaimana posisi saya berada di samping pasar, sedang jarak antara rumah saya dengan masjid hanya sekitar 200 meter, dan saya mengerjakan shalat di toko saya dan meninggalkan shalat jama'ah. Lalu bagaimana hukum dari apa yang saya perbuat tersebut ?<br /><br />Jawaban:<br /><br />Rokok merupakan barang yang sangat buruk lagi berbahaya, yang tidak boleh dihisap dan diperjual-belikan. Sebab <b>jika Allah mengharamkan sesuatu, pasti Dia juga mengharamkan hasil penjualannya</b>. Dan yang wajib anda lakukan adalah bertaubat dari menjualnya serta hanya memfokuskan diri menjual barang-barang yang dibolehkan saja, yang di dalamnya mengandung kebaikan dan berkah. Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik darinya.<br /><br />Anda juga tidak boleh membiarkan anak-anak muda berkumpul di tempat anda dan meninggalkan shalat. Dan yang wajib bagi anda lakukan adalah menutup tempat tersebut, dan kemudian anda dan juga mereka berangkat ke masjid. Yang demikian itu didasarkan pada firman Allah Ta'ala.<br /><blockquote><br />"Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang melakukan hal yang demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi" [Al-Munafiquun : 9]</blockquote><br /><br />Dan juga didasarkan pada sabda Nabi صلي الله عليه وسلم<br /><blockquote><br />مَنْ سَمِعَ اَلنِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ<br /><br />"Barangsiapa mendengar seruan adzan lalu dia tidak memenuhinya, maka tidak ada shalat baginya kecuali yang berhalangan." (Hadits Shahih Riwayat Ibnu Majah nomor 743, Ibnu Hibban V/415 nomor 2064, Al-Hakim I/372-373 nomor 893-895. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud III/66 nomor 560 dan At-Ta'liqaatul Hisan 'Alaa Shahih Ibni Hibban III/2061 nomor 2061)</blockquote><br /><br />Ditanyakan kepada Ibnu Abbas رضي الله عنه : "apakah halangan tersebut ? "Dia menjawab: "Rasa takut atau sakit".<br /><br />Juga didasarkan pada apa yang ditegaskan dari Nabi صلي الله عليه وسلم pada saat beliau ditanya oleh seorang buta yang bertanya : "Wahai Rasulullah, tidak ada seorangpun yang menuntunku ke masjid, apakah saya masih memperoleh keringanan untuk shalat di rumahku ?" Nabi صلي الله عليه وسلم pun bertanya kepadanya: "Apakah kamu mendengar seruan shalat (azan) ?": "Ya" jawabnya. Beliau berkata : "Kalau begitu, penuhilah". Diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab shahihnya.<br /><br />Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم, keluarga dan para sahabatnya.<br /><br />Abu Muhammad Herman<br /><br />(Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertaanyaan ke 1 dari Fatwa Nomor 18279, Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i)Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-22950731475569760722010-04-02T19:53:00.000-07:002010-04-02T19:54:16.968-07:0015 Fatwa Tentang Rokok & Yang Berkaitan Dengannya (FATWA KESEMBILAN - Jual Beli Rokok & Bersedekah Dari Hasil Penjualannya)<div class="note_header"><br /></div> <div class="note_content text_align_ltr direction_ltr clearfix"> <div><div class="photo photo_left"><div class="photo_img"><a href="http://www.facebook.com/photo.php?pid=30721483&op=1&view=all&subj=10150169456370175&aid=-1&auser=0&oid=10150169456370175&id=1084713685"><img src="http://photos-d.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash1/hs436.ash1/24070_1304789054867_1084713685_30721483_4638946_a.jpg" /></a></div></div>Pertanyaan:<br /><br />Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Apakah hukumnya memperjual belikan rokok, cerutu dan yang semisalnya. Dan <b>apakah boleh bersedekah, menunaikan ibadah haji, dan berbuat kebaikan dari hasil dan keuntungan penjualannya ?</b><br /><br />Jawaban:<br /><br />Tidak dihalalkan memperjual-belikan rokok, cerutu dan semua yang haram, karena semuanya itu termasuk hal-hal yang kotor, dan selain mengandung mudharat fisik, spiritual dan material. Dan jika seorang hendak bersedekah, menunaikan haji atau berinfak di jalan kebajikan, maka dia harus memilih hartanya yang baik untuk disedekahkan atau digunakan untuk menunaikan ibadah haji atau dinfakkan di jalan kebajjikan. Yang demikian itu didasarkan pada keumuman firman Allah Ta'ala:<br /><blockquote><br />يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ<br /><br />"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Mahakaya lagi Mahaterpuji" [Al-Baqarah : 267]</blockquote><br /><br />Demikian juga dengan sabda Rasulullah صلي الله عليه وسلم berikut ini :<br /><blockquote><br />إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَيَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبٍا<br /><br />"Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak mau menerima kecuali yang baik-baik saja" [Diriwayatkan oleh Ahmad II/328, Muslim II/703 nomor 1015, At-Tirmidzi V/220 nomor 2989, Ad-Darimi II/300, Abdurrazaq V/19 nomor 8839, Al-Baihaqi III/346]</blockquote><br /><br />Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم, keluarga dan para sahabatnya.<br /><br />Abu Muhammad Herman<br /><br />(Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertaanyaan ke 1 dari Fatwa Nomor 18279, Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i)</div></div>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-83188426839034954582010-04-02T19:52:00.000-07:002010-04-02T19:53:01.311-07:0015 Fatwa Tentang Rokok & Yang Berkaitan Dengannya (FATWA KEDELAPAN - Sebab-Sebab Terjadinya Talak)<div class="note_header"><br /></div> <div class="note_content text_align_ltr direction_ltr clearfix"><div style="text-align: center;"> </div><div><div style="text-align: center;" class="photo photo_left"><div class="photo_img"><a href="http://www.facebook.com/photo.php?pid=30721482&op=1&view=all&subj=10150169455500175&aid=-1&auser=0&oid=10150169455500175&id=1084713685"><img src="http://photos-f.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash1/hs436.ash1/24070_1304787454827_1084713685_30721482_1976323_a.jpg" /></a></div></div>Pertanyaan:<br /><br />Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Menurut pandangan Syaikh apa saja yang menjadi penyebab terjadinya talak?<br /><br />Jawaban:<br /><br />Yang menjadi penyebab terjadinya talak banyak sekali antara lain : Tidak adanya kecocokan antara suami isteri, masing-masing tidak saling mencintai, jeleknya akhlak isteri yang tidak mau mentaati suaminya dalam masalah kebaikan, jeleknya akhlak suami yang suka menganiaya dan memperlakukan isteri secara tidak adil, suami tidak mampu menunaikan kewajibnnya begitupula sang isteri, serta akibat dari kemaksiatan yang dilakukan oleh suami atau isteri atau kedua-duanya sehingga mengakibatkan terjadinya talak. <b>Perceraian juga bisa terjadi karena di antara para suami ada yang pecandu narkoba atau rokok</b>, begitu juga sebaliknya terkadang seorang isteri mempunyai kebiasaan seperti itu, dan terkadang perceraian terjadi akibat hubungan yang tidak harmonis antara isteri dengan orang tua suami atau kurang bijaksana dalam mengatasi dan mensikapi permasalahan tersebut dan juga diantara penyebab perceraian adalah penampilan isteri yang kurang menawan, tidak mau berdandan, berhias dan kurang ceria di hadapan suaminya.<br /><br />Abu Muhammad Herman<br /><br />(Kitab Fatawa Dakwah wa Fatawa Syaikh bin Baz, 2/237, Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah lil Mar’atil Muslimah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Zaenal Abidin Syamsudin Lc, Penerbit Darul Haq</div></div>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6491252717516734400.post-32517084049893161132010-04-02T19:51:00.001-07:002010-04-02T19:51:35.314-07:0015 Fatwa Tentang Rokok & Yang Berkaitan Dengannya (FATWA KETUJUH - Hukum Memakan Bawang Kemudian Datang Ke Masjid)<div class="note_header"><br /></div> <div class="note_content text_align_ltr direction_ltr clearfix"><div style="text-align: center;"> </div><div><div style="text-align: center;" class="photo photo_left"><div class="photo_img"><a href="http://www.facebook.com/photo.php?pid=30721481&op=1&view=all&subj=10150169454095175&aid=-1&auser=0&oid=10150169454095175&id=1084713685"><img src="http://photos-h.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash1/hs436.ash1/24070_1304784854762_1084713685_30721481_1820298_a.jpg" /></a></div></div>Pertanyaan:<br /><br />Telah diriwayatkan dalam hadits shahih, larangan terhadap orang yang makan bawang merah, barang putih, atau kuras (bawang daun) lalu pergi ke masjid. Apakah dapat ditambahkan pada hal-hal tersebut sesuatu yang mempunyai bau busuk dan haram seperti rokok? Dan apakah hal itu berarti bahwa orang yang telah makan hal-hal tersebut diberi kelonggaran untuk meninggalkan shalat berjamaah sehingga ia tidak berdosa bila meninggalkannya?<br /><br />Jawaban:<br /><br />Telah diriwayatkan dari Rasulullah صلي الله عليه وسلم, bahwa beliau bersabda:<br /><blockquote><br />مَنْ أَكَلَ ثَوْمًا أَوْ بَصَلاً فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا وَلْيُصَلِّ فِيْ بَيْتِهِ<br /><br />"Barangsiapa makan bawang putih atau bawang merah, maka <b>janganlah ia mendekati masjid kami dan hendaklah ia shalat di rumahnya</b>." (Al-Bukhari, kitab al-Adzan (855), Muslim, kitab al-Masajid (73, 564).</blockquote><br /><br />Dan telah diriwayatkan pula dari beliau صلي الله عليه وسلم bahwasanya beliau bersabda:<br /><blockquote><br />إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُوا آدَمَ<br /><br />"Sesungguhnya <b>para malaikat itu juga terganggu dengan apa-apa yang mengganggu manusia</b>." (Al-Bukhari, kitab al-Adzan (854), Muslim, kitab al-Masajid (564)).</blockquote><br /><br />Semua yang beraroma <b>busuk</b>, hukumnya sama dengan hukum bawang putih dan bawang merah, seperti mengisap rokok, juga orang yang ketiaknya bau atau lainnya, yang mengganggu orang lain yang di dekatnya, maka ia dimakruhkan untuk shalat berjamaah, sampai ia menggunakan sesuatu yang dapat menghilangkan bau tersebut.<br /><br />Yang wajib baginya ialah melakukan hal itu (menghilangkan baunya) semaksimal mungkin, agar ia dapat melakukan shalat berjamaah sesuai yang diwajibkan oleh Allah.<br /><br /><b>Adapun merokok, maka hal itu haram secara mutlak</b>, wajib untuk ditinggalkan setiap saat, karena bisa membahayakan terhadap agama, badan dan harta. Semoga Allah memperbaiki kondisi kaum Muslimin dan memberi petunjuk kepada mereka untuk kebaikan.<br /><br />Abu Muhammad Herman<br /><br />(Fatawa Muhimmah Tata'allaqu Bish Shalah, hal. 61-62, Syaikh Ibnu Baz, Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq)</div></div>Ummu Zahratun Nisa Lathifahhttp://www.blogger.com/profile/09009440208068497726noreply@blogger.com0