إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له من يضلل فلا هاديله، وأشهد أن لا إلـه إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.
Segala puji bagi Allah, kita memujinya, memohon pertolongan dan ampunan kepadaNya kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan kejelekan amalan-amalan kita, barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya hidayah.
Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali hanya Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah hamba dan utusan Allah.
يأيها الذين ءامنوا اتقوا الله حق تقاته، ولاتموتن إلاوأنتم مسلمون
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam.” (QS. Ali ‘Imran : 102)
يأيهاالناس اتقواربكم الذى خلقكم من نفس وحدة وخلق منهازوجها وبث منهمارجالاكثيرا ونساءۚ واتقوا الله الذى تساءلون به والأرحامۚ إن الله كان عليكم رقيبا
“Wahai manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripadanya keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) NamaNya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silahturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. An-Nisa’ :1)
يأيهاالذين ءامنوا اتقوا الله وقولوقولاسديدا يصلح لكم أعملكم ويغفرلكم ذنوبكمۗ ومن يطع الله ورسوله، فقدفازفوزاعظيما
“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah dengan perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu sosa-dosamu dan barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzaab : 70-71)
Amma ba’du :
فإن أصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم، وشرالأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فيالنار.
“Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu ditempatnya di Neraka.”*
Memiliki banyak teman, disenangi banyak orang, diperhatikan banyak orang sungguh hal yang menyenangkan. Dipuja sana, dipuji sini sungguh hal yang membanggakan. Namun kadangkala kita lupa untuk menunaikan hak-hak saudaranya atau tidak menjaga kehormatannya. Menyebarkan rahasianya, menzhaliminya, dst. Tidak sepatutnya kaum muslimin melakukan hal seperti ini terhadap saudarinya. Tidak diragukan lagi bahwa kita tengah berada di suatu zaman dimana nilai-nilai ukhuwwah (persaudaraan) yang dibangun karena Allah mulai pudar. Orang-orang tidak saling berhubungan melainkan karena pertimbangan materi belaka. Mereka saling mencintai dan membenci karena dunia. Tidaklah salah seorang dari mereka mendekati yang lain dengan wajah yang manis kecuali karena ada maunya. Tatkala kepentingan itu tidak tercapai, maka senyuman pun berubah menjadi raut masam.
Hal ini bukanlah termasuk gaya hidup para Salafush Shalih. Sungguh, mereka sangat jauh dari model hidup seperti. Tidaklah mereka mencintai dan bersahabat dengan seseorang melainkan Allah ‘Azza wa Jalla.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Kalian tidak akan masuk Surga sampai kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman sampai kalian saling mencintai…”(1)
Kita sama-sama mengetahui bahwa definisi ibadah adalah sebutan sebuah nama yang mencakup semua perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang zhahir mapun batin. Di antara perkataan, dan perbuatan yang dicintai dan diridhai oleh Allah adalah menunaikan hak-hak ukuwwah. Hak seorang muslim atas saudaranya yang lain. Terlebih lagi jika keduanya adalah sahabat karib. Bukan hanya sekedar saudara sesama muslim. Mereka bertemu dan berpisah karena Allah, saling tolong-menolong dalam kebaikan, sehingga semakin kuatlah hak-hak ukhuwwah yang ada di antara keduanya. Hak-hak ini hendaknya tetap diperhatikan oleh setiap muslim, baik tua, muda, lelaki, maupun wanita.
Sungguh, Allah benar-benar telah memberi kenikmatan kepada kaum muslimin dengan menjadikan mereka bersaudara. Allah berfirman :
“Lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara, dan kalian dahulu berada di tepi jurang neraka lalu Allah menyelamatkan kalian darinya.” (QS. Ali Imran : 103)
Dalam ayat tersebut Allah menyebutkan nikmat yang telah Ia berikan kepada hamba-hambaNya, yaitu menyatukan hati-hati mereka dan menjadikan mereka bersaudara. Hal ini menunjukkan bahwa nikmat yang sangat agung ini, yaitu ukhuwwah, semestinya hanya dilandasi karena Allah semata.
Seorang muslim harus menyadari bahwa persaudaraan dan rasa cinta di antara sesama kaum mukminin yang dilandasi karena Allah merupakan suatu nikmat yang sangat agung dari Allah Ta’ala. Maka hendaknya senantiasa dijaga dan dipelihara.
Dalam menafsirkan firman Allah yang berbunyi “ bini’matihi” (karena nikmatNya), sebagian ulama berkata, “ Ini adalah peringatan bahwasanya terjalinnya tali persaudaraan dan terjalinnya cinta kasih di antara kaum mukminin hanyalah disebabkan karunia Allah semata, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang lain :
“Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah-lah yang telah mempersatukan hati mereka.” (QS. Al-Anfal : 63)
Maka, yang menjadikan hati-hati manusia bersatu dalam ibadah kepada Allah, sekaligus saling mencintai, padahal mereka berasal dari berbagai penjuru dunia, dari ras yang beraneka ragam, serta dari martabat yang bertingkat-tingkat, hanyalah Allah semata, dengan nikmatNya yang tiada dibandingnya. Ini adalah nikmat yang selayaknya seorang muslim bergembira dengannya. Allah berfirman :
“Katakanlah : “Dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik dari yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus : 58)
‘Abdah bin Abi Lubabah berkata : “Aku bertemu dengan Mujahid. Lalu ia menjabat tanganku, seraya berkata : “Jika dua orang yang saling mencintai karena Allah bertemu, lalu salah satunya mengambil tangan kawannya sambil tersenyum kepadanya, maka gugurlah dosa-dosa mereka sebagaimana gugurnya dedaunan.”
‘Abdah melanjutkan : “Aku pun berkata, “Ini adalah perkara yang mudah.’ Mujahid lantas menegurku, seraya berkata, ‘Janganlah kau berkata demikian, karena Allah berfirman :
“Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa menyatukan hati mereka, akan tetapi Allah-lah yang telah menyatukan hati mereka.” (QS Al-Anfal : 63).”
Akhirnya ‘Abdah berkata, “Maka aku pun mengakui bahwa ia memiliki pemahaman yang lebih dibandingkan aku.” (2)
Menjaga Kehormaan Saudaranya
Termasuk hak-hak ukhuwwah adalah menjaga kehormatan saudara. Ini merupakan hak yang sangat agung. Bahkan tidaklah bisa dipahami makna dan nilai persaudaraan secara khusus kecuali dengan menjaga kehormatan saudaranya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah memerintahkan kaum muslimin, yang pada diri mereka terjalin tali persaudaraan yang umum (tidak khusus, yaitu persaudaraan seorang muslim dengan msulim yang lainnya), untuk menjaga kehormatan-kehormatan kaum muslimin. Pada hadits Abu Bakrah yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, dan selainnya, bahwa ketika khutbah hari ‘Arafah pada saat haji wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda
“Sesungguhnya darah kalian, harta-harta kalian, serta kehormatan dan harga diri kalian haram atas kalian…”(3)
Karena itu, kehormatan dan harga diri seorang muslim secara umum adalah haram untuk dinodai oleh muslim yang lain. Bagaimana lagi jika diantara muslim yang satu dengan yang lainnya terjalin ikatan persaudaraan dan persahabatan yang khusus?! Bagaimana mungkin ia tidak menjaga kehormatan saudaranya itu?!Padahal telah terjalin antara mereka tali persaudaraan khusus yang tidak terjalin untuk selain mereka. Jika seorang muslim diperintahkan untuk menjaga kehormatan saudaranya yang jauh darinya, padahal di antara mereka tidak ada ikatan atau kecintaan yang khusus, maka bagaimana lagi dengan sesama saudaranya yang diantara mereka terdapat hubungan dan rasa cinta, ada saling tolong-menolong dalam mengerjakan kebaikan dan ketakwaan, usaha untuk taat kepada Allah dan beribadah kepadaNya, memperoleh kebajikan, serta menjauh dari dosa?!
Bentuk-bentuk menjaga kehormatan dan harga diri saudara seiman (baik yang memilki tali ukhuwwah yang khusus maupun yang umum) :
Pertama :
Hendaknya engkau menahan diri untuk tidak menyebutkan kejelekan-kejelekannya. Karena persahabatan atau ukhuwwah yang khusus mengharuskan dirimu untuk mengetahui perkara-perkara pribadi yang ada dari sahabatmu. Misalnya dia mengucapkan suatu perkataan atau melakukan suatu perbuatan (yang kurang baik atau bersifat rahasia tatkala sedang bersamamu). Makna dari ukhuwwah yang khusus adalah engkau bersikap amanah terhadap apa-apa yang kau lihat dank kau dengar dari sahabatmu. Jika tidak demikian, maka setiap orang akan menghindar dari orang yang mau berhubungan dengannya. Tidak ada yang namanya sahabat karib, sahabat yang menjaga kehormatan saudaranya, baik dihadapan maupun di belakangnya. Ada seseorang yang tatkala melihat bahwa pada zamannya tidak didapatkan seorang sahabat sejati dan kekasih yang menjaga kehormatan saudaranya serta menepati janji-janjinya, mendorongnya untuk menulis sebuah kitab yang diberi judul :
“Pengutamaan anjing-anjing atas banyak orang yang memakai pakaian.”(4)
Penulis buku tersebut mendapati bahwa seekor anjing, jika pemiliknya berbuat baik kepadanya, maka ia akan menunaikan tugasnya. Bahkan si anjing rela mengorbankan nyawanya demi membela pemiliknya yang telah berbuat baik kepadanya. Akhirnya penulis tadi berkata, “Pengutamaan anjing-anjing atas banyak orang yang memakai pakaian,” disebabkan banyaknya orang yang berkhianat. Dia bersahabat dengan saudaranya dengan tali persahabatan yang khusus, dia mengetahui rahasia-rahasia pribadi saudaranya, namun tidak lama kemudian dia menyebarkan, membeberkan, dan menyebutkan aib-aib saudaranya yang terlihat olehnya. Seandainya saudaranya itu mengetahui bahwa ia akan membeberkan rahasia-rahasia pribadinya, maka ia akan menjadikannya sebagai musuh, tidak akan menganggapnya sebagai seorang sahabat yang terpercaya dan menunaikan janji.
Oleh karena itu, termasuk hak saudaramu adalah engkau diam, tidak menyebutkan aib saudaramu kepada orang lain, baik di hadapannya, terlebih lagi dibelakangnya. Sesungguhnya hak seorang muslim atas saudaranya adalah dijaga harga drinya, terlebih lagi jika terjalin tali hubungan yang khusus.
Kedua :
Engkau tidak bertanya secara detail kepada saudaramu, tidak mencari tahu, dan turut campur pada permasalahan-permasalahan yang tidak dia tampakkan kepadamu. Contohnya engkau melihatnya berada di suatu tempat tertentu, lantas engkau bertanya, “Apa yang menyebabkan engkau datang ke tempat itu? Apa yang kau bawa? Mengapa engkau pergi ke Fulan? Ada apa antara engkau dengan fulan?” dan pertanyaan-pertanyaan lain yang merupakan turut campur pada perkara yang bukan kepentinganmu. Jika sahabatmu ingin agar engkau turut campur dalam masalahnya tentu ia akan mengabarkannya kepadamu. Jika dia menyembunyikan hal itu, maka tentu karena ada maslahatnya. Di samping itu, merupakamn kebaikan nilai keislaman seseorang jika ia meninggalkan apa yang bukan merupakan kepentingannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Termasuk kebaikan keislaman seseorang jika ia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya.”(5)
Jika engkau melihat saudaramu pada suatu keadaan, jika engkau melihatnya pergi ke suatu tempat, maka janganlah engkau bertanya kepadanya tentang keadaannya, janganlah engkau bertanya tempat yang ia tuju, karena tali persaudaraan tidaklah mengharuskan saudaramu memberitahumu tentang segala sesuatu. Sesungguhnya manusia memiliki rahasia-rahasia pribadi sekaligus privasi.
Ketiga :
Engaku menjaga rahasia-rahasia pribadinya yang ia ceritakan padamu, baik tentang pengamatannya, maupun tentang pendapatnya pada suatu permasalahan. Kalian berbicara tentang seseorang, maka dia pun mengabarkan kepadamu tentang pendapatnya mengenai orang tersebut, Kalian berbicara tentang suatu permasalahan, ia memiliki pendapat maka ia kabarkan kepadamu, karena engkau adalah orang yang khusus, karena engkau adalah sahabatnya. Terkadang pendapatnya benar dan terkadang juga keliru. Jika engkau adalah sahabat sejatinya, maka tidaklah saudaramu itu mengabarkan kepadamu melainkan untuk dijaga bukan disebarkan (sekalipun dia tidak memintamu untuk merahasiakannya). Karena konsekuensi dari tali persaudaraan yang khusus adalah adanya rahasia diantara mereka. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya :
“Jika seseorang mengabarkan kepada orang lain suatu kabar, kemudian ia berpaling dari orang yang dikabari tersebut(6) maka kabar itu adalah amanah (atas orang yang dikabari).” (7)
Hal ini merupakan amanah, dan Allah memerintahkan kita untuk menjaga amanah serta menjaga kehormatan. Sebab, jika engkau menceritakan pendapatnya, maka orang-orang akan merendahkannya. Engkau melihat pendapatnya yang aneh, lalu engkau ceritakan kepada orang-orang, “Fulan telah berpendapat seperti ini : “Fulan telah berkata tenang si Fulan begini dan begitu.” Kalau begitu, apa artinya persaudaraan?! Apa makna persaudaran jika engkau menyebarkan darinya apa yang dia tidak sukai untuk disebarkan?!
Dan yang lebih parah dari ini, seseorang datang kepada saudaranya, yang di antaran mereka terjalin tali persaudaraan yang khusus, lalu dia meminta saudaranya untuk merahasiakann apa yang akan dia ceritakan. Dia berkata, “Pembicaraan kita ini khusus, hanya engkau yang tahu jangan kau beritahu siapapun juga!” Namun kemudian saudaranya mengabarkannya kepada orang yang ketiga, sambil berkata : “Pembicaraan ini khusus antara kita, jangan kau beritahukan kepada siapapun.” Akhirnya kabar tersebut pun tersebar di masyarakat dan orang yang pertama tidak mengetahui hal ini.
Sebagaimana dikatakan oleh penyair :
“Setiap rahasia yang diketahui lebih dari dua orang, maka sangat mudah untuk tersebar luas (8)
Ini merupakan realita. Jika seseorang memiliki orang lain untuk menjadi sahabat atau saudaranya, lalu ia menceritakan rahasianya kepadanya, maka harus disembunyikan (tidak diceritakan kepada orang ketiga). Terlebih lagi jika memang meminta hal itu. Jika dia tidak memintanya, maka keadaannya adalah sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
“Seseorang jika mengabarkan orang lain suatu kabar kemudian ia berpaling dari orang yang dikabari tersebut maka kabar itu adalah amanah (atas orang yang dikabari).”
Bagaimana lagi jika dia meminta sahabatnya untuk merahasiakannya dan tidak mengizinkannya utnuk menceritakannya kepada orang lain?! (9)
Di antara bentuk hak yang ketiga ini adalah seorang muslim hendaknya menahan diri dari menyebutkan aib yang dia dengar dari saudaranya itu. Misalnya seseorang menelepon saudaranya ini tinggal bersama keluarganya atau tinggal sendirian, lalu ia mendengar dari rumah saudaranya itu sesuatu yang tidak diridhai, kemudian dia berkata kepada orang-orang, “Saya mendengar ini dan itu dirumah si fulan.” Atau ia melihatnya dalam keadaan yang tidak baik, kemudian ia kabarkan aib-aib tersebut. Ini bukanlah termasuk menjaga menjaga kehormatan saudara sesama muslim. Bahkan ini termasuk menodai kehormatan sauadara.
Wajib bagimu untuk menjaga kehormatan saudaramu jika engkau mendengar sesuatu yang jelek tentang dirinya atau engkau melihatnya dalam keadaan yang tidak terpuji, atau ia mengucapkan perkataan yang tidak baik, atau yang semisalnya. Menjaga kehormatannya hukumnya wajib. Bukan justru engkau korbankan kehormatannya dan menyebarkannya. Sebaliknya, engkau diperintahkan untuk menjaga kehormatandan harga dirinya.
“Seorang muslim atas muslim yang lain diharamkan darahnya, hartanya, dan kehormatannya.”
Mengenai pembahasan nasihat antar saudara seiman maka akan ada penjelasaanya tersendiri.
Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam telah bersabda :
“Janganlah kalian ber-tahassus, jangan ber-tajassus, jangan saling memutuskan hubungan dan jangan saling memutuskan hubungan dan jangan saling bertolak belakang. Jadilah kalian saling bersaudara wahai hamba-hamba Allah.” (10)
Hadits ini mengandung dua kalimat. Yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada hadits yang disepakati keshahihannya ini :
“Janganlah kalian saling bertahassus dan jangan saling bertajassus.”
Perbedaan antara tahassus dan tajasus, menurut sebagian ulama, terdapat khilaf dalam masalah ini(11), tajassus (adalah mencari-cari kejelekan orang) dengan menggunakan indera penglihatan, sedangkan tahassus dengan (mendengar) kabar berita. Dalilnya adalah firman Allah :
“Wahai anak-anakku pergilah kalian dan carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.” (QS. Yusuf : 87)
Firman Allah : “Carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya”, diambil dari kalimat tahassus, yaitu mencari berita.
Adapun tajassus, maka Allah melarangnya dalam firmanNya :
“Jangan kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebahagian yang lain.” (QS. Yusuf : 87)
Tajassus adalah mencari-cari kesalahan orang lain dengan menggunakan mata. Dimulai dengan melihat saudaramu, lalu engkau mengamati gerak-geriknya. Engkau melihatnya hingga engkau tahu aibnya. Janganlah kau lakukan hal ini. Pujilah Allah karena engkau tidaklah melihat dari saudaramu kecuali kebaikan-kebaikannya.
Begitu juga dengan tahassus. Janganlah engkau bertanya-tanya tentang aib saudaramu, padahal ia termasuk saudara-saudaramu seiman dan para sahabatmu yang sejati. Terjalin antara engkau dengan mereka tali kasih sayang. Terjalin antara engkau dengan mereka tali persahabatan. Janganlah engkau bertajassus terhadapnya. Seorang muslim dilarang melakukan hal itu terhadap saudara-saudaranya sesama kaum muslimin secara umum, bagaimana lagi dengan orang-orang yang terjalin antara engkau dengan mereka tali ukhuwwah yang khusus..
“Janganlah bertahassus, “yaitu janganlah mencari-cari berita saudaramu (untuk mencari-cari kesalahannya), dan “janganlah bertajassus, “yaitu janganlah engkau mengamati apa yang dilakukannya, karena sesungguhnya hal ini terlarang dan termasuk perkara yang diharamkan oleh Allah.
Footnote :
* Khutbah ini dinamakan khutbatul haajah, yaitu khutbah pembuka yang biasa dipergunakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam untuk mengawali setiap majelisnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga mengajarkan khutbah ini kepada para Sahabatnya. Khutbah ini diriwayatkan dari enam Sahabat Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam . Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/392-393), Abu Dawud (no. 1097, 2118), an-Nasa-I (III/104-105), at-Tirmidzi (no. 1105), Ibnu Majah (no. 1892), al-Hakim (II/182-183), ath-Thayalisi (no. 336), Abu Ya’la (no. 5211), ad-Darimi (II/142) dan al-Baihaqi (III/214, VII/146), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini shahih.
1. HR. Muslim (no. 54), Abu Dawud (no.5193) dan at-Tirmidzi (no. 2689)
2. Tafsir At-Thabari (X/36) dan Hilyatul Auliyaa’ (III/297), Diriwayatkan juga dari Abu Lubabah, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan sanad yang marfu’, dalam Taariikh Waasith, pada biografi ‘Abdullah bin Sufyan Al-Wasithi (I/178), dengan kisah yang sama, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani karena syawaahidnya. Lihat ash-Shahiihah (V/10, no. 2004)
3. HR. Al-Bukhari (no. 1742 dan 6043)
4. Penulis tersebut bernama Abu Bakr Muhammad bin Khalaf bin al-Marzaban. Beliau meninggal tahun 309 H. Lihat al-Bidayah wan Nihaayah (XI/314) dan al-Waafi bil Wafayaat (II/37)
5. HR.At-Tirmidzi (no. 2317) dan Ibnu Majah (no. 3976). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani.
6. Ada dua pendapat ulama tenang makna “berpaling” dalam hadits ini. Pertama, makna berpaling yaitu si penyampai kabar tatkala hendak menyampaikan kabarnya menengok ke kanan dan ke kiri karena khawatir ada yang mendengar. Sikapnya memandang ke kanan dan ke kiri menunjukkan bahwa dia takut kalau ada orang lain yang ikut mendengar pembicaraannya, dan dia mengkhususkan kabar ini hanya kepada yang akan disampaikan kabar tersebut. Seakan-akan dengan sikapnya itu ia berkata kepada yang akan disampaikan kabar, “Rahasiakanlah kabar ini”
Pendapat yang kedua, makna berpaling adalah , setelah menyampaikan kabar dia berpaling dari yang disampaikan kabar (pergi meninggalkannya). Pendapat pertama dikuatkan oleh Syamsul Haqq al-‘Azhim Abadi. Dari penjelasan Syaikh Shalih Alusy Syaikh, sepertinya beliau lebih condong kepada pendapat yang kedua. Lihat Tuhfatul Ahwadzi (VI/81) dan ‘Aunul Ma’bud (XIII/178)
7. HR. At-Tirmidzi (no. 1959) dan Abu Dawud (no. 4868). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam ash-Shahiihah (no. 1090).
8. Maksudnya jika rahasia sudah diketahui oleh lebih dari dua orang, maka itu bukan rahasia lagi. Sebab, jika orang kedua mengabarkan rahasia tersebut kepada orang ketiga, biasanya rahasia tersebut akan segera diketahui oleh lebih banyak lagi karena orang ketiga pun akan membeberkannya kepada orang keempat, dan seterusnya, sehingga lama-lama menjadi rahasia umum.
9. Menjaga rahasia bukanlah perkara yang mudah, padahal dia merupakan amanah. Syaithan akan datang mengelitik hatinya agar membeberkan rahasia saudaranya tersebut. Hanya orang mulia yang bisa menjaga rahasia saudaranya. Berkata sebagian orang bjak :
“Hati-hati orang yang mulia merupakan kuburan bagi rahasia-rahasia.”
Dikisahkan bahwa ada seseorang menyampaikan sebuah rahasia kepada sahabatnya. Seusai selesai mengabarkannya, dia bertanya, “Sudah engkau hafalkan?”
Sahabatnya menjawab, “Tidak bahkan saya telah melupakannya.”
Tatkala orang ini lupa, berarti rahasia tersebut terkubur dan tidak bakal keluar dari dalam hatinya. Yang lebih menyedihkan, tatkala timbul perselisihan antara dua orang yang dulunya bersahabat, maka masing-masing mengungkapkan rahasia temannya yang bruk demi menjatuhkannya. Dikatakan dalam sya’ir,
Bukanlah orang yang mulia apabila bersalah sahabatnya, dia pun menyebarkan rahasia sahabatnya yang dulu diketahuinya.
Sesungguhnya orang yang mulia adalah yang tetap cinta kepada sahabatnya, tetap menjaga rahasia pribadinya, tatkala bersahabat ataupun tidak. (lihat Adabul ‘Isyrah, hal. 33)
10. HR. Al-Bukhari (no. 6064, 6066)
Semoga tulisan ini bermanfaat
Ditulis Oleh
أم حؤله هنونه
Semarang.
Ketika Kepercayaan Hanya Kenangan dan Air Mata Kecewa Membasahi.
0 comments:
Posting Komentar