Fadliilatusy-Syaikh Shaalih bin Fauzaan hafidhahullah pernah ditanya tentang hukum memakai lensa mata berwarna untuk mempercantik diri (hiasan) dan mengikuti gaya, dimana harga lensa tersebut tergolong mahal. Maka beliau menjawab sebagai berikut :
لبس العدسات من أجل الحاجة لا بأس به. أما إن كان من غير حاجة فإن تركه أحسن، خصوصاً إذا كان غالي الثمن فإنه يعد من الإسراف المحرم. علاوة على ما فيه من التدليس والغش لأنه يظهر العين بغير مظهرها الحقيقي من غير حاجة إليه. اهــ.
“Memakai lensa mata karena ada keperluan adalah tidak mengapa. Adapun jika ia memakainya tanpa ada satu keperluan, maka meninggalkannya lebih baik, khususnya jika harganya mahal. Karena hal itu terhitung sebagai perbuatan berlebih-lebihan yang diharamkan. Apalagi padanya ada unsur penyamaran dan penipuan karena ia telah menampakkan mata bukan pada hakekatnya sebenarnya (warnanya yang asli) tanpa ada keperluan” [selesai – Fataawaa Ziinatil-Mar’ah hal. 49, dikumpulkan oleh Asyraaf bin ‘Abdil-Maqshuud].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah memberikan keterangan sebagai berikut :
وبالنسبة للعدسات اللاصقة فلابد من استشارة الطبيب هل يؤثر على العين أم لا ؟ إن كان يؤثر عليها منع من استعمالها نظراً للضرر الذي يصيب العين وكل ضرر يصيب البدن فإنه منهى عنه لقول الله تبارك وتعالى : وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْما. أما إذا قرر الأطباء بأنه لا أثر له على العين ولا يضرها فإننا ننظر مرة أخرى هل هذه العدسات تجعل عين المرأة كأعين البهائم ؟ يعنى كعين الخروف كعين الأرنب، فهذا لا يجوز لأن هذا من باب التشبه بالحيوان، والتشبه بالحيوان لم يرد إِلا في مقام الذم والتنفير كما في قوله تعالى : وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِيْنَ ٭ وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيئه يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ . وكما في قولِ النبي صلى الله عليه وسلم : ((ليس لنا مثل السوء العائد في هبته كالكلب يعود في قيئه)). وكما قول النبي صلى الله عليه وسلم : ((الذي يتكلم يوم الجمعة والإمام يخطب كمثل الحمار ويحمل أسفاراًَ)). فإذا كانت لا تغير العين ولكنها تغير لون العين من سواد خالص إلى سواد دون ذلك وما أشبه ذلك فلا بأس، وليس هذا من باب تغيير خلق الله لأن هذه لا تثبت، فليست كالوشم، بل هي غير ثابتة متى شاءت خلعتها، بل تشبه النظارة التي تلبس على العين وإن كان انفصال النظارة أظهر وأبين من انفصال هذه اللاصقات، لأن هذه اللاصقات تكون على العين مباشرة، فعلى كل حال إن تجنبتها المرأة فهو أحسن وأولى وأسلم حتى لعينها من الخطر، ولكن الشيء الذي لابد منه هو أن نعود إلى التفصيل الذي ذكرناه. اهــ.
“Mengenai penggunaan lensa mata, hendaknya berkonsultasi kepada dokter terlebih dahulu, apakah ia memberikan efek (negatif) terhadap mata atau tidak ? Apabila menimbulkan efek negatif pada mata, maka terlarang menggunakannya dengan pertimbangan adanya bahaya yang menimpa mata. Setiap bahaya yang menimpa badan hukumnya terlarang menggunakannya, berdasarkan firman Allah tabaaraka wa ta’ala : يٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنوا لا تَأكُلوا أَموٰلَكُم بَينَكُم بِالبٰطِلِ إِلّا أَن تَكونَ تِجٰرَةً عَن تَراضٍ مِنكُم ۚ وَلا تَقتُلوا أَنفُسَكُم ۚ إِنَّ اللَّهَ كانَ بِكُم رَحيمًا ﴿٢٩﴾ ‘Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu’ (QS. An-Nisaa’ : 29). Adapun jika para dokter menetapkan bahwa hal tersebut tidak menimbulkan efek negatif pada mata dan tidak membahayakannya, maka kita harus mempertimbangkannya sekali lagi. Apakah lensa mata ini menjadikan mata wanita menjadi seperti mata hewan ? yaitu seperti mata domba atau mata kelinci. Jika iya, maka tidak diperbolehkan karena termasuk perbuatan tasyabbuh terhadap binatang. Perbuatan tasyabbuh terhadap hewan tidaklah muncul (dalam syari’at) kecuali ia tercela dan dijauhi sebagaimana terdapat dalam firman-Nya ta’ala : وَاتلُ عَلَيهِم نَبَأَ الَّذى ءاتَينٰهُ ءايٰتِنا فَانسَلَخَ مِنها فَأَتبَعَهُ الشَّيطٰنُ فَكانَ مِنَ الغاوينَ ﴿١٧٥﴾ وَلَو شِئنا لَرَفَعنٰهُ بِها وَلٰكِنَّهُ أَخلَدَ إِلَى الأَرضِ وَاتَّبَعَ هَوىٰهُ ۚ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الكَلبِ إِن تَحمِل عَلَيهِ يَلهَث أَو تَترُكهُ يَلهَث ۚ ذٰلِكَ مَثَلُ القَومِ الَّذينَ كَذَّبوا بِـٔايٰتِنا ۚ فَاقصُصِ القَصَصَ لَعَلَّهُم يَتَفَكَّرونَ ﴿١٧٦﴾ ‘Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga)’ (QS. Al-A’raaf : 175-176). Begitu pula seperti yang disabdakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Tidak ada bagi kami permisalan yang jelek. Orang yang menarik kembali pemberiannya adalah seperti anjing yang menjilat kembali muntahannya’ (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2589 dan Muslim no. 1622). ‘Seorang yang berbincang-bincang pada hari Jum’at sedangkan imam pada waktu itu sedang berkhutbah, seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal’ (Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad lemah, lihat Al-Misykah no. 1397). Jika pemakaian lensa mata itu tidak mengubah mata, namun hanya mengubah warna mata saja dari hitam kelam menjadi tidak kelam, dan yang semisalnya, maka tidak mengapa. Perbuatan tidaklah termasuk perbuatan mengubah ciptaan Allah, karena bersifat tidak permanen. Tentu saja ini berbeda dengan tattoo. Memakai lensa mata tidak bersifat permanen yang sewaktu-waktu dapat ia lepas. Ia lebih mirip dengan kaca mata meskipun jelas-jelas terpisah dengan mata dibandingkan dengan lensa yang langsung menempel pada mata. Bagaimanapun juga, bila wanita tidak memakainya, hal itu lebih baik, lebih utama, dan lebih aman bagi matanya dari bahaya (goresan). Yang penting, ketika hendak memakainya, harus benar-benar dipertimbangkan secara seksama/rinci sebagaimana yang telah kami sebutkan tadi” [selesai – dari fatwa beliau yang terekam dalam kaset yang berjudul Taujihaat lil-Mukminaat, dari kitab Al-Libaas waz-Ziinah oleh Samiir bin ‘Abdil-‘Aziiz, hal 75].
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya…..
[Diambil dari buku Shahih Fiqhis-Sunnah oleh Abu Maalik Kamaal bin As-Sayyid Saalim, 3/69-70; Maktabah Taufiqiyyah oleh Abu Al-Jauzaa’ – http://abul-jauzaa.blogspot.com].
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 comments:
jazaakillaahu khayran infonya ukh
wa jazakallahu khayr
Posting Komentar