Kewajiban Terhadap Orang Yang Menyelisihi Kita Dalam Suatu MasalahSyaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily mengatakan :
1. Kita tidak boleh berbicara dalam masalah ini kecuali dengan ilmu, bukan dengan dzon (persangkaaan)
2. Tatsabut dan meneliti, karena bisa jadi dia yang benar dan kita yang salah, maka kita harus meneliti ucapan yang kita anggap salah ini.
3. Kembali kepada nash-nash (Al-Quran dan Sunnah) serta pemahaman generasi sahabat, dan jika ada problem pada kita, kembalilah kepada ulama.
4. Jika kita telah yakin bahwa dialah yang menyelisihi, maka wajib untuk menasehatinya dengan mengatakan: Yaa Akhi. Sesungguhnya Anda tidak menginginkan kecuali kebaikan, tapi Anda salah dalam masalah ini, dan yang benar adalah apa yang dikuatkan oleh nash-nash yang mengatakan begini
Adapun langkah-langkah dalam menasehati bukan hanya satu cara saja, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia mengubah dengan tangannya , jika tak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan hatinya..Jadi Kewajiban Kita Adalah :
1. Mengingkari kesalahan dalam hati. Setiap yang kita lihat bersalah harus kita ingkari dengan hati kita, serta tidak suka kesalahan tersebut ada pada kaum muslimin, ini adalah kewajiban setiap muslim
2. Setelah itu kita melihat, apakah kita ini termasuk orang yang mampu dalam mengingkari dengan lisan atau tidak..? karena manusia itu bukan hanya satu derajat, ada ulama-ulama besar yang diterima perkataanya oleh manusia, apabila para ulama itu berbicara merekapun mendengarnya sehingga hilanglah perselisihan, ada pula para penuntut ilmu pemula yang apabila mereka yang berbicara bisa jadi malah menimbulkan fitnah pada manusia, maka lihat keadaan kita. Saya (Syaikh Ibrahim) memandang, apabila terjadi perselisihan pada suatu masyarakat, hendaklah melihat pada ahli ilmu yang diterima perkataannya di masyarakat itu, kemudian diminta untuk menasehati (mengingkari), adakalanya kedudukan kita mengharuskan kita untuk tidak mengingkari secara langsung, tapi hendaknya kita datangi dulu seorang ahli ilmu yang diterima perkataanya, kita katakan pada dia: Fulan telah berbuat begini dan begitu, sebaiknya Anda menasehatinya dan menerangkan pada dia (al-haq), mudah-mudahan Allah memberi petunjuk pada dia. Inilah wujud pengingkaran dengan lisan karena mengingkari itu tidak harus secara langsung.
3. Kemudian tingkatan ketiga yaitu mengingkari dengan tangan (kekuatan). Tingkatan ini adalah hak orang yang punya kekuasaan, bukan cuma pemerintah, seorang pemimpin negara dapat mengingkari dengan kekuatannya, seorang ulama dapat mengingkari murid-muridnya, seorang ayah dapat mengingkari orang yang ada di rumahnya, demikianlah setiap orang yang mempunyai kekuasaan mengingkari dan mengubah sesuai dengan batas kekuasaannya, selama tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dengan pengingkaran itu.
Adapun jika kemungkaran itu bukan dalam batas kekuasaan kita, seperti kemungkaran yang ada pada suatu masyarakat, sedangkan kita tidak mempunyai kekuasaan, maka tidak boleh kita mengingkari dengan kekuatan karena hanya akan menimbulkan fitnah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban terhadap yang dipimpinnya, maka apakah kemungkaran itu ada pada orang yang berada dibawah kekuasaan kita !? Kita tidak dibebani untuk meningkari semua orang, tapi kita melaporkannya pada mereka yang bertanggung jawab atau para ulama, atau hakim yang melaksanakan kewajiban ini, adapun kewajiban kita adalah mengingkari sesuai dengan batas kekuasaan kita, kamu di rumah dapat menginkari anak-anak dan istri, juga keluarga kamu, demikian pula saudara-saudara kamu jika mereka menerima dan tidak menimbulkan kemungkaran-. Ini adalah macam dari pengingkaran dengan tangan (kekuatan) tapi sesuai dengan kemaslahatan jika tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.
Kaidah dalam mengingkari adalah mengubah kemungkaran selama pengingkaran itu tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, jika menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, maka tidak boleh kita mengingkarinya, karena syariat bertujuan untuk mewujudkan kebaikan dan menghilangkan keburukan. Jika tidak mendatangkan kebaikan atau mencegah keburukan (kemungkaran), maka syariat mendahulukan maslahat yang lebih besar (untuk dilakukan) dan mafsadah yang lebih besar (untuk dijauhi).
Hujjah itu tegak apabila seorang yang bersalah mengetahui kesalahan dalam suatu masalah dan tahu sebesar apa kesalahannya. Artinya dia tahu bahwa dia salah dan tahu sebesar apa kesalahan itu dengan dalil-dalilnya. Jika orang tersebut mengetahui kesalahannya maka telah tegak pada dia hujjah, contohnya adalah orang yang meninggalkan shalat, jika orang yang meninggalkan shalat ini belum tahu hukumnya, maka belum tegak hujjah itu pada dia. Lantas jika kita terangkan pada dia dalil-dalil dan hukumnya, maka hujjah telah tegak pada dia.
Tapi terkadang orang tersebut hanya memahami sebagian hujjah, seperti dia tahu bahwa meninggalkan shalat itu haram hukumnya dan tahu bahwa itu maksiat, tapi dia tidak tahu kadar maksiat itu sehingga tidak mengira bahwa meninggalkan shalat karena meremehkan itu menjadikan pelakunya kafir misalnya-, maka orang semacam ini harus diberitahu bahwa dia itu salah, yaitu bahwa meninggalkan shalat itu kekufuran, dan dijelaskan kepadanya kadar kesalahan itu, inilah proses-proses yang harus dilalui. Dan hal ini tidak diketahui kecuali dengan dalil-dalil, yaitu bahwa orang yang bersalah memahami nash dan dalil yang menunjukkan kesalahan dia, maka jika dia telah faham, telah tegaklah hujjah pada dia, adapun jika dia mempunyai syubhat (kesamaran) atau ada penghalang tegaknya hujjah pada dia, maka tidak bias kita katakan bahwa hujjah telah ditegakkan pada dia.
Penilaian tentang tegak atau tidaknya hujjah atas seseorang itu dikembalikan kepada ulama besar, dengan merekalah hujjah bisa tegak. Maka jika ulama tadi mendebat orang yang menyimpang dan menjelaskan pada dia kebenaran, pada waktu itulah kita memperkirakan apakah dia faham atau tidak. Tidak disyaratkan orang yang menyimpang itu mengakui bahwa hujjah telah tegak pada dia, tapi kapan saja kita tahu bahwa fulan telah tahu kebenaran dan jelas pada dia dalilnya, maka bisa kita katakan bahwa hujjah telah tegak pada dia. Hujjah tidak bisa ditegakkan oleh setiap orang, tapi ulamalah yang menegakkan hujjah, hujjah tidak bisa tegak dengan perkataan seseorang: Ketahuliah bahwa meninggalkan shalat adalah kufur, jika kamu terus tidak mau shalat, maka kamu kafir. Hujjah bisa tegak dengan menerangkan pada dia dalil-dalil dan menjawab syubhat-syubhat dia serta menghilangkan syubhat tersebut dan menghapuskan ketidaktahuan serta kejahilan yang ada pada dia sampai kita yakin bahwa orang yang menyimpang itu telah faham tapi terus melakukan kesalahannya karena menolak kebenaran dan sombong, pada waktu itulah kita dapat menghukuminya.
Sebagian orang ada yang hujjah itu tidak bisa tegak dengannya, seperti orang jahil atau orang yang tidak bisa menegakkan hujjah dengan baik, misalnya; tidak bisa menjelaskan dalil dengan baik atau tidak berlemah lembut dalam dakwahnya, karena orang yang keras dalam dakwahnya tidak bias tegak hujjah dengannya, Allah berfirman kepada Nabi Musa dan Harun: Pergilah kalian berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut. (Thahaa: 43-44) Padahal Allah tahu bahwa Firaun akan mati dalam keadaan kafir, tapi Allah tetap memerintahkan untuk berkata dengan lemah lembut padanya, karena hujjah tak akan tegak kecuali dengan ar-rifqu dan al-liin (lemah lembut), adapun tanfir (cara yang membuat orang lari) tidak akan bisa hujjah itu tegak dengannya.
Kemudian hujjah itu tidak bisa tegak kecuali dengan kesabaran dan penjelasan terhadap orang yang bersalah.
Juga seorang alim yang menegakkan hujjah haruslah dipercayai keilmuannya oleh orang yang ditegakkan padanya hujjah, adapun jika penegak hujjah tidak dipercaya olehnya, maka terkadang tidak membuahkan hasil.
Tidak ada suatu masalahpun yang dapat kita katakan: Bahwa penegakkan hujjah tidak disyaratkan di dalamnya (dalam masalah itu). Apabila orang yang bersalah itu tidak tahu hukumnya, maka Allah akan memberikan udzur padanya, ketika dia datang kepada Rabbnya di hari kiamat dan mengatakan: Saya jahil tentang masalah ini, dan Allah tahu kejujuran perkataannya, maka Allah memberikan udzur kepadanya. Walaupun sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa ada hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh (yang tidak-bisa-tidak pasti diketahui oleh semua orang) tapi ini menurut perkiraan kita, karena pada dasarnya hal-hal yang seperti itu kebanyakan tidak dilanggar kecuali oleh orang yang sombong atau keras kepala, tapi pada hakikatnya kalau kita katakan bahwa ini adalah masalah darurat yang harus diketahui dalam agama tapi ternyata si Fulan jahil terhadap hal ini, maka tidak bisa kita hukumi dengan kekafiran, karena Allah memberikan udzur dengan kejahilannya itu, firman Allah taala: Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya (Al-Baqarah: 286)
Dan ketidakfahaman dia diluar kemampuannya, dan manusia tidak sama (tidak satu tingkatan) dalam hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh. Hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh ini bagi para ulama berbeda dengan hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh bagi para penuntut ilmu, dan hal-hal ini berbeda antara penuntut ilmu dan orang awwam, negara yang tersebar di dalamnya sunnah dan ilmu berbeda dengan negara yang jauh dari sunnah dan ilmu.
Kaidah dalam hal ini adalah bahwa bagaimanapun kesalahan itu harus kita minta penjelasan. Ketika Muadz radhiallaahuanhu datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kemudian sujud padanya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Apa ini yaa Muadz?, padahal Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah mengutusnya untuk mengajarkan ilmu dan agama dan beliaupun seorang sahabat yang faqih, tapi ternyata hukum masalah ini tidak beliau ketahui, beliau melakukan hal itu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam karena takwil (karena beliau melihat ahli kitab bersujud pada rahib mereka, Beliaupun berpandangan bahwa kaum muslimin lebih berhak untuk bersujud kepada Nabinya) . Demikian pula Hatib radhiallaahuanhu, tersembunyi dari beliau masalah itu, padahal hukumnya jelas, sebagaimana dalam kisahnya (ketika Rasulullah menyiapkan pasukan besar untuk fathu Mekah, Hatib mengirimkan surat memberitahukan salah seorang kerabatnya yang ada di Mekah, melalui seorang wanita yang kemudian Allah beritahukan dengan wahyu-Nya, kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun memaafkan beliau (lihat Shahih Bukhari 3/1095 no. 2845, Shahih Muslim 4/1941 no.2394 –pent)
Kerena syubhat itu menghalangi seseorang dari al-haq, walaupun itu seorang ulama, maka harus kita minta penjelasan sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukannya, kita katakan: Apa yang membuat anda berbuat demikian.?? Jika ternyata alasannya bisa diterima ketika itulah kita terangkan pada dia ilmu dan menjawab syubhatnya dan tidak boleh kita menghukumi dia hanya karena kesalahan.
Sumber :
Risalah ini disusun Oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen (Mhs Universitas Islam Madinah) dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk (Mhs Universitas Islam Madinah)
www.almanhaj.or.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar