“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa) karena shaum itu dapat membentengi dirinya.” [Hadits shahih: diriwayatkan oleh Ahmad (I/378, 424, 425, 432), al-Bukhari (no. 1905, 5065, 5066), Muslim (no. 1400), at-Tirmidzi (no. 1081), an-Nasa-i (VI/56, 57), Ibnu Majah (no. 1845), ad-Darimi (II/132) dan al-Baihaqi (VII/77), dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu.]
Ukhtii kita tidak sendirian, ratusan bahkan mungkin ribuan muslimah "baik-baik" yang lain, berjejer diantrian panjang menunggu dupinang. Bukan soal layak atau tidak menikah, sebab mereka sangat layak. Berwawasan, berkepribadian, punya komitmen dan tidak menuntut banyak. Dalam banyak hal mereka sungguh-sunggu telah siap lahir dan batin. Juga bukan soal LAKU dan TIDAK soal mereka BUKAN BARANG DAGANGAN. Meski sama pada tingkat penampakan yang sama, sama-sama tidak memiliki pasangan, ada perbedaan mendasar antara orang yang menolak menikah dengan orang yang belum menikah. Atas nama apapun. Yang satu telah menentang fitrah dan membuat bid'ah yang dibenci Allah dan RasulNya, sedang yang lain memang sedang di"uji" imannya.
Kesendirian mereka justru karena keinginan menikah dalam arti yang sebenarnya, bukan sekedar kawin dengan lawan jenis. Menikah untuk membangun pondasi ibadah yang lebih kokoh, dan mendapat ridha Allah. Dan itu hanya mungkin jika suami-suami mereka adalah hamba-hamba yang "sampai" pemahaman maupun amalnya pada tingkatan "qawwam". Sebab menikah menjadi per

"Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh imannya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi." [Hadits hasan: diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (no. 7643, 8789). Syaikh Al-Albani rahimahullah menghasankan hadits ini, lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah (no. 625)]
Ini adalah pertempuran melawan gejolak nafsu dan perasaan ingin "dimiliki". Pertempuran melawan nurani yang sering menjerit atau naluri menjadi ibu yang memang milik mereka. Mereka berjuang sendirian sebab orang lain tidak akan pernah merasakan kepedihan mereka. Mereka tabah dan tidak ingin semua pengorbanan ini menjadi abu, tidak menyisahkan kebaikan disisi Allah. Alangkah beratnya!!
Dalam kesendirian mereka adalah pahlawan, dalam renungan dan tangisan mereka adalah manusia perkasa. Jadi kalau tidak mampu menikahi mereka, meski untuk menjadi istri kedua, tolong hargai prinsip dan kemuliaan mereka. Doakan keistiqamahan mereka, atau malah pemahaman kita yang belum sampai...??.
Wallahu a'lam...
diketik ulang dari majalah al BAshirah edisi 04 tahun II 1428 H (dgn beberapa perubahan)
Nb: untuk semua saudariku yang tak pernah lelah menjaga kesucian dan ketaqwaan dalam penantian.. semoga Allah memberikan kesabaran dan keistiqamahan.. jangan lelah memperbaiki diri sambil terus meyakini janjiNYa..
0 comments:
Posting Komentar